22.12.15

Innuendo

Untuk Laras,

Laras, kau tidak pernah tahu seperti apa rasanya menjadi bagianmu yang kau buang, tapi kau tahu persis bagaimana rasanya benar-benar sendirian. Kau kehilangan dirimu, Laras. Di saat kau sangat mencintai seseorang dan ia hanya berusaha untuk mencintaimu. Kemudian usahanya gagal. Kau bisa melihat dari kelam di matanya. Ia hanya berpura-pura mencintaimu, kau tahu dan kau menikmati hal-hal temporer ini.
Entah apa yang sekarang ada di kepalamu Laras. Mencintai seseorang yang tidak mencintaimu kembali, sebaiknya kau pergi saja. Lepaskan saja dia bila dia tidak mencintaimu. Siapapun, di luar sana, pastilah ada seseorang yang setia menantimu.Tapi, Lars, bertahanlah jika kau menginginkannya. Apalagi bila kau telah menyusun segala strategi untuk hidup dengannya. Ini seperti perang. Kisah mencintai dan berusaha tetapi tidak untuk mendapatkannya kembali.
Laras, bertahanlah dengan segala kepedihan dan kesendirianmu. Bertahanlah pada sesuatu yang kau percayai. Tetapi pergilah bila lukanya justru membunuhmu, bukan membuatmu pedih saja. Bila sekarang kau memberi kesempatan pada siapapun yang menghangatkan hatimu, pastikan ia tidak akan melukaimu.
Tetapi Laras, tetaplah menjadi gadis manis tetapi jangan buat dirimu tidak berdaya.

- Dari siapapun yang pernah bersinggah di hatinya

2.10.15

Mesin Waktu

Melihat Ardy kecil dari jauh merupakan hal yang selalu diidam-idamkan Laras.
Ardy kecil begitu menarik. Meski badannya kurus, rambutnya ikal, sedikit pucat dan mulutnya sangat tajam. Perkataannya tak segan-segan menyakiti hati siapapun, menunjukan karakter defensif dari anak kecil itu.

Semasa kecil, Ardy selalu tertarik pada serangga. Ia kadang membuat jurnal berisi analisa deskriptif mengenai hewan-hewan kecil itu. Kebetulan rumah Ardy berada di pinggiran kota, tempat di mana orang-orang dapat menemukan banyak serangga seperi belalang, capung, kupu-kupu dan ngengat pada siang hari. Malam hari pun banyak ditemukan kunang-kunang dan suara jangkrik.

Ardy kecil selalu menyukai berkelana di siang hari dan menangkap belalang, kemudian menelaah hewan kecil tersebut, kadang ia menyimpannya di dalam toples, tak jarang juga ia lepaskan kembali ke alam bebas. Ia paham sekali mengenai jenis-jenis serangga sampai buku jurnalnya penuh. Ibunya bahkan membelikan ia buku seri pengetahuan yang cukup lengkap.

Laras selalu menyukai anak kecil semacam ini, sampai kadang ia dapat membayangkan dapat menemui Ardy kecil dan duduk di sebelahnya. Mereka bisa saja duduk berdua di antara ilalang sambil menanti matahari terbenam. Mereka bisa bicara tentang apa saja sampai hari mulai gelap dan Ibu mereka memanggil mereka pulang.

Laras memutar kenop-kenop mesin waktu dalam bayangannya. Menjelajahi setiap waktu yang pernah dilalui. Lalu ia menuju ke tengah hari di mana Ardy kecil tengah bersungut-sungut dan menyendiri di antara ilalang. Mata Ardy kecil memerah, pertanda habis menangis. Laras tersenyum melihat Ardy kecil yang malang itu lalu mendekatinya dengan amat perlahan.

Ardy kecil sangatlah defensif, sebagai resistansinya ia akan menggunakan kata kasar untuk menyakiti siapapun yang hendak melukainya ataupun melancarkan pukulan-pukulan kecil yang dipelajari di kelas bela diri. Perkiraan Laras waktu itu Ardy kecil tengah berusia tujuh tahun, tentu Ardy kecil sangat rapuh. Tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi pada Ardy kecil dan sebab ia menangis.

"Halo!" sapa Laras. Ardy kecil menengok dengan takut-takut. Ada orang asing di sekitarnya, di dalam pikirannya berkecambuk macam-macam. Ardy kecil bahkan menyangka Laras adalah penculik yang tengah marak diberitakan.

"Aku tidak boleh bicara pada orang asing," kata Ardy kecil dengan tegas sambil badannya membelakangi Laras, mulutnya mengkerut seperti mencibir. Meski badannya kurus, tapi pipinya sangat menggemaskan. Laras tersenyum melihat tingkah polah Ardy kecil.

"Ada apa denganmu?" tanya Laras dengan seramah mungkin.

"Kau ini tuli ya? Pergi sana! Aku sedang muak dengan semua orang." Usir Ardy kecil dengan galak. Bukan Laras namanya kalau ia gentar menghadapi anak kecil seperti ini.

"Apa ini tentang seranggamu?" tanya Laras lagi.

"Bukan urusanmu, sekarang cepat pergi atau..." mata Ardy kecil tampak mencari-cari sesuatu, lalu tangan mungilnya mengambil sebuah batu, "...atau aku akan melemparimu dengan batu sampai kepalamu bocor," ancamnya.

"Turunkan batu itu, anak manis. Sekarang duduklah, aku sama sekali tidak berbahaya." bujuk Laras dengan sabar.

"Tidak mau. Aku mau kau pergi!" usir Ardy kecil lagi. Laras sangat tahu bahwa anak ini menarik, matanya yang bengkak sehabis menangis menatapnya dengan intens. Tidak berubah dengan Ardy di masa sekarang saat mengatakan sesuatu yang sungguh-sungguh.

"Aku akan pergi setelah kau beri tahu alasan matamu sembab," Laras pandai bernegosiasi dan ia merasa tertantang dengan segala bentuk resistansi Ardy kecil.

"Semua orang tidak adil. Tidak ada yang adil di bumi ini. Sekarang kau harus pergi!" usir Ardy kecil lagi.

"Oke. Tapi, kalau ini semua tentang serangga-seranggamu, maka aku berterimakasih karena kau sudah melepaskanku," kata Laras berbohong. Laras selalu menyangka kalau anak kecil akan tertarik dengan fantasi. Ia kemudian hendak melangkah pergi, tetapi Ardy kecil justru menahannya.

"Apa maksudmu?" tanya Ardy kecil. Kena kau, Ardy mungil! Pikir Laras.

"Jadi apa yang terjadi padamu?" tanya Laras.

"Aku bertengkar dengan kakakku. Semua orang membelanya." kata Ardy kecil yang mulai menuturkan cerita. "Aku yang menangkap laba-laba itu, aku yang meletakannya di toples. Lalu Abangku menginginkannya."

"Dan kalian berebut?" tanya Laras.

Ardy kecil mengangguk. "Dan lalu laba-laba itu mati di bagi dua." kata Ardy kecil yang mulai menangis lagi, batu di tangannya pun jatuh ke tanah. Laras menghampiri anak itu dan bersimpuh agar tinggi mereka berdua sejajar. Kemudian dengan penuh rasa iba, Laras memeluk Ardy kecil. Ardy kecil tanpa sungkan mulai menangis tersedu-sedu.

"Tidak apa. Dunia memang tidak adil pada kita," hibur Laras.

Tak lama Ardy kecil mulai meredakan tangisannya perlahan. Ia pun melepaskan pelukan Laras. Lalu ia duduk dengan tenang di atas batu yang agak tinggi. Laras turut ikut duduk di sebelahnya. Melihat Ardy kecil mulai tenang.

"Coba ceritakan mengenai serangga kesukaanmu!" pinta Laras saat duduk di sebelahnya. Ardy kecil menatapnya dengan bingung, akan tetapi ia tidak berkata apapun melainkan mengeluarkan buku kecil dari sakunya.

"Ini buku ku. Aku menulis apa saja di sini. Semua hal mengenai serangga," kata Ardy kecil sambil menyerahkan buku jurnalnya pada Laras. "Serangga apapun kecuali kecoak." ujar Ardy lagi.

Selanjutnya, mereka terlarut dalam perbincangan mengenai serangga dan permainan yang Ardy kecil sukai. Mereka terlihat sangat akrab, bahkan Ardy kecil nampak mengendurkan resistansinya terhadap orang asing. Ardy kecil mulai menyukai Laras. Laras saat itu hadir dalam sosok gadis dewasa yang berusia hampir 22 tahun. Bagi anak kecil seperti Ardy saat itu, tentulah Laras sudah sangat dewasa.

Laras sungguh menikmati waktu berbicara dengan Ardy kecil. Mata anak itu selalu seperti mencari-cari sesuatu. Pertanda ia antusias dengan topik yang mereka bicarakan. Mereka bercakap-cakap tanpa terasa hingga hari menjelang petang dan matahari nampak mulai turun di ufuk barat. Ardy kecil merasa tak mau berakhir, tetapi ia harus pulang. Ia kini sudah tidak lagi merasa kecewa dan Ardy kecil masih memiliki hari esok untuk ia jalani lagi. Ada senyum dan tawa yang melegakan melihat anak itu segera melupakan masalahnya.

"Omong-omong, kau ini siapa?" tanya Ardy kecil penasaran sesaat sebelum ia hendak pulang.

"Kau kelak akan mengenal aku," kata Laras.

"Siapa? Aku tidak pernah melihatmu. Apa kau tetangga baru?"

"Menurutmu aku siapa?" tanya Laras lagi, memancing imajinasi Ardy yang paling dalam.

"Entahlah. Apa kau dari masa depan?" tanya Ardy kecil penasaran.

"Ya, mungkin saja." kata Laras. Ardy kecil nampak tak puas dengan jawaban Laras, ia kembali menerka-nerka.

"Oh, atau jangan-jangan kau adalah laba-labaku yang mati itu?" tebak Ardy kecil.

"Itu juga sangat mungkin," jawab Laras. Ardy kecil masih sangat penasaran.

"Ayolah. Aku kurang suka main tebak-tebakan seperti ini," kata Ardy kecil merengek hampir menyerah.

"Aku ini adalah apapun yang ada di pikiranmu," jawab Laras singkat.

"Apa kau nyata?" tanya Ardy kecil lagi.

"Bisa ya, bisa juga tidak."

"Apa kita akan bertemu lagi?"

"Tentu. Nah, sekarang, pulanglah. Berdamailah dengan kakakmu, kau sudah membuat satu laba-laba mati, buatlah kematiannya tak sia-sia dengan berdamai dengan kakakmu." bujuk Laras.

Ardy kecil menatapnya ragu, lalu ia hanya mengangkat bahunya.

"Aku hanya bisa bilang entahlah. Kau ini aneh," kata Ardy kecil yang kemudian bangkit dari atas batu dan mulai pergi meninggalkan Laras. Laras tersenyum kecil. Selang beberapa langkah kemudian, Ardy kecil membalikan badannya, "Tapi kata 'aneh' dalam kamusku artinya baik kok," lanjutnya.

Kemudian Ardy kecil segera berlari pulang ke rumahnya. Sedangkan Laras segera memutar kembali kenop-kenop di jam tangannya, ia hendak pulang ke dimensi dan waktu tempatnya berasal.

Sesampainya di rumah, tempatnya seharusnya berada, ia melihat Ardy dewasa tengah duduk di sofa, ia tengah memandangi laptop guna menyelesaikan pekerjaannya. Di telinganya terpasang headphones. Ia menyadari kedatangan Laras dan segera saja menurunkan headphone dari telinganya, membiarkan benda itu bertengger di pundaknya.

"Bagaimana perjalanan dengan mesin waktu?" tanya Ardy.

"Mengasyikkan." jawab Laras.

"Apa Ardy kecil menyebalkan?"

Laras tersenyum nakal. "Tanpa diragukan lagi!"

Kemudian mereka berdua tertawa.


Oktober 2015

19.9.15

Perihal Memberi Cinta Terlalu Banyak

Apakah orang tulus yang memberikan cinta terlalu banyak tidak pantas mendapatkan penghargaan?
Kalau orang yang memberi cinta terlalu banyak mengharapkan suatu penghargaan, lantas dimanakah letak ketulusannya?

10.9.15

Children Books

The best children’s books, aren’t written for children; 
they are enjoyed by children, 
but they speak to our deepest longings and fears, 
and thus enchant humans of all ages.
If the dull adult isn’t too dull to admit that he doesn’t know the answers to everything.

8.9.15

Memanah

Kukira ketika aku melepaskan panah
Sang panah akan mencapai sesuatu yang lebih baik dari busur
Siapa peduli si pelacur
Sialan!
Perhitunganku meleset

30.8.15

Sinodis

Cahaya bulan tampak luas dan jauh Sabtu malam itu. Bulan berada di fase oposisi dan kini tepat tergantung di atas Ardy dan Laras yang tengah asyik duduk berdua di atap rumah Ardy.

Mereka tenggelam sendiri dalam pikiran mereka masing-masing. Ardy sebenarnya tengah menahan rasa sakit di kepala sebelah kanan depan. Entah apa yang terjadi pada anak laki-laki itu. Sementara Laras tengah tersesat dalam pikirannya sendiri. Tak lama Laras memperhatikan Ardy, ada yang tidak beres dengan anak itu.

"Sini ku pijat," Laras menawari Ardy. Ardy tidak menolak sama sekali melainkan menghadap ke belakang, membelakangi Laras dan membiarkan gadis itu memijat kening serta bahunya. Laras tidak mengatakan apa-apa, namun ia berharap bahwa Ardy akan merasa lebih baik.

"Aku ini kenapa ya, kok pusing di kanan depan terus di sepanjang ini?!" tanya Ardy sambil menunjuk sepanjang atas telinga kanan hingga kening depannya. Sebenarnya bukan suatu pertanyaan yang wajib Laras jawab. Laras pun hanya diam namun tangannya memijat area yang ditunjukkan Ardy. Laras sesungguhnya merasa sangat khawatir.

"Tidak tahu ya?" tanya Ardy lagi. Laras hanya menggeleng. Gadis itu berusaha menjawab dengan diplomatis.

"Barangkali kurang tidur, kurang minum air putih atau telalu banyak MSG," jawab Laras. Tak lama ia berhenti memijat kening Ardy dan mereka kembali duduk bersebelahan.

Memang Ardy sering kali tidur menjelang pagi. Pekerjaan Ardy sangatlah banyak. Meski Ardy begitu menyukai pekerjaannya, akan tetapi Ardy juga perlu istirahat yang wajar. Belum lagi kebiasaan merokok Ardy, ditambah anak laki-laki itu kurang disiplin meminum air putih. Satu lagi, Ardy sering juga makan makanan yang mengandung monosodium glutamat. Lengkap sudah alasan mengapa ia mudah sekali merasa pusing.

Ardy dan Laras diam dalam keheningan. Perasaan kalut Laras sebenarnya tak bisa gadis itu tutupi. Gadis berambut pendek itu selalu benci tiap kali ia menemukan Ardy sakit. Bukannya Ardy tak boleh sakit, tapi siapa juga yang suka melihat orang yang dikasihinya sakit.

"Sini, genggam tanganku," pinta Laras yang kemudian Ardy menurutinya. Ardy memberikan tangan kanannya untuk digenggam Laras.
"Katanya kalau berpegangan tangan, bisa menularkan kebahagiaan," lanjut Laras. Ardy berusaha mempercayainya. Mereka berdua berusaha untuk mempercayai semua hal yang positif di dunia ini.

Lama sekali mereka terhanyut dalam diam dengan tangan yang terkait. Ada satu rasa yang tidak pernah dimengerti baik Ardy maupun Laras. Meski Laras maupun Ardy bukan seorang dokter atau tabib yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Akan tetapi, masing-masing dari mereka punya kekuatan luar biasa yang tidak dimiliki orang lain.

Kekuatan berasal dari menerima semua hal yang baik untuk dipercayai. Tidak perlu fundamental yang khusus, selama terasa benar dan baik semuanya sangat mungkin dijalani.

Malam ini tak ada bintang, melainkan hanya bulan yang bersinar dan tampak kesepian. Bulan diam-diam iri pada mereka berdua, namun ia juga tersenyum karena ia tahu, sekecil dan sesederhana apapun manusia, mereka bisa memiliki kekuatan yang lebih besar dari semesta. Angin meniup awan untuk menutupi bulan yang merasa biru, supaya bulan tidak merasa terlalu pedih. Angin selalu mencintai bulan tanpa bulan sadari.

Sementara bulan tertutup awan dan mulai mengantuk, ia kini tak lagi melihat Laras dan Ardy yang tengah duduk berdua di sana. Namun sayup-sayup bulan mendengar suara Laras yang paling lembut dan tulus. Perasaan luar biasa dari gadis biasa.

"Ardy itu kebahagiaan yang aku tidak pernah mengerti," kata Laras. Sementara bulan di atas sana mulai terlelap.

Jakarta, Agustus 2015

12.8.15

Marah

Bila aku memang di luar kriteriamu, maka jujur saja
Aku memang tidak akan mengubah seujung rambutpun demi kau
Maka pergi saja
Masih banyak aku yang lalu lalang di luar sana

29.7.15

Penghapus

Berbicara pada kue-kue di dalam toples
membiarkan gerimis menitik di jendela
ketika semua terasa kosong
bahkan mimpi terasa asing
Jakarta membiru dan langitmu tetap kelabu
Jangan pernah berhenti
Dan kau bilang jangan ucapkan kata jangan
Kini aku mengerti

Jakarta, Juli 2015

7.7.15

Musim Panas

Musim panas hadir sepanjang tahun, itu yang membuatku berterimakasih pada semesta. Kukira tadinya aku tidak akan pernah bersama musim panas, lalu segala rasa yang kami punya akan menguap di titik-titik udara.

Rupanya tidak, musim panas bertahan kini di sampingku. Memberi nuansa pada bunga-bunga yang tengah bermekaran, atau tunas tunas di halaman belakang. Lalu musim panas akan datang juga di malam hari. Sementara semua orang sibuk pulang ke rumah, Musim Panas malah hadir dan menghangatkanku. Kami akan membagi cerita tentang Bulan, Venus, Jupiter dan Saturnus.

Musim panas ada dikenal di dunia ini di pertengahan menjelang akhir bulan Mei. Di saat matahari sedang panas-panasnya. Seperti ia menyinari dunia yang sudah ku kunci rapat-rapat.

Kadang memang hujan akan datang, namun tidak apa, aku selalu tahu bahwa saat hari hujan pun, sekarang sedang musim panas. Tidakkah itu berarti bahwa aku seharusnya boleh minum eskrim cokelat?

Terimakasih sudah memberi kesempatan untukku ada.

21.5.15

Saturn

There’s Saturn beaming above us
When we turned walk down on road, as a great company, as a soon lover
We never stop keep presuming what’s Saturn do over there,
why she stares on us intensely, or she probably just envy, or she longs to be lover
Why ought to jealous of us,
We’re not even great of silver lining products, not even shine or sweet tender darlings, no one adore us.
Isn’t it baffling?
Way she doesn't understand about us, the way she really expect us to be together.
Saturn never guess we have commitment issue.
Saturn wears the ring high definition of affection from entire universe.
Saturns has to apprehend, we just pulled by gravity that only mean to fall for each other, not for being together.
Till we will realised latter.

Semanggi, Jakarta Mei 2015

6.4.15

Roro Jonggrang

Permintaan Roro memang amat sulit.
Ia meminta Bandung Bondowoso dari kerajaan Pengging yang subur dan makmur untuk membuatkannya seribu candi dalam waktu satu malam.
Hal itu mudah saja bagi Bandung Bondowoso untuk mewujudkannya, sebab ia memiliki seluruh pasukan ajaib yang dapat menolongnya.

Tapi, sebenarnya bukan itu keinginan Roro Jonggrang.
Roro Jonggrang hanya ingin Bandung Bondowoso menunjukan kekuatan dirinya sendiri. Bahkan semisal hanya setengah candi yang dapat dibangun, Roro akan tetap menikahinya.

Bandung Bondowoso tidak pernah tahu, Roro Jonggrang selalu mencintainya diam-diam.

18.3.15

Kisah Lucu

Ada hal lucu mengenai cinta tanpa alasan yang ku temukan saat usiaku belum genap duapuluh satu. Hanya perlu waktu yang sangat singkat untuk mengetahui bahwa aku benar-benar menginginkan.
Bisa tidak menghargai orang lain yang menyukaiku demi perasaanku, tetapi aku menghargai perasaannya.
Tidak ambisius untuk memilikinya.
Sabar.
Mencoba membunuh perasaanku sendiri saat aku tau aku tidak pantas untuknya.
Ada rasa cemburu yang dewasa saat mengetahui ia tidak lagi bisa bersamaku.
Meski ku memiliki pengharapan besar.
Mendoakannya diam-diam bukan untuk dimiliki melainkan agar ia selalu dapat tersenyum meski dalam kesedihannya.
Semangatku yang tadinya hampir habis akhirnya bangkit kembali hanya karena ingin hadir dihidupnya
Segala penolakannya, membuatku semakin mengeras
Segala dingin sikapnya, angkuhnya dia, membuatku bertahan.
Adanya orang lain di sisinya, membuatku paham bahwa melihatnya bahagia akan jauh lebih membahagiakan.
Dia memang tidak tampan.
Dia aneh dengan senyumnya yang miring ke kanan.
Rambutnya tidak jelas ingin di sisir ke kiri ke kanan atau tengah.
Zodiak kami juga memiliki kompatibilitas yang sangat rendah.
Dia badung dan bahkan memiliki tattoo di lengannya.
Namun aku sangat menyukainya, meski aku tidak pernah tahu apa yang kusukai darinya.
Tapi bukannya jatuh cinta itu memang tidak ada alasannya?

Jakarta, Maret 2015

23.2.15

Anak-Anak Anjing

Aku punya sembilan anak anjing, namun mati satu tinggal delapan.
Dua perempuan, keduanya lahir prematur dan sisanya laki-laki.
Mereka semua anak baik, selalu manis, namun mudah menangis
Suatu hari, aku yang sedang berkutat dengan pekerjaanku tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka.

"Ibu-ibu-ibu. Di mana ibu? Kami butuh susu!" teriak anak-anak itu.

Mereka mencari ibu mereka yang tengah mencari makan untuk memberi mereka susu.
Akan tetapi mereka tidak sabar. Mereka terus menerus meneriakan nama ibu.
Ibu mereka terlanjur jauh mencari makanan padahal supaya gizi di air susunya seimbang.

"Oh, ibu sudah tidak sayang lagi pada kita," kata anak laki-laki yang lahir pertama.
Mendengar hal itu, anak-anak anjing yang lain langsung menangis tersedu-sedu.

"Ibu-ibu-ibu ibu sudah tidak sayang lagi pada kami," kata mereka dalam kesedihan. Tangis mereka memekak telinga. Beberapa dari mereka bahkan meronta-ronta, berteriak hingga memekakan telinga.

"Apa salah kami, ibu? Kami kan tidak nakal," tangis anak perempuan prematur yang pertama, tubuhnya kecil, lebih kecil dari anak yang manapun.

Perkataan si anak perempuan itu semakin membuat tangis mereka menjadi, meraung-raung dan menyakiti telinga siapapun yang mendengarnya. Aku sedang fokus dengan pekerjaanku merasa terganggu dengan tangisan mereka. Lalu aku memperhatikan mereka, semakin ku perhatikan mereka, tangis mereka semakin mengeras.

Tiba-tiba aku baru ingat sesuatu.
Aku belum memberi makan induknya. Itu sebabnya ibu mereka pergi jauh mencari makan. Betapa lalainya aku ini.
Dengan cepat aku mengambil dog food dan menuangkannya dalam tempat makan si ibu anjing, tak lupa ku tuangkan susu cair di tempat minum si ibu.
Lalu ku panggi ibu mereka. Dengan lincah ibu mereka menghampiriku dan melahap makanan dan susu sampai ludes tak bersisa.

Setelah itu, ibu mereka tampak kegirangan dan kembari lagi menemui anak-anaknya di kandang.

"Lihat! Ibu datang! Kita bisa minum susu supaya tidak lapar lagi!" seru si anak paling terakhir yang justru bertubuh paling besar.
Anak-anak itu segera mengerumuni ibunya dan satu persatu meminum susunya sampai kekenyangan dan kemudian tertidur pulas.

"Kami sayang ibu, apa ibu sayang kami?" tanya salah satu anaknya yang rupanya belum tertidur.

"Ibu sayang kalian dengan luar biasa, kalian tahu itu bukan?!" jawab si ibu dengan bijaksana sambil memeluk anak-anaknya.

"Lalu mengapa ibu meninggalkan kami padahal kami kelaparan?" tanyanya sedih.

"Kelak kalian akan tumbuh dewasa, satu persatu tanpa ibu, Nak. Dunia akan jauh lebih dingin dan kejam. Bahkan tak jarang kalian akan jarang makan," kisah ibunya.

"Tampaknya sangat mengerikan, kami tidak mau jauh dari ibu." tukas anak itu lagi

"Tidak ada jiwa perkasa yang terasah tanpa penderitaan,"

"Bagaimana ibu tahu?"

"Karena kalian anak-anak ibu yang perkasa," jawab si ibu dengan bijaksana. Kemudian mereka semua jatuh terlelap dalam tidur.


Sebulan kemudian, saat mereka sudah dapat memakan makanan biasa, aku tidak sanggup merawat mereka semua. Aku memutuskan untuk mempercayakan mereka pada kawan terdekat untuk di adopsi, mulai dari situ, hidup mereka mulai berpencar. Mereka cukup dewasa. Mereka berpisah dengan ibunya. Namun, mereka menjadi anjing kecil kesayangan sahabat-sahabatku.



Februari 2015

9.2.15

Jangan

Bila mencintaimu tak terbalas,
itu bukan salahmu
Karena jatuh cinta padamu
Bukan suatu kesalahan

Maka terimakasih, De.
Jangan takut mati.
Jangan pernah.

27.1.15

Surat Terbuka Untuk Laki-Laki Yang Diharapkan Di Masa Depan

Untukmu, pertemuan tidak sengaja di pertengahan menjelang akhir Agustus
Yang menatapku terlebih dahulu, tengah benyanyi bersama sahabatku, di antara begitu banyak manusia yang berlalu lalang

Ketika aku menyukaimu, dengan luar biasa padahal caramu terlalu sederhana
Sikapmu, wibawamu, candamu, kedewasaanmu
Cara kau menyukai anjing, atau saat kau berhenti tepat di depan rumahku
Memberiku vitamin C, sebagai kembalian dari membeli rokok
Begitu tidak sadarnya sampai kau berhenti begitu saja. Pergi membiarkanku, diam di sini.
Melihatmu pergi, benar-benar jauh, meretakkan harapanku dan sungguh aku tidak sedang bermain-main.
Tapi aku tidak membencimu, melainkan aku semakin menyukaimu. Tidakkah ini aneh?

Jadi, laki-laki seperti inilah, yang selalu ada dalam doa malamku, doa setiap hari mingguku, dan orang yang kuingat sebelum tidur dan ketika bangun pagi.
Bukan untuk menjadi kekasih saat ini, sama sekali tidak.
Bahkan tidak terbayangkan olehku, untuk menjadi wanita yang mengirimimu pesan sepanjang hari.
Aku tidak keberatan kau tidak di sampingku saat ini.
Bukan cinta hari ini yang kuperlukan.
Tapi aku selalu memikirkanmu, untuk menjadi masa depanku.
Menjadi ayah bagi anak yang akan tumbuh dijaninku,
Mengajarkan buah hati kita untuk menjadi bijaksana sepertimu,
Membimbing mereka untuk ke rumah Tuhan setiap minggu,
Menjadi rumahku, kelak.

Jadi, kau sudah tahu apa yang kuinginkan darimu?
Ya, kumohon supaya kau jatuh cinta padaku, suatu hari nanti, kelak.
Ya, tidak sekarang.


***

Kemudian dia menghapusnya, tidak, tidak menghapus laki-laki itu. Ia menghapus dengan pensil tulisannya pukul 3 dini hari. Ya, laki-laki itu tidak pernah tahu, bahwa laki-laki itu selalu menjadi pikirannya di pukul tiga dini hari.


Di Jakarta.

3.1.15

Ayo Kita Menangis Secara Sederhana!

Dahulu kala, semua benda-benda langit dapat berbicara satu sama lain. Mereka juga dapat saling menyentuh satu sama lain. Semua saling bersahabat. Tidak ada masalah dalam hidup mereka, kecuali diri mereka sendiri. Misalnya, Bulan yang sewaktu-waktu bersembunyi dan berotasi, atau bintang-bintang seperti Antares dan Orion yang kadang tidak sengaja tersedot ke lubang hitam karena mereka terlalu pemalas. Semua karena emosi dalam diri mereka sendiri, bukan karena apapun di luar diri mereka sendiri.

Suatu hari, emosi Bumi sedang meninggi. Ia merasa malu, menderita dan tereksploitasi karena ada yang salah dengan tubuhnya. Rupanya, itu karena ulah manusia yang semakin semena mena menggerogotinya. Akan tetapi, Bumi tidak melakukan apa-apa. Ia hanya diam disitu, menahan emosi sampai ia benar-benar mati. Sedangkan Matahari yang selalu konsisten menyinarinya merasa gemas.

"Ayo, pemalas keluarkan air dari matamu, daripada emosi itu membumbung!" rayu Matahari yang sedang membiarkan Bumi mengeluarkan air matanya.

"Aku tidak bisa menangis, Matahari." tukas Bumi dengan enggan.

"Mengapa tidak? Menangis kan sangat sederhana?" tanya Matahari.

"Menangis tidak sederhana. Menangis juga meledakkan emosi." jawab Bumi lagi. 

"Bagaimana mungkin?" tanya Matahari

Bumi pun mengambil posisi duduk yang paling enak dan kemudian menghisap rokoknya. Rokok itu memang membunuhnya, akan tetapi, Bumi tidak takut mati karena rokok. Ia takut mati karena makhluk kecil yang kini menguasai dirinya dan memporak prandakan tubuhnya.

"Kau lihat tubuhku ini, Matahari?" Bumi menunjukan bagian tengahnya pada Matahari. Matahari mendelik ngeri. Ia melihat ada perang dan baku tembak di tubuh Bumi tengah. Bumi sendiri merasakan sakit yang tiada tara, perih tepat menyerang ulu hatinya.

"Mereka berperang? Memerangi apa?" tanya Matahari. Bumi hanya mengangkat kedua bahunya.
"Hanya manusia yang membunuh manusia, kau tahu. Mereka ini virus, terlalu aneh." jelas Bumi.

"Kukira mereka memang ada di sana, seperti komponen dalam tubuhmu," pendapat Matahari pada Bumi tidak direspon lebih jauh. Bumi hanya duduk disitu merenungi apa yang dikatakan Matahari.

Matahari bersinar ke arah Bumi sembari ia menghabiskan sisa puntung rokoknya yang terakhir.

"Tapi, bila komponen dalam tubuh ternyata abnormal, apa ia masih dapat disebut bagian tubuhmu?" tanya Bumi pada dirinya sendiri.

Matahari hanya mengangkat bahunya. "Entahlah," ujarnya kemudian.

Semoga saja, manusia bisa mendengar harapan Bumi, menyayangi Bumi dengan segenap hati. Doa Matahari dalam hati, ia terlalu iba dengan Bumi yang kini semakin menua dan tidak sehat. Bumi nampak seperti kakek tua yang sakit keras dan batuk-batuk. Tidak ada yang tahu, tapi semoga saja.



Januari 2015

Bedak Tabur

Aku bertaruh seratus ribu rupiah kau tidak akan pernah ingin mendengar ini. Maka, cepatlah kau tutup telingamu dengan kedua tangan dan berteriaklah sekencang mungkin, agar kau tidak perlu mendengarku.

"Bisakah aku memilikimu?" tanyaku. Namun kau tetap berteriak sampai suaramu parau. Padahal aku hanya berbisik kecil, di hadapanmu, bukan telingamu.

Di luar hujan lagi, ini kali ketiga hujan turun sepanjang hari. Awal Januari, aku selalu berharap waktu tidak akan pernah pergi. Tetap memaku kita dalam situasi. Merekamnya dalam pita-pita kaset, yang kapan-kapan aku dapat putar lagi.

Kau menatapku. Setelah pertanyaanku usai. Kau tidak mendengarku, memang. Namun aku bertaruh seratus ribu lagi, kau sudah mengerti apa maksudku. Tapi kau hanya berpura-pura tidak tahu.

Tidak ada jawaban keluar dari bibirmu. Menyiksa waktu sedikit menumbuk batin, meninju riak-riak air yang jatuh dari langit. Menyesuaikan rindu yang telah kosong. Semuanya metafora.

Tapi aku tersenyum.
Aku mendapat dua ratus ribu.