20.6.18

Catatan: Tentang Mencintai

Hai!
Sudah lama sekali aku tidak menulis catatan di blog ini. Banyak hal yang sedang berkecambuk di kepalaku sebenarnya. Tentang pekerjaan, tentang renccana melanjutkan studi, tenatang bagaimana aku melewati bermacam masa-masa kontemplatif yang mengubahku. Tetapi baiklah, karena blogku yang satu ini berisi catatan tentang cinta-cintaan, maka aku ingin membuat catatan yang relevan apabila bertahun-tahun dari sekarang ku baca kembali.

Jadi, mungkin kalian tahu, terakhir aku menjalin hubungan dengan seseorang, hubungan itu tidak berjalan dengan baik. Banyak orang yang mengatakan bahwa aku memberi terlalu banyak dalam hubunganku, sehingga mudah saja bagi partnerku meninggalkanku begitu saja. Membiarkan ia tidak mencintaku dan kemudian mencari orang lain.
Di mataku, mantan partnerku ini adalah orang yang berhati besar, sangat baik hati dengan idealisme yang sangat persisten. Sekilas orang mengatakan ia adalah pribadi yang kejam dengan meninggalkanku yang berusaha mencintainya mati-matian.
Tapi, aku melihat semuanya berbalik sekarang.
Hubungan kami sudah berakhir dua tahun yang lalu namun sampai beberapa saat aku masih tidak bisa melupakannya.
Agak terlalu lama buatku menerima kalau dia memang tidak pernah ditakdirkan untuk menjadi pasanganku.
Tapi ada satu hal yang aku pelajari dari hubunganku dengannya.

Aku menyadari bahwa akulah yang buruk dalam hubungan ini. Sekilas semuanya terlihat baik-baik saja. Aku memacari semua keinginannya. Aku ingin melihatnya sukses. Aku ingin menjadikan dia seseorang yang hebat.
Tanpa aku sadari, ini semua bukan tentang perasaanku melainkan tentang egoku.
Aku masih tidak mengerti bagaimana mencintai orang lain dengan tulus. Dalam hubungan kami, semua hanya ada obsesiku. Betul, egoku adalah ingin menjadi partner yang paling sempurna untuknya, bukan menjadi seseorang untuk dicintainya.

Ketika ia meninggalkanku, aku menangis karena aku merasa ia memutus cita-citaku. Padahal kesuksesan yang seharusnya partnerku raih adalah urusannya sendiri. Aku selalu ingin menjadi superior dalam hubunganku. Di situlah letak kesalahanku.
Kukira seharusnya aku hanya perlu menjadi partner, bukan leader apalagi superior.
Aku seharusnya berpacu dengan diriku sendiri dan partnerku mendukungnya. Semua seharusnya berjalan secara kasual.

Sekarang aku ingin sendirian\
Baiklah, bukan sendirian. Akan tetapi aku harus betul-betul tahu apa yang aku inginkan dari pasanganku.
Aku berdoa pada Tuhan, supaya orang yang baru akan hadir di saat aku sudah siap untuk memulai semuanya dengan baik.
Aku tidak terlalu memikirkannya. Maksudku, aku ingin saat aku sudah sangat siap menjadi seorang partner hidup untuk seseorang, kelak saat aku siap untuk mencintai dengan apa adanya.

Jakarta, 20 Juni 2018