13.12.13

Please Don't Promise Me Forever



It’s 1976 and you’re dating a man named Rick. He has a mustache and owns at least one reindeer sweater. High off of reading The Easter Parade and The Great Santini, he’s all pumped up to write the next great American novel but, to make ends meet, he’s currently working for Hallmark. He’s been really cagey about his latest project, only revealing that this will be the first time Hermann Zapf‘s Crown font is used in a publication. 

 The fact is, things could be better between the two of you; he forgot your birthday… then your anniversary. Then there was that time he bit your head off on the car ride home for making fun of him during a game of Monopoly at a friend’s house. 

Now, imagine it’s Valentine’s Day and you’re not expecting much but Rick surprises you. It turns out that book he was working on, it’s all about you! And your relationship! Your eyes well up with tears of joy. Then, as you skim through, they become tears of something else. 

You discover that the book is full of lines like this: “Please don’t get mad at me if I forget your birthday or some special day we share.” And there’s even a photo depicting couples board game night paired with this text: “Please don’t… make me look foolish in front of other people.”

Isn't love too small and simple?

Warm Christmas


all I want for Christmas is warm, stack of books, or go camp in somewhere cold but still, in deepest warm.
Happy Early Christmas and New Year!

21.10.13

Bookmarks

Broken Social Scene







Tea


Pink Roses

Interstellar

Classics Literature

Puppies

Makmur Sejahtera



5.4.13

Untuk apa sih kau berurusan dengan hal yang gak akan bikin kau bahagia?

11.3.13

Kura - Kura

Tempat tinggi dan kecil di suatu sudut kota dimana sinar matahari terbenam berpendar warna oranye sempurna dan ia melihat semua orang kembali ke peraduan dengan seirama, melintasi pematang sawah dan burung-burung bernyanyi lagu untuk pulang sementara burung-burung bulbul di dekat hutan sedang bersiap-siap menyanyikan senandungnya untuk tampil di jagad raya nanti malam.

Lama sekali, dua pasang mata Dewi menatapi kegiatan disekitarnya tanpa satu orangpun sadar bahwa Dewi mengamati mereka.
 Pemandangan dari tempat itu ramah, hangat dan sedikit kelam, tapi tempat Dewi berdiri sangat angkuh tua dan diam.

Tempat tinggi itu penuh bebatuan tua yang besar, sudah tua dan terpencil.

"Sudah mau malam Dewi, ayo bergegas!" Yudha tiba-tiba datang mengajak Dewi untuk pulang. Hanya Yudha yang tahu kemana Dewi pergi, hanya Yudha yang mampu membujuknya.

"Dewi belum mau pulang," Jawab Dewi.

"Dewi sudah dicari ibu," Kata Yudha.

"Pokoknya Dewi gak mau!" Seru Dewi dengan kesal.

Kemudian, bukannya mengalah dan pulang, Dewi justru bersimpuh sambil memukul-mukulkan tangannya ke batu-batu sekitarnya.
Tangan Dewi terluka. Yudha tidak tinggal diam, dengan sekuat tenaga ia menahan Dewi agar tidak menyakiti dirinya sendiri.

"Kalau Dewi gak mau pulang, Yudha juga gak mau." Bisik Yudha sambil memeluk Dewi dengan erat, mencegah gadis malang itu mencederai dirinya sendiri.

Dewi terdiam, tiba-tiba ia bisa jadi sangat diam.

Dewi memang mengalami sindrom autisme sejak lahir. Sifatnya seringkali labil, penyendiri, suka mencelakai dirinya sendiri namun di samping itu ia sangat pandai melukis.

Dewi pandai melukis memang, banyak lukisan realis hingga surrealis yang telah diciptakan oleh tangannya.

Namun autisme yang menjadi beban hidupnya merupakan kendala untuk gadis manis ini di terima banyak orang.

"Dewi mau pulang, tapi... Tapi Dewi hanya mau melukis." Kata Dewi tiba-tiba di dalam pelukan Yudha.

"Iya, Dewi. Nanti sampai rumah kamu melukis lagi." Ucap Yudha.

"Tapi... Tapi..." Tangis Dewi pecah lagi.

"Tapi apa?" Tanya Yudha sabar.

"Cat Dewi sudah habis," Jawabnya disela tangis.

Ingin rasanya Yudha bilang, "Nanti ku belikan lagi." Tapi kata-kata itu hanya terucap di angannya saja. Uang Yudha sudah habis. Sedangkan Yudha bukan tipikal orang yang suka mengingkari janji.

Yudha hanya memeluk Dewi yang telah rapuh dan duduk disitu berdampingan, ditemani senja yang berwarna oranye berkilauan.

Dewi yang sedaritadi menangis lama-lama meredakan juga tangisnya sampai ia hanya diam saja dalam pelukan Yudha.

"Dewi, apa hewan kesukaanmu?" Tanya Yudha dengan lembut tiba-tiba.

"Dewi suka kura-kura." Jawab Dewi tanggap.

Yudha hanya menyerngitkan dahinya bingung apa hebatnya hewan tua yang lambat itu?

"Mengapa?" Tanya Yudha.

"Dewi ingin jadi kura-kura. Dewi ingin hidup 350 tahun lagi. Seperti kura-kura. Tidak apalah kalau dia jalannya lambat, toh misalnya hujan atau kepanasan dia tinggal berteduh dimana saja, tanpa peduli apa kata orang." Tutur Dewi dengan berbinar-binar.

"Kenapa Dewi ingin hidup hingga 350 tahun lagi? Mungkin jauh sebelum Dewi meninggal Yudha sudah meninggal terlebih dahulu. Lalu siapa yang akan menemani Dewi nanti? Apa Dewi mau hidup sendirian?"

"Tidak apa. Dewi akan bertemu orang-orang lain, melihat sekitar Dewi beregenerasi, dan pada akhirnya bisa menerima Dewi apa adanya. Seperti Yudha menerima Dewi. Dewi percaya semua orang bisa menerima keadaan Dewi suatu hari." Jawab Dewi.

Selama ini Dewi yang malang memang tidak diterima siapapun. Ia dituduh orang gila, kadang orang-orang menilai autisme adalah penyakit menular. Semua orang tidak menyukai anak ini.

"Dewi juga ingin punya tempurung besar, untuk melindungi Ibu, Bapak atau mungkin juga Yudha, supaya telinga dan hati kalian tidak sakit mendengar apa kata orang. Tidak harus bagus. Berlumut juga tidak apa-apa, yang penting terlindungi." Lanjut Dewi.

Mungkin bisa saja Yudha saat itu bilang "Jangan pikirkan apa kata orang, Dewi!" Tapi kata-kata itu sudah menguap dan tidak penting lagi. Sudah berkali-kali Yudha menghimbau Dewi agar ia tidak mempedulikan apa kata orang dan rasanya, walaupun Dewi sudah acuh, tidak bisa di pungkiri kalau penduduk desa masih merasa keberatan Dewi menjadi bagian diantara mereka. Bahkan setelah usia Dewi menginjak 25 dan Yudha 27.

"Dewi, mari kita pulang." Ajak Yudha sekali lagi.

Dewi menggeleng. "Dewi sudah dengar kalau Yudha mau pergi ke kota," Kata Dewi tiba-tiba.

Bagaimana gadis ini bisa tahu, padahal Yudha mati-matian menyembunyikan hal ini dari Dewi atau keluarganya. Ia takut jika Dewi tahu hal ini, ia akan bertindak macam-macam diluar prediksi kita. Yudha daritadi hanya terdiam dan merasa bersalah.

"Yudha jangan merasa bersalah begitu. Dewi tidak apa-apa. Dewi kan sudah besar. Kapan Yudha akan pergi?"

"Lusa. Kau ingin menitip sesuatu?"

"Dewi hanya ingin Yudha pergi dengan selamat, maka pulanglah dengan selamat."

Yudha hanya tersenyum kecil. "Rupanya, Dewi sudah dewasa ya." Puji Yudha kagum.

"Dan Dewi mohon, untuk pertama dan terakhir kalinya, tinggalkan Dewi sendiri." Pinta Dewi.

"Tapi, saat sudah gelap nanti, Dewi harus pulang ya. Berjanjilah."

Dewi mengangguk kecil.

Yudha hanya pergi dari situ dengan langkah gontai. Di kepalanya terukir masa depan, langkah-langkah, rencana dan cinta. Semua ia desain dengan sepenuh hatinya. Apalagi ia bertekad untuk membawa serta Dewi dan keluarganya keluar dari desa persetan ini. Cerah dalam pikirannya, cerah dalam senyumnya.

Sedangkan kita tidak pernah tahu apa yang Dewi pikirkan, tidak ada yang pernah tahu bahwa setelah itu tidak ada lagi semangatnya untuk tetap bertahan sampai 350 tahun.
Dewi menghempaskan tubuhnya agar jatuh dari atas. Perlahan namun pasti, hingga menjadi sangat cepat.
Tubuh Dewi kemudian berhamburan di dekat persawahan.
Hancur, mati dan tidak pernah kita mengerti lagi.

Jakarta, Maret 2013

28.1.13

Tiga

Arlina berkata pada Gendis saat ia sedang berusaha keras untuk menghapus air mata kesedihannya.

"Di dunia ini ada tiga jenis orang yang menyakiti kamu," Katanya bijak.

"Yang pertama adalah orang yang tidak sempat kamu miliki." Lanjut Arlina.

Gendis mengusap perlahan paras cantiknya dengan selembar tissue.

"Kamu masih inget Devino? Cinta pertama kamu waktu SMP dulu?" Tanya Arlina.

Gendis menatap Arlina dengan nanar namun kemudian ia mengangguk.

Devino adalah cinta pertamanya yang kebetulan adalah kakak kelasnya. Waktu itu Gendis merupakan murid kelas 1 dan Devino kelas 3 SMP.

Devino adalah kapten tim basket, berperawakan tinggi kurus, namun dari raut wajahnya ada semangat juang yang tinggi. Ia sangat gigih dan itu membuat Gendis sebagai adik kelas jatuh cinta setengah mati.

Gendis tidak pernah mengatakan cintanya sama sekali pada Devino, ia tidak punya keberanian. Oh, bukan keberanian nampaknya. Tapi memang tidak adanya kesempatan.

Laki-laki itu sama sekali tidak mengenal Gendis, boro-boro rasa suka Gendis terbalas, bahkan menengok Gendis saja tidak pernah terjadi. Devino adalah kapten basket yang eksis dan berbanding terbalik dengan Gendis yang murid biasa. Apalagi waktu SMP dulu Gendis tidak masuk kategori 'gadis cantik'.

Hari demi hari dilewati Gendis dengan menatap Devino dari kejauhan. Atau ketika Devino sedang main basket di lapangan Gendis diam-diam mengamatinya dan setiap tembakan yang laki-laki itu arahkan ke ring basket, ia mendoakannya dengan tulus.

Sampai kemudian Devino memilih Mela si Ketua OSIS cantik dan eksis menjadi kekasihnya.

Gendis pun terluka karena hal itu dan ia menangis.

Apa salah Gendis? Mengapa ia harus menangis untuk orang yang bahkan tak sadar kehadirannya di dunia ini?

"Devino hadir, mengisi hari-hari kamu untuk satu hal, Gendis.

Ia ada di sini, di hati kamu, tapi ia hanya hadir supaya kamu belajar lebih dewasa bahwa gak semua hal gak bisa kamu miliki.

Memori-memori yang gak pernah ada itu pada akhirnya cuma jadi mimpi yang kemudian gampang aja untuk kamu lupain." Ujar Arlina dengan bijaksana.

Seiring berjalannya waktu, setelah Gendis melupakan Devino, ia tumbuh menjadi gadis manis dan menyenangkan, banyak orang yang menyukai Gendis karena ia baik hati dan ramah. Sampai akhirnya ketika Satria hadir dalam hidupnya dengan menjadi kekasihnya.

"Orang kedua yang membuat kamu menangis selanjutnya adalah orang yang pernah kamu miliki," Kata Arlina.

"Satria," Gumam Gendis.

Gendis akhirnya memiliki kekasih ketika duduk di bangku SMU kelas 1. Saat itu Satria duduk di kelas 2 IPA 1. Satria bukan tipikal anak eksis, namun ia cerdas. Satria bahkan menjuarai Olimpiade Sains - Fisika se-Nasional.

Waktu itu Gendis sedang kesusahan mengerjakan soal Fisika di perpustakaan dengan bantuan salah satu buku koleksi perpustakaan. Kebetulan saat itu Satria juga membutuhkan buku itu. Karena koleksinya hanya ada satu, terpaksa mereka berbagi saat itu juga.

Melihat Gendis kesusahan mengerjakan soal, akhirnya Satria terpaksa mengajari Gendis sampai mengerti.

Sejak saat itu hampir setiap hari mereka bertemu di perpustakaan yang kemudian timbul cinta di antara mereka.

Satria-pun akhirnya mengatakan cinta pada Gendis, bahkan di perpustakaan pula lah Gendis mendapat ciuman pertamanya yang belakangan ia ketahui itu juga merupakan ciuman pertama Satria.

Setahun kemudian Satria lulus dari SMU dan melanjutkan studinya di Jerman. Disitulah kisah cinta mereka berakhir.

Dengan berat hati Gendis harus merelakan Satria untuk pergi sementara dari negara ini namun selamanya dari hatinya.

Gendis-pun menangis karena cinta untuk kedua kalinya.

"Kamu harusnya berterimakasih karena Satria pernah hadir dalam hidup kamu.

Sakit memang untuk menerima kenyataan perpisahan dan kemudian mengubah kebiasaan kamu menjadi tanpa Satria.

Tapi, rasanya tidak terlalu sakit lagi karena kenangan-kenangan itu semua akan berakhir manis karena Satria juga mengingat adanya memori diantara kalian.

Ini adalah kesempatan kamu belajar bahwa apa yang kamu miliki itu tidak akan bertahan selamanya." Ujar Arlina sambil menarik rambut rambut nakal gadis dihadapannya dan menyelipkan di belakang telinga Gendis.

"Dan yang paling pedih adalah yang ketiga; orang yang hampir kamu miliki, Dis." Kata Arlina pelan dengan air muka yang kemudian berubah menjadi sendu.

Kalimatnya yang terakhir tidak di tujukan untuk Gendis, tapi untuk dirinya sendiri.

"Orang ketiga itu... Aryo?" Tanya Gendis pada Arlina.

Aryo adalah sahabatnya yang sangat ia cintai. Aryo mungkin sadar akan hal itu, atau mungkin Arlina pernah bilang padanya. Hal itu tidak penting.

Begitu banyak memori tentang Aryo dalam ingatannya. Tawa dan canda, tangis dan lara. Beberapa memori memang Arlina dan Aryo susun bersama, tapi sisanya adalah imanjinasi yang ia kembangkan sendiri dalam hati dan pikirannya.

Ia mencintai Aryo, sebagai sahabat dan juga sebagai kekasih.

Tapi kemudian Aryo pergi, begitu saja. Tidak ingin mengenal Arlina lagi, mungkin melupakan Arlina yang beberapa kali menyusun memori bersama atau mungkin membencinya.

Tanpa Arlina sama sekali tahu apakah Aryo juga mencintainya. Tidak ada yang tahu. Hanya hati yang tahu.

"Orang ketiga, orang yang membuatmu menangis adalah orang yang hampir kamu miliki, Dis." Kata Arlina pelan sekali.

"Bukan aku, tapi kamu." Ralat Gendis.

"Apa bedanya?" Tanya Arlina dengan gemertak di giginya, dengan berlinangan air mata.

Gendis memeluk Arlina, yang merupakan dirinya sendiri, dengan pilu dan resah.

Gadis yang menangis itu bernama Arlina Gendis Larasati. Ia dipanggil Gendis namun kadang dipanggil Arlina oleh beberapa orang, khususnya Aryo.

"Jenis orang yang ketiga yang membuatmu menangis adalah orang yang hampir kamu miliki.

Rasanya pedih karena apa yang kamu rasakan itu nyata, namun bagi orang itu hanya sekedar mimpi atau mungkin sama sekali tidak pernah terjadi.

Tapi di hati ini, rasa itu tetap hidup dan mungkin tumbuh.

Tidak ada yang pernah tahu untuk apa cinta ini ada.

Tapi tumbuh dan terus tumbuh."


Jakarta, Januari 2013
True Event
Cerpen ini didedikasikan untuk orang jenis ketiga dalam hidup saya,
orang yang tidak pernah bisa saya lupakan sama sekali.