10.8.11

Elia

Dia anak laki-lakiku semata wayang namanya Elia. Melihatnya tumbuh besar bersamaku merupakan hal paling indah yang pernah ku dapat dari Tuhan. Ia tampan, memiliki warna mata biru, sangat bertentangan dengan warna mataku yang sangat Asia yakni coklat kehitaman. Bentuk tubuhnya yang sangat kekar mencerminkan tubuh seorang patriot. Satu hal yang harus kau ketahui bahwa aku membesarkannya sendirian.

Ku ambil nama Elia dari Kitab Suci Perjanjian Lama. Nama seorang nabi yang hebat. Nama yang sederhana. Tidak ku ambil nama Samson atau nama lain yang lebih kekar untuk anak lelakiku, karena aku ingin ia tumbuh menjadi anak yang berhati sangat sederhana namun tetap bijaksana.
Dan aku membesarkan ia sendirian.

Elia sekarang telah bekerja di sebelah utara Semarang menjadi seorang petani sekaligus insinyur. Ia tergolong petani yang kaya dan dihormati seluruh penduduk didaerah sana. Elia sendiri sudah beberapa kali pergi keluar negeri dan mendapat penghargaan di bidang pertanian. Ia membangun berbagai macam teknologi dalam bidang pertanian dan agrikultur. Itu semua berkat kerja kerasnya dan kubantu dalam bentuk do'a.

Elia tidak pernah nakal atau menjadi anak yang kurang ajar. Tidak ada kata sia-sia ketika membesarkan anak seperti ini. Dulu ia adalah anak yang pemberani namun juga sangat perduli padaku. Aku membesarkannya disaat kegetiran ekonomi dunia setelah perang sudah usai namun justru tumbul wabah kelaparan yang memaksa seluruh orang untuk berjuang memperoleh makanan dengan gontok-gontokan.

Aku sangat menyesal karena dulu aku benci dengan anakku sendiri. Aku mengandungnya. Dia sama sekali bukan anak yang kuinginkan. Dia lahir bukan dari ikatan perkawinan dan bukan dari ikatan cinta.

Waktu itu Indonesia sedang dijajah Belanda. Waktu itu pula di Semarang, para penjajah suka mengambil anak gadis untuk dijual keluar negeri sebagai pemuas nafsu.
Aku adalah gadis yang cantik pada zaman itu umurku baru 17 tahun, dan seluruh gadis-gadis di daerahku sedang dijarah oleh kompeni. Nasibku sangat tidak beruntung.

Aku ingat hari itu aku sedang membantu ibuku memanen singkong. Kami sedang berusaha mengumpulkan sebanyak banyaknya singkong sebab kami berencana sembunyi dari para kompeni dan mengumpulkan singkong ini untuk cadangan makanan. Saat itu tiba-tiba para kompeni datang. Aku disekap oleh salah satu dari mereka dan dibawa dengan mobil. Ku lihat terakhir ada ibuku menangisi ku, memahon agar aku tidak dibawa olehnya.

Kejadian selanjutnya adalah aku bertemu bersama gadis-gadis yang bernasib sama denganku. Mereka menangis dan aku juga. Aku mencoba menguatkan mereka namun aku sendiri juga bingung. Akhirnya kami dibawa ke kamp dan dijamu dengan baik. Diberi makan, diberikan baju yang bagus namun terbuka. Dan akhirnya kami dijual.

Aku termasuk gadis yang mencoba memberontak. Aku menggunakan segala cara untuk kabur. Namun, rupanya orang-orang Belanda jauh lebih licik dariku. Ku sadari bahwa mereka muak dengan segala siasatku untuk kabur dan kemudian aku yang kena. Mereka akhirnya membuangku, sebelumnya mereka mensetubuhiku dengan kasar dan membuangku ditempat yang sangat asing. Akupun berusaha sekuat tenaga untuk bertahan hidup.

Untunglah ada yang menyelamatkanku. Seorang ibu tua yang mencari kayu bakar. Ia merawatku hingga aku sungguh pulih dan menyadarkan aku bahwa aku telah hamil. Disitulah aku benci setengah mati dengan bayi dalam rahimku. Begitu banyak cara ku lakukan untuk menghilangkan bayi itu-atau diriku sendiri.
Aku terlalu malu dan aku terlalu benci menyadari ada penjajah dalam tubuhku.

Namun aku menyadari bahwa itu semua sia-sia dan sama sekali tidak berguna. Sampai aku akhirnya melahirkan Elia di tengah kota Yogyakarta. Waktu itu aku dalam perjalanan mencari pekerjaan yang lebih baik dan aku memutuskan pergi ke ibukota saat itu.

Hari demi hari berlalu. Rasa cintaku terhadap anakku semakin besar dan menyadari bahwa ia adalah sebuah anugerah yang tak kunjung habis diberikan Tuhan padaku. Bila kau lihat, dia sungguh tampan. Ia mirip dengan ku hanya saat dia tertawa.
Sisanya, ia terlihat seperti orang Belanda yang tampan. Hidungnya mancung, matanya biru dan rahangnya sangat kokoh. Kulitnya juga kemerahan dan rambutnya coklat. Sangat berbeda dengan aku yang orang Jawa.

Seiring berjalannya waktu, Elia tumbuh besar, menikahi seorang wanita keturunan Jawa separuh Spanyol dan melahirkan tiga anak yang sangat cantik dan tampan. Yang pertama adalah Noah, kedua adalah Jane dan terakhir adalah Andrew. Mereka adalah anak yang manis. Beruntung, aku masih menyaksikan saat Bella, istri Elia melahirkan mereka semua.

Aku sejak dulu membanting tulang untuk kehidupan Elia dan membesarkan anak laki-laki itu. Hingga rasanya Tuhan memberiku anugerah yang sangat berlimpah, sebab ia juga memberiku umur panjang. Aku selalu berdoa untuk Elia dan untuk keluarganya agar selalu berbekal kasih dari Tuhan.

Namun, anak adalah titipan dan titipan itu suatu hari akan diambil oleh yang menitipkan. Elia pun dipanggil oleh Tuhan. Ia mengidap sakit jantung, sejak lama dan akhirnya ia meninggal karena tak mampu menahannya lagi. Ia mendahului aku. Kesedihan menyelimuti kami semua. Bella, Andrew, Jane, Noah dan aku.

Aku ringkih, duduk diatas kursi roda. Aku menatap anakku dalam peti, terbujur kaku dalam seulas senyum paling manisnya. Ia pergi dengan damai. Aku menangis. Tiba-tiba Andrew yang paling kecil memelukku.

"Oma, aku sayang Papa." Katanya lirih.
"Aku juga selalu sayang Papamu, Andrew. Berjanjilah untuk selalu menjadi anak yang baik." Sahutku pelan.

Air mata menggenangi kami. Aku selalu tahu ia adalah anugerah untukku. Sekarang dan selamanya.


Jakarta, Agustus 2011