31.10.11

Jakarta. Hari Ini. Sore Ini.

Aku berpegangan satu tangan erat erat pada besi kumuh yang melintang di bus 213 jurusan Kampung Melayu - Grogol. Waktu menunjukan pukul setengah lima dan aku mengamit tas erat-erat dengan tangan yang lain. Bus 213 ini memang terkenal sekali akan kriminalitasnya.

Pagi tadi, saat aku berangkat, seorang wanita separuhbaya yang baru berbelanja di Pasar Jatinegara menjadi korban kriminalitas. Mereka bilang pelakunya ada selusin. Belum lagi hari Sabtu minggu lalu aku hampir saja menjadi korban kriminalitas juga. Tapi, aku beruntung, tidak ada milikku yang hilang.

Bus tiba tiba mendecit dan menghentak, menimbulkan impulsi dan bereaksi pada teriakan "Aduh!" dari para penumpang yang berdiri, adapula beberapa yang semakin menjaga barang bawaannya dari tindakan kriminal ibukota.

Saat itu tengah melintas di jalan Diponegoro dikala hujan memulai orgasmenya dan mencucurkan setitik demi setitik gerimis. Disebelahku, ada seorang Bapak yang menjaga barang bawaannya dengan rapi, dan sebelah lain ada seorang wanita yang umurnya kutaksir sekitar seperempat abad. Semua penumpang bertindak preventif. Bahkan mungkin pencopet juga menyamar menjadi orang yang sangat preventif.

Kakiku sedikit merasa lelah mengingat tadi sempat aku dan rekanku justru berjalan jalan diwaktu istirahat. Langit diluar menjadi sangat shoegaze dan aku mengharap tempat duduk saat itu juga.

Langit yang sangat redup itu menambah gejolak ketika orgasme hujan semakin tinggi. Aku bersabar. Satu persatu orang-orang turun. Ada gadis duduk tepat di depanku, ia hendak hengkang dari tempat duduknya. Namun, seorang itu yang kelihatan juga sudah tua menyerobot duduk ditempat itu. Aku menarik partikel sedalam mungkin ke paru paru.

Aku tak sadar tak jauh di belakangku ada satu kursi kosong. Adapun orang melihat peluang itu. Dia. Yang matanya bertemu mataku seakan memuncah radiasi antara kami. Laki-laki itu ku prediksi 1,8 meter atau lebih, ia memiliki sedikit kumis yang seksi dan wajahnya sangat tampan. Ia duduk di kursi itu yang justru malah membuat aku berpaling dari haluan, berharap wanita tua yang ada disebelahnya segera tiba di tujuan.

Tak lama kemudian, setelah aku puas mencuri pandang, wanita itu hengkang, dan aku hampir setengah berlari untuk duduk tepat disebelahnya. Kemudian aku duduk disebelahnya untuk akhir perjalanan hari itu.

Tidak. Tidak ada yang terjadi. Tidak ada konversasi. Tidak ada yang terjadi selama sisa perjalanan.

Hanya getaran. Namun aku sendiri tidak mampu untuk mengarahkan kepala untuk menatapnya. Hanya radiasi. Radiasi sore hari di Jakarta. Ditengah kepadatan masyarakat untuk kembali ke peraduan, ketika berbondong bondong kebebalan terukir di kemacetan.

Sampai akhirnya tiba pada perhentian terakhir dimana aku dan orang asing itu harus berpindah ke tujuan kami selanjutnya.

Aku berpisah dan tidak akan bertemu lagi. Kalau sampai bertemu lagi, mungkin memang takdir yang membawa. Ku lirik ia sekali lagi. Sekali saja untuk menghapus kelabu sore hari ini.

Kulihat ia menyunggingkan senyum kecil. Untukku.
Dan aku sadar, saat aku dan dia berdampingan duduk, dia sempat menatapku. Beberapa kali.

true event

1.9.11

Dewasa

"Kalau aku besar nanti, aku akan jadi orang baik." Katanya sambil memiting miting rumput dan duduk melihat matahari terbenam bersamaku. Ia adalah sahabatku. Namanya Ardi. Temanku sejak aku bayi.

Aku lahir dua hari setelahnya, orangtua kami sudah bertetangga sejak dulu. Sifatnya hampir mirip denganku, namun dia sedikit radikal.
Hari itu sudah sore, aku bermain bersama Ardi sejak kami pulang sekolah dan sekarang lelah rasanya jika kita terus melanjutkan bermain lari-lari bolak balik morat marit dan kami memutuskan untuk menghabiskan senja sampai maghrib-sampai orangtua memanggil.

"Maksudku cita cita yang lebih spesifik loh!" Jelasku saat kami berbicara tentang mimpi.

"Memang kau tau kalau besar nanti kita jadi apa? Kitakan harus berpikir yang pasti." Tukasnya.

"Aku sih nanti bakal jadi Dokter. Aku bisa menyembuhkan banyak orang dan aku kaya." Kataku lagi sambil memamerkan mimpiku.

"Ah, bagaimana pekerjaan mu, itu sih bagaimana pengabdianmu. Kalau aku sudah bertekad kalau aku akan jadi orang baik. Tidak perduli mau bekerja sebagai apa. Mau jadi pengusaha, fotografer, bahkan penjual kacang atau buruh bangunan. Aku betul betul belum memikirkan tentang karier, Ga. Tapi aku punya niat yang sangat besar untuk jadi orang baik." Jelasnya sambil memandang langit sore yang oranye sangat indah.

"Tapi bagaimana kalau kau miskin?" Tanyaku.
"Aku tidak peduli, Ga. Akupun sekarang miskin, kita miskin, tapi kalau kita jadi orang baik, pasti kita akan jadi orang berguna meskipun kita hanya berjualan mie." Katanya.
"Rezeki kita itu diatur loh, jadi dinikmati saja." Lanjutnya.

"Tapi kau kan harus menghidupi keluargamu, kitakan laki-laki. Ibuku bilang kalau jadi laki-laki harus melindungi seorang wanita yang paling dia cintai dan nanti harus membesarkan anak anak. Kau kan tahu keinginan anak anak itu sangat banyak dan mahal. Aku tak akan membiarkan anakku menderita sepertiku." Kataku.

"Kau mungkin akan memperlakukan anakmu seperti yang kau alami, tapi kau harus bijaksana. Paling tidak jika kau nanti jadi orang kaya, anakmu tidak akan mandi uang kan?! Maksudku, paling tidak kau harus memberi anakmu banyak banyak cinta." Nasihatnya.

Aku terdiam. Kadang aku berpikir kalau Ardi adalah orang dewasa yang terjebak dalam tubuh anak anak. Aku selalu kalah berkata kata darinya, tapi caranya mengecilkanku itu sama sekali tidak membuatku kalah, malah justru aku merasa bertambah tegar dan kuat.

"Di, kita tidak pulang?" Ajakku.

"Kau ingin pulang? Kau duluan sajalah." Katanya.

"Mengapa?"

"Kadang kadang aku berharap aku bisa berpikir tidak dewasa seperti yang kau pikirkan. Aku cuma- tidak ingin menjadi dewasa."

Dia membaca pikiranku- dia betul betul membaca pikiranku.

10.8.11

Elia

Dia anak laki-lakiku semata wayang namanya Elia. Melihatnya tumbuh besar bersamaku merupakan hal paling indah yang pernah ku dapat dari Tuhan. Ia tampan, memiliki warna mata biru, sangat bertentangan dengan warna mataku yang sangat Asia yakni coklat kehitaman. Bentuk tubuhnya yang sangat kekar mencerminkan tubuh seorang patriot. Satu hal yang harus kau ketahui bahwa aku membesarkannya sendirian.

Ku ambil nama Elia dari Kitab Suci Perjanjian Lama. Nama seorang nabi yang hebat. Nama yang sederhana. Tidak ku ambil nama Samson atau nama lain yang lebih kekar untuk anak lelakiku, karena aku ingin ia tumbuh menjadi anak yang berhati sangat sederhana namun tetap bijaksana.
Dan aku membesarkan ia sendirian.

Elia sekarang telah bekerja di sebelah utara Semarang menjadi seorang petani sekaligus insinyur. Ia tergolong petani yang kaya dan dihormati seluruh penduduk didaerah sana. Elia sendiri sudah beberapa kali pergi keluar negeri dan mendapat penghargaan di bidang pertanian. Ia membangun berbagai macam teknologi dalam bidang pertanian dan agrikultur. Itu semua berkat kerja kerasnya dan kubantu dalam bentuk do'a.

Elia tidak pernah nakal atau menjadi anak yang kurang ajar. Tidak ada kata sia-sia ketika membesarkan anak seperti ini. Dulu ia adalah anak yang pemberani namun juga sangat perduli padaku. Aku membesarkannya disaat kegetiran ekonomi dunia setelah perang sudah usai namun justru tumbul wabah kelaparan yang memaksa seluruh orang untuk berjuang memperoleh makanan dengan gontok-gontokan.

Aku sangat menyesal karena dulu aku benci dengan anakku sendiri. Aku mengandungnya. Dia sama sekali bukan anak yang kuinginkan. Dia lahir bukan dari ikatan perkawinan dan bukan dari ikatan cinta.

Waktu itu Indonesia sedang dijajah Belanda. Waktu itu pula di Semarang, para penjajah suka mengambil anak gadis untuk dijual keluar negeri sebagai pemuas nafsu.
Aku adalah gadis yang cantik pada zaman itu umurku baru 17 tahun, dan seluruh gadis-gadis di daerahku sedang dijarah oleh kompeni. Nasibku sangat tidak beruntung.

Aku ingat hari itu aku sedang membantu ibuku memanen singkong. Kami sedang berusaha mengumpulkan sebanyak banyaknya singkong sebab kami berencana sembunyi dari para kompeni dan mengumpulkan singkong ini untuk cadangan makanan. Saat itu tiba-tiba para kompeni datang. Aku disekap oleh salah satu dari mereka dan dibawa dengan mobil. Ku lihat terakhir ada ibuku menangisi ku, memahon agar aku tidak dibawa olehnya.

Kejadian selanjutnya adalah aku bertemu bersama gadis-gadis yang bernasib sama denganku. Mereka menangis dan aku juga. Aku mencoba menguatkan mereka namun aku sendiri juga bingung. Akhirnya kami dibawa ke kamp dan dijamu dengan baik. Diberi makan, diberikan baju yang bagus namun terbuka. Dan akhirnya kami dijual.

Aku termasuk gadis yang mencoba memberontak. Aku menggunakan segala cara untuk kabur. Namun, rupanya orang-orang Belanda jauh lebih licik dariku. Ku sadari bahwa mereka muak dengan segala siasatku untuk kabur dan kemudian aku yang kena. Mereka akhirnya membuangku, sebelumnya mereka mensetubuhiku dengan kasar dan membuangku ditempat yang sangat asing. Akupun berusaha sekuat tenaga untuk bertahan hidup.

Untunglah ada yang menyelamatkanku. Seorang ibu tua yang mencari kayu bakar. Ia merawatku hingga aku sungguh pulih dan menyadarkan aku bahwa aku telah hamil. Disitulah aku benci setengah mati dengan bayi dalam rahimku. Begitu banyak cara ku lakukan untuk menghilangkan bayi itu-atau diriku sendiri.
Aku terlalu malu dan aku terlalu benci menyadari ada penjajah dalam tubuhku.

Namun aku menyadari bahwa itu semua sia-sia dan sama sekali tidak berguna. Sampai aku akhirnya melahirkan Elia di tengah kota Yogyakarta. Waktu itu aku dalam perjalanan mencari pekerjaan yang lebih baik dan aku memutuskan pergi ke ibukota saat itu.

Hari demi hari berlalu. Rasa cintaku terhadap anakku semakin besar dan menyadari bahwa ia adalah sebuah anugerah yang tak kunjung habis diberikan Tuhan padaku. Bila kau lihat, dia sungguh tampan. Ia mirip dengan ku hanya saat dia tertawa.
Sisanya, ia terlihat seperti orang Belanda yang tampan. Hidungnya mancung, matanya biru dan rahangnya sangat kokoh. Kulitnya juga kemerahan dan rambutnya coklat. Sangat berbeda dengan aku yang orang Jawa.

Seiring berjalannya waktu, Elia tumbuh besar, menikahi seorang wanita keturunan Jawa separuh Spanyol dan melahirkan tiga anak yang sangat cantik dan tampan. Yang pertama adalah Noah, kedua adalah Jane dan terakhir adalah Andrew. Mereka adalah anak yang manis. Beruntung, aku masih menyaksikan saat Bella, istri Elia melahirkan mereka semua.

Aku sejak dulu membanting tulang untuk kehidupan Elia dan membesarkan anak laki-laki itu. Hingga rasanya Tuhan memberiku anugerah yang sangat berlimpah, sebab ia juga memberiku umur panjang. Aku selalu berdoa untuk Elia dan untuk keluarganya agar selalu berbekal kasih dari Tuhan.

Namun, anak adalah titipan dan titipan itu suatu hari akan diambil oleh yang menitipkan. Elia pun dipanggil oleh Tuhan. Ia mengidap sakit jantung, sejak lama dan akhirnya ia meninggal karena tak mampu menahannya lagi. Ia mendahului aku. Kesedihan menyelimuti kami semua. Bella, Andrew, Jane, Noah dan aku.

Aku ringkih, duduk diatas kursi roda. Aku menatap anakku dalam peti, terbujur kaku dalam seulas senyum paling manisnya. Ia pergi dengan damai. Aku menangis. Tiba-tiba Andrew yang paling kecil memelukku.

"Oma, aku sayang Papa." Katanya lirih.
"Aku juga selalu sayang Papamu, Andrew. Berjanjilah untuk selalu menjadi anak yang baik." Sahutku pelan.

Air mata menggenangi kami. Aku selalu tahu ia adalah anugerah untukku. Sekarang dan selamanya.


Jakarta, Agustus 2011

29.7.11

Mei

Cerita ini terjadi. Waktu itu aku masih duduk dikelas satu sekolah dasar. Umurku belum genap 7 tahun saat itu.
Pagi itu aku duduk di meja makan, hendak berangkat sekolah. Kakak ku, Kak Elang yang sangat ku kagumi duduk di hadapanku. Kami sama sama menyantap hidangan pagi yang dimasak Mama. Papa juga berada disana sedang menyeruput kopi dan membaca koran seperti biasa.

"Lang, kamu hari ini pulang langsung pulang ya?" Pinta Papa pada Kak Elang.

"Oh, aku gak bisa, Pa. Aku sibuk. Bahkan kayanya aku bakalan nginep lagi di kampus." Jawab Kak Elang.

Mama tiba-tiba datang dari dapur dan duduk tepat di sebelahku sambil menatap Kak Elang, wajahnya serius namun tetap bijaksana seperti saat dia memarahiku kalau aku memecahkan vas bunga kesayangannya.

"Lang, ini buat keselamatanmu juga, sayang. Kami sayang sama kamu, Nak. Tau sendiri belakangan aparat dan pemerintah lagi sama gilanya. Kami takut kamu jadi korban. Kamu gak usah ikutan ya?" Bujuk Mama.

Aku tidak mengerti apa yang Kak Elang dan orangtuaku bicarakan. Yang aku tahu, Kak Elang hanyalah kakak laki-laki yang umurnya berbeda cukup jauh dariku, ia mahasiswa ilmu hukum disebuah kampus swasta di bilangan Jakarta. Belakangan aku termasuk mulai jarang melihat Kak Elang dirumah. Kadang ia bisa pulang saat aku sudah lelap tertidur dan berangkat pagi sebelum aku bangun. Kakak juga sering tidak pulang. Tapi yang aku tahu Kak Elang bukan anak yang nakal.

"Ma, Pa, negara kita sudah gak aman, sampai kapan Mama dan Papa mau begitu terus, diam dibalik rasa takut tapi juga terlena dalam buai korupsi. Aku dan teman-temanku cuma memperjuangkan hak kita sebagai rakyat. Lagian aku gak sendiri kok, banyak juga yang melakukan pembaharuan ini. Mereka datang dari seluruh pejuru wilayah Indonesia demi kemajuan kita." Orasi Kak Elang yang datar membuat suasana pagi itu jadi tegang.

"ELANG! Perjuangan apa? Apa yang kamu sebut perjuangan? Kamu dan semua mahasiswa lain hanya sok berani jadi pahlawan. Apa yang kamu lakukan itu hanya merugikan negara. Kamu dan mahasiswa-mahasiswa lain hanya ingin menghancurkan bangsa kita." Sanggah Papa.

"Siapa yang sekarang menghancurkan, Pa? Mahasiswa atau Si Tua Bangka yang sudah 32 tahun itu duduk menginjak-injak rakyat?" Balas Kak Elang.

"Hati-hati kalau kamu bicara!" Ancam Papa.

"Apa? Papa takut jabatan Papa sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kantor Departemen Kelautan itu hancur? Kalau Papa takut, jangan bilang ke orang lain kalau aku ini anak Papa. Pa, aku cuma membuat pembaharuan." Wajah Kak Elang menegang.

"Tapi caramu ini salah."

"Salah? Lalu dengan cara apa lagi kita bisa didengar? Dari dulu kita telah berusaha dari cara yang paling halus sampai bergerilya. Apa yang kita dapat? Tetap saja kita dibodoh-bodohi, Pa! Aku dan teman-teman ku-dengan seluruh mahasiswa akan berdemonstrasi demi Indonesia yang baru. Indonesia yang lebih baik, Pa! Buka pikiran papa sekali-sekali." Kata Kak Elang dengan emosi yang meledak-ledak.

Kulihat Papa tampak marah dengan apa yang Kak Elang katakan, padahal aku tidak mengerti sama sekali. Mama terlihat menengahi mereka berdua namun tampak gagal.

"Ayo Gilang, kita berangkat sekarang." Ajak Mama berbisik.
Sebetulnya bisikan Mama membuat aku sedikit lega karena aku akan keluar dari situasi genting itu. Akupun segera beranjak dari tempat duduk.

"Pa, aku berangkat ya." Kataku sambil menghampiri Papa. Otot-otot di wajah Papa sedikit mengendur ketika aku meraih tangannya dan menyalimnya. Aku lalu berjalan ke Kak Elang lalu mengucapkan salam juga padanya. Kak Elang berbisik padaku.

"Kalau nanti sudah besar, kamu harus janji sama kakak kamu akan jadi orang baik ya. Yang adil, yang demokratis." Bisik Kak Elang.

"Aku mau jadi pilot, Kak. Aku janji akan jadi pilot yang baik." Kataku. Lalu Kak Elang mengelus kepalaku dengan lembut.

"Aku percaya sama kamu, Gilang." Kata Kak Elang.

Aku pun pergi bersama Mama ke sekolah dengan mobil. Sebelum aku benar-benar pergi meninggalkan rumah, aku masih dengar sedikit percakapan yang berat dan penuh dengan amarah antara Papa dan Kak Elang.

Kalimat terakhir yang ku dengar dari Papa untuk Kak Elang, "Jangan lagi kamu kembali kerumah ini. Jangan lagi kau bilang aku ini Bapakmu!"
Dan akupun menjadi takut.

Ditambah lagi sepanjang perjalanan menuju sekolah aku melihat ada api melahap mobil dan banyak bangunan serta toko tutup dan hancur. Sungguh sangat sepi mencekam. Mama pun tampak tegang saat menyetir mobilnya.

"Ma, aku takut." Kataku.

Mama hanya menatapku sedikit. "Gilang, kita pulang aja ya?"

Tak lama Mama membelokan setirnya menuju jalan pulang dan hari itu aku tidak pergi ke sekolah. Mama juga tidak marah.

Ketika aku sampai dirumah Papa dan Kak Elang ternyata sudah pergi. Entah mengapa aku berharap Kak Elang kembali lagi hari itu dan tidak pergi kuliah. Aku takut dan aku rindu dia. Tapi aku tidak berkata apa-apa.
Aku cuma menangis tanpa suara dan tertidur didalam kamarku dan bermimpi tentang suara pistol yang sayup sayup terdengar ditelingaku.

Suara pistol dalam mimpiku sangat jauh, menyeramkan, dan sangat nyata. Dalam mimpiku aku takut sekali namun semuanya menjadi hitam dan aku terbangun. Aku lega itu hanya mimpi.

Ketika aku terbangun, hari sudah cukup sore dan kulihat Mama sedang duduk di depan TV. Kulihat ia tidak menontonnya, namun ia hanya menunduk dan menangis memandangi foto Kak Elang.

Aku mendekatinya. Aku takut sekali dan rasanya tidak ingin mendengar apapun. Aku memeluk Mama erat erat dan ia balas memelukku.



Aku tidak pernah bertemu Kak Elang lagi semenjak pagi yang tegang itu. Terakhir kulihat hanya namanya yang ada di kayu nisan yang tertancap ke tanah dan semua orang berdiri berkeliling dengan baju warna hitam. Menurutku itu adalah hari yang berat untuk Papa ataupun Mama.


Sekarang usiaku sudah 21 tahun. Aku tahu persis apa yang terjadi pada kakakku, Elang. Ia meninggal ditembak aparat saat itu, saat dia menjadi mahasiswa dan membawa revolusi untuk Indonesia. Sehingga sampai dewasa ini dalam hatiku jadi tertambat rasa hormat yang besar pada kakak ku yang telah menjadi pahlawan. Bukan hanya untukku, tapi untuk semua masyarakat Indonesia.

Aku jadi ingat pagi terakhir aku melihat Kak Elang duduk didepanku, wajahnya yang tampan itu kelelahan namun tetap penuh semangat. Saat itu aku masih kelas 1 Sekolah Dasar. Aku ingat tepat di belakang Kak Elang ada sebuah kalender tertempel di dinding. Hari itu hari Selasa, tanggal 12 Mei tahun 1998.

Jakarta 2011
This is not a true story but inspired by true event.

22.2.11

Perut

Aku tinggal di negara ini sejak aku lahir.
Ayah-Ibuku pun warga negara resmi republik ini.
Aku memijak kaki di negeri mantan-makmur ini.

KRISIS MULTIDIMENSI.

Apa yang ada di kepalamu saat ini?
Ini jaman sudah krisis.
Aku hidup di zaman krisis.
Rezim krisis.
Segala hal krisis.
Kepercayaan. Moral. Kejujuran.
Moneter. Politik. Intervensi.

Pada zamanku, negara sudah tidak lagi hijau.
Padahal kata Ibuku dulu, negara memiliki apapun yang aku inginkan.

Pada zamanku, negara ini melindungi koruptor dan menjebloskan yang tidak bersalah.
Dulu, kata Ayahku, sedikit saja kita berbuat kesalahan, kita bisa dipenggal.

Aku hidup dimana orang-orang semuanya hanya bekerja dengan mulut dan perut.
Diantara orang orang yang picik, buaya dan serigala. Sedikit saja kita melangkah, kita akan salah.

Aku hidup dimana matahari begitu panas namun masih banyak orang berseru ditengah jalan mempertanyakan keadilan.
Diantara keringat itu, masih saja diharapkan tonggak-tonggak kejujuran.

Aku hidup dimana orang yang benar akan mati dan orang yang salah akan menempatinya.
Dimana neraka masih terasa jauh lebih sejuk daripada disini.

Aku juga hidup dimana zaman itu disebut globalisasi. Artinya pengglobalan, penduniaan sehingga batas-batas negara satu dengan yang lain hilang.
Namun entah mengapa, kami justru diisolasi dengan alasan palsu untuk urusan perut orang-orang penting.

Ketika aku berjalan, kulihat begitu banyak teriakan minta tolong,
Sabda-sabda minta tolong dan lolongan panjang mohon kehidupan dan kelayakan.

Ketika aku berlari, bukan angin segar menerpaku, melainkan debu-debu racun mengotori seluruh wajahku.

Ketika aku melihat hujan, dimana-mana tergenang air mata meminta pembebasan. Seakan-akan parit-parit dipinggir jalan sama sekali tidak cukup untuk membantu.

Aku disuruh bersyukur oleh petinggi, namun mereka mengambil seluruh harta milikku
dan mengambilnya untuk mereka kumpulkan kembali dalam buli-buli mereka.

Aku melihat segalanya dalam bentuk kotak. Sama.
Aku melihat pembelaan hanya terjadi dalam pihak yang berperut besar.
Aku menilai segala hal tak lagi wajar.

Bibirku melontarkan syair Ibu Pertiwi.
...Kini Ibu sedang lara
merintih dan berdoa...

Mereka duduk di kursi yang empuk.
Di beri kepercayaan.
Kepercayaan yang dibeli dan diberikan secara paksa.
Hanya karena budaya kita yang 'tak enak hati'.

Sekarang, mereka mengambil keputusan untuk perut mereka.
Mengahalangi kita untuk lebih maju.
Mengambil resiko untuk membuat masalah baru.
Kemudian masalah baru digunakan untuk menutupi masalah yang sedang membengkak.

KLIMAKS.

Semuanya berjalan sama.
Semuanya bobrok dan perlu dibuat ulang.
semuanya dilakukan untuk sebatas memenuhi kelebihan perut.

Untuk perut yang lebih besar, lebih besar, bengkak dan terbang.
Perut itu memakan jiwa.
Korban jiwa yang lebih besar dari pada bencana alam.

Perut itu dibungkus jas,
dililit dasi, masuk keperaduan dalam mobil yang ber AC dingin


Entah sampai kapan pemilik perut itu terus mengisi pundi-pundinya.
Dan akhirnya hancur dalam bentuk darah dan muntahan.
Keadilan yang marah sekarang.



Jakarta