"Kalau aku besar nanti, aku akan jadi orang baik." Katanya sambil memiting miting rumput dan duduk melihat matahari terbenam bersamaku. Ia adalah sahabatku. Namanya Ardi. Temanku sejak aku bayi.
Aku lahir dua hari setelahnya, orangtua kami sudah bertetangga sejak dulu. Sifatnya hampir mirip denganku, namun dia sedikit radikal.
Hari itu sudah sore, aku bermain bersama Ardi sejak kami pulang sekolah dan sekarang lelah rasanya jika kita terus melanjutkan bermain lari-lari bolak balik morat marit dan kami memutuskan untuk menghabiskan senja sampai maghrib-sampai orangtua memanggil.
"Maksudku cita cita yang lebih spesifik loh!" Jelasku saat kami berbicara tentang mimpi.
"Memang kau tau kalau besar nanti kita jadi apa? Kitakan harus berpikir yang pasti." Tukasnya.
"Aku sih nanti bakal jadi Dokter. Aku bisa menyembuhkan banyak orang dan aku kaya." Kataku lagi sambil memamerkan mimpiku.
"Ah, bagaimana pekerjaan mu, itu sih bagaimana pengabdianmu. Kalau aku sudah bertekad kalau aku akan jadi orang baik. Tidak perduli mau bekerja sebagai apa. Mau jadi pengusaha, fotografer, bahkan penjual kacang atau buruh bangunan. Aku betul betul belum memikirkan tentang karier, Ga. Tapi aku punya niat yang sangat besar untuk jadi orang baik." Jelasnya sambil memandang langit sore yang oranye sangat indah.
"Tapi bagaimana kalau kau miskin?" Tanyaku.
"Aku tidak peduli, Ga. Akupun sekarang miskin, kita miskin, tapi kalau kita jadi orang baik, pasti kita akan jadi orang berguna meskipun kita hanya berjualan mie." Katanya.
"Rezeki kita itu diatur loh, jadi dinikmati saja." Lanjutnya.
"Tapi kau kan harus menghidupi keluargamu, kitakan laki-laki. Ibuku bilang kalau jadi laki-laki harus melindungi seorang wanita yang paling dia cintai dan nanti harus membesarkan anak anak. Kau kan tahu keinginan anak anak itu sangat banyak dan mahal. Aku tak akan membiarkan anakku menderita sepertiku." Kataku.
"Kau mungkin akan memperlakukan anakmu seperti yang kau alami, tapi kau harus bijaksana. Paling tidak jika kau nanti jadi orang kaya, anakmu tidak akan mandi uang kan?! Maksudku, paling tidak kau harus memberi anakmu banyak banyak cinta." Nasihatnya.
Aku terdiam. Kadang aku berpikir kalau Ardi adalah orang dewasa yang terjebak dalam tubuh anak anak. Aku selalu kalah berkata kata darinya, tapi caranya mengecilkanku itu sama sekali tidak membuatku kalah, malah justru aku merasa bertambah tegar dan kuat.
"Di, kita tidak pulang?" Ajakku.
"Kau ingin pulang? Kau duluan sajalah." Katanya.
"Mengapa?"
"Kadang kadang aku berharap aku bisa berpikir tidak dewasa seperti yang kau pikirkan. Aku cuma- tidak ingin menjadi dewasa."
Dia membaca pikiranku- dia betul betul membaca pikiranku.
No comments:
Post a Comment