16.8.14

Gunting

Suatu hari, gunting yang sederhana itu bertanya pada kertas mengkilap warna warni yang baru saja dihabisinya menjadi bentuk bentuk yang menyenangkan dan unik.

"Hei, mengapa kalian membiarkan diri kalian ku habisi begitu saja?"

"Kami tidak membiarkan kau menghabisi kami," jawab si kertas merah yang berbentuk oval dengan defensif.

"Kami memang sengaja di biarkan berbentuk begini untuk membentuk rangkaian keindahan, jadi nanti kami akan jadi bagian dari keindahan," jawab si kertas hijau berbentuk segitiga dengan angkuh.

"Lihat, walaupun kami sudah tidak berbentuk seperti sedia kala namun bisa lihat, betapa manisnya kami saat Toni dan Sasha menempel kami pada karton besar untuk prakarya mereka. Setidaknya, kekurangan kami malah justru membuat keindahan, bukan hanya merusak seperti kau," tambah si biru yang kini berbentuk melengkung-lengkung.

Gunting jadi menyesal menanyakan hal itu pada kertas-kertas sombong. Apakah gunting hanya bisa merusak selama ini, merusak lebih lama dan lebih jauh menjadikan yang lain sebagai kepingan dan hancur tak bersisa. Menjadi gunting yang membawa sial bagi yang lain, yang tidak berguna; atau lebih tepatnya tidak diinginkan dan sifat dasarnya destruktif. Apakah gunting sungguh tidak berguna?

Gunting pun memutuskan untuk menjauhi para kertas mengkilat yang sombong. Lalu ia membiarkan dirinya terbaring disitu dan tidak berguna, kadang-kadang ia juga membiarkan dirinya menangis dan bersedih, sementara si kertas-kertas sibuk bergosip dan berangan-angan akan menjadi prakarya yang bagaimana mereka kelak.

“Sasha, Toni, dimana kalian meletakan gunting Ibu, sayang?” tanya suara lembut Bu Dewi, seorang ibu rumah tangga yang baik hati pada kedua buah hatinya. Ia tengah memastikan bahwa kedua anaknya tidaklah sedang berbuat nakal atau yang melukai satu sama lain. Memang kadang, Toni dan Sasha, buah hatinya, sering bertengkar. Namun mereka tetaplah saling menyayangi satu sama lain.

“Di sini! Di kamar Sasha, Bu.” jawab Toni, si anak tertua.

“Namun kami masih membutuhkannya, Bu,” timpal Sasha. 

“Apa yang sedang kalian kerjakan sih?” tanya Bu Dewi sambil menghampiri kedua buah hatinya di kamar serba warna pink kesukaan Sasha.

“Bukan apa-apa, Bu. Hanya tugas sekolah kok,” jawab Toni sambil menempel kertas-kertas mengkilap warna warni dalam media karton besar lain dibantu Sasha yang menggambar roket dan planet-planet di sekelilingnya.

“Tugas prakarya?” Tanya Bu Dewi sambil memperhatikan proses kerja kedua buah hatinya. Bu Dewi mengelus kepala kedua anak yang amat dikasihinya itu kemudian mengecup puncak kepala mereka masing masing dengan penuh rasa sayang.

Toni dan Sasha hanya tersenyum senang dan kembali melanjutkan membuat prakarya. Toni kembali mengunting kertas berwarna biru, kali ini ia membuat bentuk seperti roket yang telah digambar oleh Sasha. Sedangkan Sasha sudah selesai menggambar dan melanjutkan untuk menempel bentukan-bentukan dari kertas mengkilap berwarna warni yang telah Toni gunting sebelumnya.

“Sebenarnya, kami sedang membuat semacam ucapan selamat ulang tahun untuk Ibu Guru.” Jawab Sasha.

“Ada yang bisa Ibu bantu?” Tanya Bu Dewi. Nampaknya, Bu Dewi tidak ingin membuat anaknya kesulitan, namun untunglah selama ini Bu Dewi tidak pernah memanjakan mereka.

“Sejauh ini, kami berdua masih bisa menangani sendiri. Mungkin jika kami kesulitan, kami akan minta tolong Ibu.” Jawab Toni yang sudah selesai menggunting kertas biru sesuai dengan bentuk roket yang telah Sasha gambar.

“Baiklah kalau begitu. Kalian berdua berhati-hatilah dalam menggunakan gunting. Jangan sampai melukai tangan kalian, ya. Gunting itu sangat berguna; kalian bisa membuat bentukan-bentukan kertas yang bagus dengan gunting. Tapi, jika kalian tidak menggunakannya dengan baik, maka gunting bisa melukai tangan kalian.” Pesan Bu Dewi lagi. Ia hanya ingin memastikan bahwa kedua anaknya yang cerdas ini bisa dengan cermat menggunakan gunting.

Diam-diam, gunting yang sedang digunakan Toni saat itu merasa lega dengan kata-kata Bu Dewi. Setidaknya ia tahu, ia bukanlah perusak, bukanlah satu yang tidak berguna meskipun sedikit banyak orang menilainya demikian. Tapi tentu, di dunia ini masih ada yang memerlukan kehadirannya dan yang pasti seseorang akan menyimpannya dengan baik karena dilain kesempatan, ia akan sangat dibutuhkan untuk merobek sesuatu yang tidak sesuai.

“Siap, Bu!”

“Buatlah semaksimal mungkin, nak. Ibu Guru pasti akan sangat bangga dan gembira melihat kerja keras kalian.”

Toni dan Sasha hanya tersenyum, rasa percaya dalam diri mereka meningkat, setidaknya mereka tahu bahwa akan ada orang yang menghargai usaha kerasnya.

“Apa Ibu sungguh membutuhkan guntingnya?” Sasha bertanya.

“Tidak. Ibu hanya ingin memastikan kalau nanti kalian sudah tidak menggunakannya, kalian akan meletakan gunting itu di rak serbaguna milik Ayah.”

“Baiklah, Bu.” Jawab Sasha dan Toni hampir berbarengan.

“Ibu akan ada di dapur, memasak makan malam. Jika nanti ada perlu, segeralah hampiri Ibu.” Pesan Bu Dewi pada kedua anaknya.

“Terimakasih, Bu.” Jawab Sasha dan Toni hampir berbarengan.

Lalu Bu Dewi yang baik hati itu meninggalkan buah hatinya untuk tetap berkarya, membuat suatu karya dengan maksimal dan penuh dengan kesungguhan hati.

Menjelang sore, sebelum makan malam, kertas-kertas mengkilap yang anggun itu pada akhirnya menghasilkan rangkaian karya yang indah berkat tangan Sasha dan Toni. Esok harinya, ketika mereka memberikannya kepada Ibu Guru, rupanya Ibu Guru sangat terkejut juga terharu sekaligus bangga atas kerja keras serta usaha dari Sasha dan Toni.

Kertas-kertas itu merepresentasikan jiwa-jiwa ketulusan kanak-kanak Sasha dan Toni yang tidak akan pernah dilupakan Ibu Guru seumur hidupnya--mungkin. Namun kertas-kertas mengkilap itu tidak bertahan lama, meskipun kenangan di hati Ibu Guru akan tetap ada dan membekas sampai Sasha dan Toni beranjak dewasa.

Prakarya itu kemudian memang dipajang di dinding ruangan kelas sampai Sasha dan Toni naik tingkat. Namun, pada akhir semester, prakarya tersebut diturunkan, disimpan di dalam gudang sekolah dan hanya berdebu dan tidak pernah disentuh lagi.

Kertas-kertas yang mengkilap itu menjadi usang dan tidak ada artinya lagi dalam artian sesungguhnya. Sedangkan gunting malang itu tetap disimpan rapi di rak serbaguna milik Ayah dan terselip senyum singkat di sepanjang hidupnya.


Jakarta
Juni 2014