13.5.10

Asap

Setiap hari akan kurang cerah
Ada sedikit gelap atau mungkin memang di beri tenda
Tuhan memayungi kami, anak kecil yang kurang bernapas
Memberi kami tumpangan untuk sekedar mengoret oret jalanan

Reruntuhan tajam menghujam kami diatas pahatan pahatan yang kami buat
Kami kolosal di setiap langkah yang kami pijakan
Sedikit gemerincing hujan mengetuk-ngetuk pintu hati kami
Kami terlalu klasik membuat skenario yang akhirnya di buang

Kami terbentang di jalan, terkurung dalam keramaian
Ranah sepi kami lihat hutan
Pahit untuk di kecap dan tidak hilang

Kami bermusik dari distorsi ukulele murah dengan senar benang layangan
Ini cuma sebagian dari hidup kami
Ketika kami diajak berdiri dan ada orang orang menangis
Sehingga kami dibilang lebih berorientasi

Ini katalis dari segala macam reaksi
Ini kelarutan dari segala tindak sosialisasi
Kami terbentuk karena deferenisasi
Membangun kami dalam konsep tua
Untuk hidup di sebelah roda dan asap

7.5.10

Reflektor

Ini cuma seperempat bagian cerita yang hilang ketika jaman di telan usang. Ada yang bilang mirip cerita Ali dan Fatamogana. Tapi menurut pencipta itu bukan klise. Tepatnya suatu pengembangan dari karyanya sendiri.
Mari di simak.

Ada orang, duduk di pinggir taman, sendiri dan sedang mengalami kendala. Bukan karena tidak bisa pulang ke rumah, namun karena tak ingin. Kepalanya menggeruntu. Orang lain tidak perduli. Tukang jualan, pejalan kaki, turis, tukang foto, tukang semir sepatu, tukang koran, orang pulang kerja, anak dan ibu, mana ada yang perduli.

Ini pendulum dimakan zaman. Ini situasi sekitar tahun 1975, tapi dia hanya pelajar baru lulus bangku SMA. Gayanya yang tua jika kita lihat dari sudut pandang orang kita.

”Saya cuma orang kolot di besarkan oleh konspirasi di telan zaman. Sering muak dengar kata ibu saya yang mana Almarhum Bapak mati karena ikut-ikut PKI. Dulu saya kira karena imbasnya, tapi memang ternyata Bapak adalah anggota PKI.” Katanya dalam hati.

Ada malaikat yang menatapnya dari jauh. Itu malaikat, bukan bapaknya, bukan ibunya. Malaikat. Lebih bagus lagi, Dewa. Dewa itu mungkin dapat membaca pikiran.

Orang itu membuka buku di tangannya, tapi pikirannya bukan ke buku usang itu. Buku yang usang itu di sampul kalender bekas agar tak ketahuan buku lama. Buku itu buku terjemahan berjudul Sherlock Holmes yang dulu adalah bacaan ringan ayahnya semasa muda, turunan dari kakeknya.

Sementara itu banyak sekali orang lalu lalang. Sedang berlari menjinjing tas, naik sepeda, berdagang koran, menyemir sepatu dan aktivitas lain yang nampaknya kacau. Ada pun anak kecil sedang bermain bersama Ibunya melewatinya pula.

Tiba-tiba ada pesawat melintas rendah di angkasa.

”Yah, itu pasti punya Soeharto. Pasti hasil korupsi. Ah, bukan korupsi, tapi patungan. Tapi itu mungkin milik swasta. Sejauh bukan pesawat pribadi, pasti itu bukan hasil korupsi.” Pikiran Orang itu kalang kabut sambil menatap angkasa.

”Ibu itu burung... Burung mesin... Buruuuung mesin... Burung Mesiiiin!” seru anak kecil sambil menunjuk pesawat yang terbang landai, ia berlari lari mengejar pesawat itu tanpa perduli dia sudah di pinggir jalan raya. Ibunya mengejarnya. Ibunya yang membawa gendongan dan membawa makanan dalam ompreng plastik dan dot. Sembari mengejar buah hatinya. Mereka terlihat bukan seperti orang berada.

”Ibu, katanya Bapak naik burung mesin, itu bapak di dalam?” Tanya anak kecil itu polos pada ibunya.

Ibunya hanya memeluk dan mencium anak itu, lalu menuntun anak itu ketempat yang lebih aman dari pada pinggir jalan raya.

”Ayo, habiskan makananmu.” Kata Ibu itu sabar sambil menyuapi anaknya.

Dibalik itu tidak ada yang tahu kalau Ayah anak itu juga sudah mati. Mati di Negeri orang. Saat ia pergi ke negeri orang untuk bekerja. Lalu karena ada propaganda, dibunuh dalam KRL-kisahnya mirip gerbong maut—dan mati. Tanpa kabar. Sudah 365 hari sejak kepergiaan ayah anak itu dan kemudian mati.

Ibu tidak perduli. Yang ada ia hanya berdoa agar suaminya cepat kembali. Dengan utuh.

Untuk Orang dengan buku terjemahan, itu pemandangan yang sangat lazim. Melihat orang tidak berada mengejar pesawat. Bahkan rasanya hidupnya lebih buruk daripada anak itu. Orang itu pun menutup mukanya dengan buku lagi.

Malaikat yang mengamati orang dengan buku terjemahan itu perlahan menghampirinya. Ada anjing menggonggong saat malaikat itu mendekati dirinya. Sebab wujudnya orang lain. Laki-laki, asing, kurus dan getir.

Orang itu tetap membaca buku, namun waspada. Ada orang asing di sekitarnya. Ia pun memberanikan diri berkata apa yang ia rasakan.

”Anjing menggonggong. Apakah itu pertanda saat Anda duduk di sebelah saya?” Tanya Orang itu pada Malaikat di sampingnya.

”Saya terlihat seperti monyet? Atau Penjahat?”

”Keduanya.” Kata orang dengan buku terjemahan itu yang tak lama berdiri serta menjinjing tas dan kemudian pergi.

Malaikat itu sendirian. Hari itu semakin sore. Malaikat itu tidak menjadi begitu tahu apa yang terjadi. Niatnya batal.

Tanpa tahu, besok akan ada air mata lagi.

Orang dengan buku Sherlock Holmes 5 menit kemudian- setelah meninggalkan tempat itu mati ditangan Penembak Misterius. Ia tidak melakukan kejahatan apapun. Dia hanya karena ia lewat di depan orang gila yang gila demokrasi-atau mungkin haus demokrasi. Mungkin, salah tembak.

Seseorang yang lari menjinjing tas terburu-buru--yang sempat lewat di depan Orang dengan Sherlock Holmes- besok, dipecat dari pekerjaannya.

Orang yang bersepeda besok juga mati di tabrak mobil Jendral.

Orang yang menyemir sepatu, besok, modalnya hilang, bebawaannya jatuh dan dilindas oleh truk.

Orang yang menjual koran, besok harinya koran baru yang belum terjual sama sekali, jatuh ke sungai. Semuanya.

Ibu dan anak itu menemukan kebenaran besok. Yang ditunggunya akhirnya pulang. Sudah berupa jazad, berbelatung pula, berbau busuk.

Sedangkan burung mesin, ah iya, burung mesin. Esok ia harus membawa penumpang lagi ke wilayah timur dan ia akan di sedot oleh langit misterius Indonesia diatas khatulistiwa dan tidak akan di temukan lagi.

Sedangkan malaikat, apa sebetulnya yang ia tahu? Ia tak tahu menahu. Nama pun dia tidak tahu. Dia tidak betul dapat membaca pikiran. Dia malaikat aneh. Bahkan nampaknya dia bukan Malaikat apalagi dewa.

Dia hanya jazad kasat mata nampaknya. Jazad itu menemui anak dari teman masa kecilnya untuk perantara. Sahabatnya yang telah mati lebih dulu karena ikut-ikut PKI.

Niat sesungguhnya hanya ingin meminta tolong dari anak sahabatnya. Namun mengetuk hati itu sulit. Gagal meminta anak sahabatnya untuk jadi perantara untuk berbicara.

Sore itu sunyi, orang-orang telah pulang. Sudah lebih dari setengah enam.

Tidak sempat ia minta reflektor untuk bilang pada anak dan istrinya, ”Besok aku pulang. Tidak naik burung mesin.”

Jakarta, 6 Mei 2010
Menua