11.3.13

Kura - Kura

Tempat tinggi dan kecil di suatu sudut kota dimana sinar matahari terbenam berpendar warna oranye sempurna dan ia melihat semua orang kembali ke peraduan dengan seirama, melintasi pematang sawah dan burung-burung bernyanyi lagu untuk pulang sementara burung-burung bulbul di dekat hutan sedang bersiap-siap menyanyikan senandungnya untuk tampil di jagad raya nanti malam.

Lama sekali, dua pasang mata Dewi menatapi kegiatan disekitarnya tanpa satu orangpun sadar bahwa Dewi mengamati mereka.
 Pemandangan dari tempat itu ramah, hangat dan sedikit kelam, tapi tempat Dewi berdiri sangat angkuh tua dan diam.

Tempat tinggi itu penuh bebatuan tua yang besar, sudah tua dan terpencil.

"Sudah mau malam Dewi, ayo bergegas!" Yudha tiba-tiba datang mengajak Dewi untuk pulang. Hanya Yudha yang tahu kemana Dewi pergi, hanya Yudha yang mampu membujuknya.

"Dewi belum mau pulang," Jawab Dewi.

"Dewi sudah dicari ibu," Kata Yudha.

"Pokoknya Dewi gak mau!" Seru Dewi dengan kesal.

Kemudian, bukannya mengalah dan pulang, Dewi justru bersimpuh sambil memukul-mukulkan tangannya ke batu-batu sekitarnya.
Tangan Dewi terluka. Yudha tidak tinggal diam, dengan sekuat tenaga ia menahan Dewi agar tidak menyakiti dirinya sendiri.

"Kalau Dewi gak mau pulang, Yudha juga gak mau." Bisik Yudha sambil memeluk Dewi dengan erat, mencegah gadis malang itu mencederai dirinya sendiri.

Dewi terdiam, tiba-tiba ia bisa jadi sangat diam.

Dewi memang mengalami sindrom autisme sejak lahir. Sifatnya seringkali labil, penyendiri, suka mencelakai dirinya sendiri namun di samping itu ia sangat pandai melukis.

Dewi pandai melukis memang, banyak lukisan realis hingga surrealis yang telah diciptakan oleh tangannya.

Namun autisme yang menjadi beban hidupnya merupakan kendala untuk gadis manis ini di terima banyak orang.

"Dewi mau pulang, tapi... Tapi Dewi hanya mau melukis." Kata Dewi tiba-tiba di dalam pelukan Yudha.

"Iya, Dewi. Nanti sampai rumah kamu melukis lagi." Ucap Yudha.

"Tapi... Tapi..." Tangis Dewi pecah lagi.

"Tapi apa?" Tanya Yudha sabar.

"Cat Dewi sudah habis," Jawabnya disela tangis.

Ingin rasanya Yudha bilang, "Nanti ku belikan lagi." Tapi kata-kata itu hanya terucap di angannya saja. Uang Yudha sudah habis. Sedangkan Yudha bukan tipikal orang yang suka mengingkari janji.

Yudha hanya memeluk Dewi yang telah rapuh dan duduk disitu berdampingan, ditemani senja yang berwarna oranye berkilauan.

Dewi yang sedaritadi menangis lama-lama meredakan juga tangisnya sampai ia hanya diam saja dalam pelukan Yudha.

"Dewi, apa hewan kesukaanmu?" Tanya Yudha dengan lembut tiba-tiba.

"Dewi suka kura-kura." Jawab Dewi tanggap.

Yudha hanya menyerngitkan dahinya bingung apa hebatnya hewan tua yang lambat itu?

"Mengapa?" Tanya Yudha.

"Dewi ingin jadi kura-kura. Dewi ingin hidup 350 tahun lagi. Seperti kura-kura. Tidak apalah kalau dia jalannya lambat, toh misalnya hujan atau kepanasan dia tinggal berteduh dimana saja, tanpa peduli apa kata orang." Tutur Dewi dengan berbinar-binar.

"Kenapa Dewi ingin hidup hingga 350 tahun lagi? Mungkin jauh sebelum Dewi meninggal Yudha sudah meninggal terlebih dahulu. Lalu siapa yang akan menemani Dewi nanti? Apa Dewi mau hidup sendirian?"

"Tidak apa. Dewi akan bertemu orang-orang lain, melihat sekitar Dewi beregenerasi, dan pada akhirnya bisa menerima Dewi apa adanya. Seperti Yudha menerima Dewi. Dewi percaya semua orang bisa menerima keadaan Dewi suatu hari." Jawab Dewi.

Selama ini Dewi yang malang memang tidak diterima siapapun. Ia dituduh orang gila, kadang orang-orang menilai autisme adalah penyakit menular. Semua orang tidak menyukai anak ini.

"Dewi juga ingin punya tempurung besar, untuk melindungi Ibu, Bapak atau mungkin juga Yudha, supaya telinga dan hati kalian tidak sakit mendengar apa kata orang. Tidak harus bagus. Berlumut juga tidak apa-apa, yang penting terlindungi." Lanjut Dewi.

Mungkin bisa saja Yudha saat itu bilang "Jangan pikirkan apa kata orang, Dewi!" Tapi kata-kata itu sudah menguap dan tidak penting lagi. Sudah berkali-kali Yudha menghimbau Dewi agar ia tidak mempedulikan apa kata orang dan rasanya, walaupun Dewi sudah acuh, tidak bisa di pungkiri kalau penduduk desa masih merasa keberatan Dewi menjadi bagian diantara mereka. Bahkan setelah usia Dewi menginjak 25 dan Yudha 27.

"Dewi, mari kita pulang." Ajak Yudha sekali lagi.

Dewi menggeleng. "Dewi sudah dengar kalau Yudha mau pergi ke kota," Kata Dewi tiba-tiba.

Bagaimana gadis ini bisa tahu, padahal Yudha mati-matian menyembunyikan hal ini dari Dewi atau keluarganya. Ia takut jika Dewi tahu hal ini, ia akan bertindak macam-macam diluar prediksi kita. Yudha daritadi hanya terdiam dan merasa bersalah.

"Yudha jangan merasa bersalah begitu. Dewi tidak apa-apa. Dewi kan sudah besar. Kapan Yudha akan pergi?"

"Lusa. Kau ingin menitip sesuatu?"

"Dewi hanya ingin Yudha pergi dengan selamat, maka pulanglah dengan selamat."

Yudha hanya tersenyum kecil. "Rupanya, Dewi sudah dewasa ya." Puji Yudha kagum.

"Dan Dewi mohon, untuk pertama dan terakhir kalinya, tinggalkan Dewi sendiri." Pinta Dewi.

"Tapi, saat sudah gelap nanti, Dewi harus pulang ya. Berjanjilah."

Dewi mengangguk kecil.

Yudha hanya pergi dari situ dengan langkah gontai. Di kepalanya terukir masa depan, langkah-langkah, rencana dan cinta. Semua ia desain dengan sepenuh hatinya. Apalagi ia bertekad untuk membawa serta Dewi dan keluarganya keluar dari desa persetan ini. Cerah dalam pikirannya, cerah dalam senyumnya.

Sedangkan kita tidak pernah tahu apa yang Dewi pikirkan, tidak ada yang pernah tahu bahwa setelah itu tidak ada lagi semangatnya untuk tetap bertahan sampai 350 tahun.
Dewi menghempaskan tubuhnya agar jatuh dari atas. Perlahan namun pasti, hingga menjadi sangat cepat.
Tubuh Dewi kemudian berhamburan di dekat persawahan.
Hancur, mati dan tidak pernah kita mengerti lagi.

Jakarta, Maret 2013