16.8.14

Gunting

Suatu hari, gunting yang sederhana itu bertanya pada kertas mengkilap warna warni yang baru saja dihabisinya menjadi bentuk bentuk yang menyenangkan dan unik.

"Hei, mengapa kalian membiarkan diri kalian ku habisi begitu saja?"

"Kami tidak membiarkan kau menghabisi kami," jawab si kertas merah yang berbentuk oval dengan defensif.

"Kami memang sengaja di biarkan berbentuk begini untuk membentuk rangkaian keindahan, jadi nanti kami akan jadi bagian dari keindahan," jawab si kertas hijau berbentuk segitiga dengan angkuh.

"Lihat, walaupun kami sudah tidak berbentuk seperti sedia kala namun bisa lihat, betapa manisnya kami saat Toni dan Sasha menempel kami pada karton besar untuk prakarya mereka. Setidaknya, kekurangan kami malah justru membuat keindahan, bukan hanya merusak seperti kau," tambah si biru yang kini berbentuk melengkung-lengkung.

Gunting jadi menyesal menanyakan hal itu pada kertas-kertas sombong. Apakah gunting hanya bisa merusak selama ini, merusak lebih lama dan lebih jauh menjadikan yang lain sebagai kepingan dan hancur tak bersisa. Menjadi gunting yang membawa sial bagi yang lain, yang tidak berguna; atau lebih tepatnya tidak diinginkan dan sifat dasarnya destruktif. Apakah gunting sungguh tidak berguna?

Gunting pun memutuskan untuk menjauhi para kertas mengkilat yang sombong. Lalu ia membiarkan dirinya terbaring disitu dan tidak berguna, kadang-kadang ia juga membiarkan dirinya menangis dan bersedih, sementara si kertas-kertas sibuk bergosip dan berangan-angan akan menjadi prakarya yang bagaimana mereka kelak.

“Sasha, Toni, dimana kalian meletakan gunting Ibu, sayang?” tanya suara lembut Bu Dewi, seorang ibu rumah tangga yang baik hati pada kedua buah hatinya. Ia tengah memastikan bahwa kedua anaknya tidaklah sedang berbuat nakal atau yang melukai satu sama lain. Memang kadang, Toni dan Sasha, buah hatinya, sering bertengkar. Namun mereka tetaplah saling menyayangi satu sama lain.

“Di sini! Di kamar Sasha, Bu.” jawab Toni, si anak tertua.

“Namun kami masih membutuhkannya, Bu,” timpal Sasha. 

“Apa yang sedang kalian kerjakan sih?” tanya Bu Dewi sambil menghampiri kedua buah hatinya di kamar serba warna pink kesukaan Sasha.

“Bukan apa-apa, Bu. Hanya tugas sekolah kok,” jawab Toni sambil menempel kertas-kertas mengkilap warna warni dalam media karton besar lain dibantu Sasha yang menggambar roket dan planet-planet di sekelilingnya.

“Tugas prakarya?” Tanya Bu Dewi sambil memperhatikan proses kerja kedua buah hatinya. Bu Dewi mengelus kepala kedua anak yang amat dikasihinya itu kemudian mengecup puncak kepala mereka masing masing dengan penuh rasa sayang.

Toni dan Sasha hanya tersenyum senang dan kembali melanjutkan membuat prakarya. Toni kembali mengunting kertas berwarna biru, kali ini ia membuat bentuk seperti roket yang telah digambar oleh Sasha. Sedangkan Sasha sudah selesai menggambar dan melanjutkan untuk menempel bentukan-bentukan dari kertas mengkilap berwarna warni yang telah Toni gunting sebelumnya.

“Sebenarnya, kami sedang membuat semacam ucapan selamat ulang tahun untuk Ibu Guru.” Jawab Sasha.

“Ada yang bisa Ibu bantu?” Tanya Bu Dewi. Nampaknya, Bu Dewi tidak ingin membuat anaknya kesulitan, namun untunglah selama ini Bu Dewi tidak pernah memanjakan mereka.

“Sejauh ini, kami berdua masih bisa menangani sendiri. Mungkin jika kami kesulitan, kami akan minta tolong Ibu.” Jawab Toni yang sudah selesai menggunting kertas biru sesuai dengan bentuk roket yang telah Sasha gambar.

“Baiklah kalau begitu. Kalian berdua berhati-hatilah dalam menggunakan gunting. Jangan sampai melukai tangan kalian, ya. Gunting itu sangat berguna; kalian bisa membuat bentukan-bentukan kertas yang bagus dengan gunting. Tapi, jika kalian tidak menggunakannya dengan baik, maka gunting bisa melukai tangan kalian.” Pesan Bu Dewi lagi. Ia hanya ingin memastikan bahwa kedua anaknya yang cerdas ini bisa dengan cermat menggunakan gunting.

Diam-diam, gunting yang sedang digunakan Toni saat itu merasa lega dengan kata-kata Bu Dewi. Setidaknya ia tahu, ia bukanlah perusak, bukanlah satu yang tidak berguna meskipun sedikit banyak orang menilainya demikian. Tapi tentu, di dunia ini masih ada yang memerlukan kehadirannya dan yang pasti seseorang akan menyimpannya dengan baik karena dilain kesempatan, ia akan sangat dibutuhkan untuk merobek sesuatu yang tidak sesuai.

“Siap, Bu!”

“Buatlah semaksimal mungkin, nak. Ibu Guru pasti akan sangat bangga dan gembira melihat kerja keras kalian.”

Toni dan Sasha hanya tersenyum, rasa percaya dalam diri mereka meningkat, setidaknya mereka tahu bahwa akan ada orang yang menghargai usaha kerasnya.

“Apa Ibu sungguh membutuhkan guntingnya?” Sasha bertanya.

“Tidak. Ibu hanya ingin memastikan kalau nanti kalian sudah tidak menggunakannya, kalian akan meletakan gunting itu di rak serbaguna milik Ayah.”

“Baiklah, Bu.” Jawab Sasha dan Toni hampir berbarengan.

“Ibu akan ada di dapur, memasak makan malam. Jika nanti ada perlu, segeralah hampiri Ibu.” Pesan Bu Dewi pada kedua anaknya.

“Terimakasih, Bu.” Jawab Sasha dan Toni hampir berbarengan.

Lalu Bu Dewi yang baik hati itu meninggalkan buah hatinya untuk tetap berkarya, membuat suatu karya dengan maksimal dan penuh dengan kesungguhan hati.

Menjelang sore, sebelum makan malam, kertas-kertas mengkilap yang anggun itu pada akhirnya menghasilkan rangkaian karya yang indah berkat tangan Sasha dan Toni. Esok harinya, ketika mereka memberikannya kepada Ibu Guru, rupanya Ibu Guru sangat terkejut juga terharu sekaligus bangga atas kerja keras serta usaha dari Sasha dan Toni.

Kertas-kertas itu merepresentasikan jiwa-jiwa ketulusan kanak-kanak Sasha dan Toni yang tidak akan pernah dilupakan Ibu Guru seumur hidupnya--mungkin. Namun kertas-kertas mengkilap itu tidak bertahan lama, meskipun kenangan di hati Ibu Guru akan tetap ada dan membekas sampai Sasha dan Toni beranjak dewasa.

Prakarya itu kemudian memang dipajang di dinding ruangan kelas sampai Sasha dan Toni naik tingkat. Namun, pada akhir semester, prakarya tersebut diturunkan, disimpan di dalam gudang sekolah dan hanya berdebu dan tidak pernah disentuh lagi.

Kertas-kertas yang mengkilap itu menjadi usang dan tidak ada artinya lagi dalam artian sesungguhnya. Sedangkan gunting malang itu tetap disimpan rapi di rak serbaguna milik Ayah dan terselip senyum singkat di sepanjang hidupnya.


Jakarta
Juni 2014


10.6.14

Takut Mati

Sebelum fenomena yang ada di mulai, sebelum semuanya sungguh berakhir dan tidak lagi manusia ingat nelangsanya.
Kisah ini dimulai oleh satu tokoh kecil, sekecil biji jagung bernamakan manusia.

Manusia kini ada di atas lingkaran biru pucat.
Duduk, minum air, melegakan dahaga, memuaskan lapar, dan berdiri untuk bangkit dan pergi lagi.

Sebelum semuanya berakhir menjadi debu-debu yang tertiup tak tentu arah.
Sebelum segalanya tak ditangkap lagi oleh sensori manusia.

Rupanya memori dalam kepala manusia yang membahagiakan.
Tapi kebahagiaan itu perlu diukir, ditulis dengan pena emas yang menusuk ke tulang belulang sehingga saat sudah tua nanti dapat diulang kembali.

Manusia itu bergerak tidak tentu arah, mencari segala macam tumpuan untuk tetap bergerak dan terpental.
Membuat mahda dan bencana, mencari pelita kemudian meniupkannya hingga padam.
Selama manusia belum menua, selama jalan terlihat sama, selama masih berdiri di bawah mega
Namun manusia masih melupakan bagaimana seharusnya hidup diantara masa yang masih sedikit, kemudian masa itu membukit dan meledak sewaktu-waktu.

Manusia membuat purwarupa yang aneh dan selanjutnya membiarkan mereka menelannya sendiri
Manusia tidak mau mendengar suara manusia yang lain, yang sudah direntas masanya yang tersisa tinggal sedikit
Sampai nanti suatu hari manusia yang berjalan terlalu jauh mencari tempat bersembunyi dan menuntunnya kembali ke halaman depan, manusia menyebut pekarangan lintas hidupnya itu rumah.

Kemudian manusia itu menua, dengan segala macam yang ia temui dalam memoarnya.
Ancaman itu semakin dekat dan menjadi gemetar tersendiri dalam darahnya.
Tidak ada yang tahu bahwa pada dasarnya manusia setakut itu terhadap bayangan yang seharusnya menjadi teman, namun menjadi momok yang dihindari.

Bukankah, kembali keperaduan adalah sesuatu yang manusia selalu idamkan?
Untuk kembali lagi dalam pelukan bunda dan pergi tidur dengan lelap.

Tapi sejauh masa belum banyak, selama manusia belum menua, selama masih muda, berjalanlah sejauh mungkin dari rumah.
Pergi keperantauan yang jauh sampai tidak terlihat.
Sejauh apapun manusia menepak, tidak ada tempat untuk hilang.
Mereka tetap berdiri diatas lingkaran biru putih pucat.
Dengan satu konsep sederhana;
Mereka akan selalu pulang ketempat yang sama sejauh apapun manusia pergi.


Jakarta, Juni 2014

6.6.14

Posesif

Ada matahari yang menyusup di sebelah sana
Di sebelah kiri matamu, tepat di sebelah timur ku
Dia diam-diam memahat senyum di wajah semua orang saat mereka melihatmu
Seperti dewi fortuna yang dinanti, seperti sungai yang penuh dengan manisnya madu
Sungai itu mengalir dalam kehidupan metaforamu
Yang bermimpi diantara bunga-bunga mawar warna merah jambu
Ataupula menelisik saat kau mengayuh sepeda tuamu diantara pematangan bunga tulip
Waktu itu di sebelah barat Amsterdam, tempat pertama kali aku mengingat wajahmu
Tanpa tahu namamu siapa
Tapi aku tidak jemu menatap wajahmu yang sangat biasa bagi semua orang
Melainkan aku mendefinisikan
Seakan Tuhan bisa saja secara sederhana menceritakan bagaimana hangatnya surga lewat pelukanmu
Kemudian cahaya matahari menerpa wajahmu dan dengan jelas dapat kulihat titik titik keringat kebahagiaan dikeningmu
Seperti Tuhan menyiapkan wahana kecil untuk aku tersesat di dalamnya
Dan kau meniup bunga-bunga dandelion yang terbang diantara selisih udara bulan Juni
Musim panas berwarna keemasan yang siap menerpa tubuhmu yang tidak lekang
Dan semua orang tahu, aku telah menyukaimu
Tapi kau tetap asyik tidak peduli memainkan kendama seperti anak kecil yang ambisius
Tapi tidaklah penting
Selain hanya aku yang bisa memilikimu dan berterimakasih pada semesta bahwa dunia yang melingkar ini menemukan kau dan kau di satu radian
Dan tidak akan ada satu lelaki pun yang bisa meraih seorang penyuka teh sepertimu
Mereka tidak dapat melihat kau dengan anggun mencampurkan teh dengan susu yang manis
Kemudian kita larut dalam pembicaraan yang menyenangkan
Dan aku hanyut lagi ketika membiarkan hidungku tenggelam dalam rambutmu yang hitam legam
Lalu matamu yang cokelat gelap
Kemudian senyumanmu, yang membuat semua orang ingin menukar posisinya denganku
Aku bersyukur, aku tidak kehilangan sedikitpun waktu untuk kehilanganmu.

31.5.14

Cerita Tentang Kesembuhan Bruce Haughton

Saya memiliki intensi, jika saya pergi ke Britania Raya, hal pertama yang harus saya lakukan adalah pergi mengunjungi museum-museum yang ada di sana. Karena secara sederhana, museum adalah rangkuman kecil dari sebuah sejarah besar sebuah bangsa.

"London has done it right, they've made their many museums completely accessible to everyone." Begitulah pendapat Bruce saat saya tanyakan perihal bagaimana museum-museum di Inggris.

Museum-museum di London kebanyakan 'free policy', tujuannya adalah membiarkan para wisatawan menikmati dan menghargai harta karun sejarah yang ada. Terutama jika hanya sekedar berpelesiran; mampirlah ke museum-museum disana. Tidak harus melihat seluruh isi museum, tetapi berhenti di beberapa tempat yang menarik dan nikmati. Beberapa museum yang selayaknya dikunjungi adalah Natural History Museum, Science Museum, Imperial War Museum, Victoria and Albert Museum dan British Museum.

Berikutnya adalah, saya penasaran perihal gaya hidup orang-orang di Inggris. Ketika saya tanyakan pada Bruce, ia tidak berkata banyak. "You aren't going to live here, are you? Britons are quite radical to immigrants, like me, like you." Tukasnya.

Kemudian kami tidak banyak membahas tentang gaya hidup melainkan mengganti topik dan membicarakan perihal hipster di London atau rata-rata hipster di Inggris. "Mereka menggunakan kacamata, tapi bukan karena ada alasan medis. Mereka asal menggunakannya. Mungkin supaya terkesan smart tau apalah." Katanya sambil tertawa, yang ku perhatikan wajahnya kian memucat daripada kemarin saat kami bertatap wajah.

"Lalu mereka mengendarai sepeda sirkus yang aneh dan parkir di depan apple store. Atau kadang kau tidak bisa membedakan mana yang hipster, mana yang betulan homeless man."

Lalu Bruce yang saya kira sekarang jauh lebih radikal terhadap para hipster London itu melanjutkan lagi, "Mereka membawa vinyl kemana-mana. Demi Tuhan!" Serunya dengan tawanya yang tidak bisa berhenti. "Tapi, jika kau melihat itu semua, kau akan masa bodoh sih. Cuma kadang, lucu saja kalau melihat mereka. Tidak ada maksud apapun." Lanjutnya.

"Eh, kau suka teh kan?" Tanyanya tiba-tiba.

"Iya, saya pencinta teh. Lebih cinta daripada mereka yang suka kopi." Jawab saya.

Bruce bilang kalau di Inggris adalah surganya teh, konsumsi teh orang Inggris sangat gila. Mereka bisa minum teh sampai dengan tiga kali sehari, dan semua orang minum teh supaya mirip dengan sang Ratu. Tapi, saya juga melakukan demikian. Saya banyak sekali minum teh dalam sehari. Saya kira, Inggris juga destinasi favorit saya untuk minum teh dan membaca buku.

"Omong-omong, kemarin saya sempat ke Brick Lane." Ceritanya.

Brick Lane terdapat di London, ketika orang pergi kesana, tempatnya cenderung bising namun berwarna dan disitulah kehidupan. Mungkin, jika Brick Lane adalah seorang artis, tempat itu analogikan M.I.A, seorang penyanyi Inggris keturunan India.

Pada dasarnya, Brick Lane sangat dinamis. Tempat yang kental dengan budaya sekaligus modernitas masyarakat Bengali. Ada banyak sekali resto India sekaligus supermarket dan toko kain. Semacam Passer Baru tapi di Inggis, pikir saya.

Tidak jauh dari situ ada tempat bernama Old Truman Brewery, yang tadinya tempat pembuatan bir terbesar di London sampai tahun 1989, kini telah berubah menjadi tempat klub-klub kecil dan bar. Namun, sebelah utara Brick Lane justru terdapat toko-toko elektronik, kafe dan bar yang juga menjual roti bagel yang enak.

"Tapi banyakan orang selalu melihat London dari its sumptuous edifices bahkan per meter perseginya. Saya tidak bisa menyangkal, tapi memang arsitekturnya juara, klasik, konservatif, dan sang ratu yang immortal." Celotehnya sambil tertawa lagi.

Tapi memang pergi ke London yang menjadi intensi saya ialah masuk ke gedung-gedung mewah nan bersejarah di tengah London. Melewati tempat yang pernah di jejaki oleh Putri Diana yang anggun, cantik, jujur dan sederhana bahkan dengan rambutnya yang pendek.

Jika masuk ke gedung parlemen, jam Big Ben, kepala kita tidak akan ada pegal-pegalnya menengok ke atas, melihat plafon yang megah. Kemudian jika pergi ke Westminster Abbey, tempat paling religius di Inggris, rasanya pastilah sangat khusuk. Saya jadi membayangkan Royal Wedding pasangan Kate dan William beberapa waktu yang lalu.

Kemudian keinginan saya yang selanjutnya adalah naik bianglala di London Eye. Membayangkan melihat seluruh kota London dari ketinggian 135 meter. Apakah nantinya jantung saya akan lepas lalu jatuh?! Saya akan mencari tahu seperti apa.

"Saya kira dinamakan London Eye karena saat kita ada disana, kita bisa melihat seluruh kota. Tapi waktu terbaik untuk menaikinya adalah sore hari. Tapi, sore hari para turis juga naik itu. Sehingga kau akan berebutan." Pikir Bruce yang kemudian ia tersenyum.

"Tapi kau tahu, kalau kau pergi ke Inggris, kau akan mengira semua orang Inggris adalah fans Manchester United. Mereka sangat fanatik." Ujar Bruce.

"Tapi kalau ada kesempatan untuk main-main ke Old Trafford saya kira, saya tidak keberatan." Sahut saya.

Bruce hanya mengerutkan keningnya, "Tapi itu sangat jauh dari Cambridgeshire." Kemudian ia melirik jam di tangan kirinya dan menyesap tehnya.

"Oke, saya rasa saya harus pergi ke Dokter sekarang." Pamit Bruce.

"Ke Dokter? Kau sakit?" Tanya saya.

"Entahlah, tapi saya merasa kurang sehat di tambah ada benjolan aneh di dekat leher saya." Jawabnya sambil menunjukan bencolan yang tidak terlihat jelas dari layar monitor saya. Mendadak saya langsung merasa khawatir.

"Tapi kan kau sudah kemo waktu itu," Sahutku. Ia hanya mengangkat bahu. Saya menatapnya dengan iba.

Bruce Haughton, teman bicara saya sekarang, sebetulnya seorang imigran asal Afrika Selatan yang mungkin kini masih menetap di Fulbourne, Cambridgeshire, Inggris. Tidak melulu yang dari Afrika berkulit hitam rupanya, ia justru berkulit putih, kaukasia pada umumnya. Saya mengenal laki-laki malang yang menderita dyslexia ini beberapa waktu yang lalu melalui milis di dunia maya karena kami memiliki ketertarikan pada fotografi analog.

Sebenarnya, tidak penting bagaimana kami bertemu, karena toh, kami tidak saling jatuh cinta satu sama lain. Lain ceritanya kalau kami berdua saling jatuh cinta, mungkin saya akan menghafal kronologi pertemuan kami. Tapi, Bruce selalu dengan senang hati menceritakan banyak hal yang membuat saya selalu ingin pergi ke Inggris.

Saya lebih tertarik dengan kehidupan Bruce daripada menceritakan bagaimana saya berkomunikasi dan bagaimana saya memaklumi pembicaraan kami, karena dia menderita dyslexia. Tapi bukan itu yang ingin saya kemukakan disini, melainkan bagaimana Bruce kadang-kadang menceritakan pada saya pengalaman yang kemudian membuat saya bersyukur bahwa saya dilahirkan dengan segala kesehatan dan kelengkapan tanpa cacat sedikitpun.

Bruce Haughton dilahirkan di Cape Town, Afrika Selatan, 21 November 1985. Anak pertama dan satu-satunya dari pasangan Mr. dan Mrs. Haughton. Ia sangat kurus. Tingginya 6 kaki 7 inchi dengan berat badan hanya 60 kilogram. Semenjak kecil, memang orangtua Bruce sudah sadar akan ketidaknormalan pada anaknya. Hingga usia tujuh tahun pun, Bruce belum juga bisa membaca dan mau tidak mau orangtuanya membawa Bruce mengikuti terapi untuk orang-orang dyslexia.

Pada usia sembilan tahun, Bruce mengalami gangguan kelenjar getah bening dan didiagnosa kanker stadium awal. Beruntung, penyakit Bruce yang satu ini terdeteksi sejak dini. Hanya sayangnya, karena penyakit Bruce ini, ia harus menghentikan terapi dyslexia demi pengobatan kemoterapi yang ia jalani selama satu tahun. Yang kemudian membuat kepalanya botak, yang menjadikan kepalanya yang botak itu adalah ciri khasnya hingga sekarang.

Selama setahun pengobatan kemoterapi ringan, ia selalu menyempatkan diri untuk membaca buku, meskipun ia sangat kesulitan, sehingga ia berusaha sekeras mungkin untuk membaca setiap harinya meskipun semua kata dan kalimat ia pahami secara terbalik.  Baginya, menyelesaikan satu buku cerita yang dapat ia pahami dengan baik merupakan suatu kebahagiaan tersendiri.

Lalu, disela-sela sakitnya, Mr. Haughton memberikan hadiah kepada anaknya kamera tua yang dulu ia gunakan. Dari situlah ia mulai menyukai fotografi analog.
Setelah pengobatannya selesai, akhirnya pada umur sebelas tahun, ia boleh masuk ke sekolah khusus orang-orang yang menderita dyslexia.

Setelah lulus, ia langsung mencari pekerjaan. Bruce tidak mampu melanjutkan pendidikan ke bangku Universitas pada waktu itu, pasalnya, ekonomi keluarganya sedang memburuk. Sampai akhirnya pada tahun 2000, ia dan keluarganya mendapatkan kesempatan untuk hijrah ke London, sebab Mr. Haughton sebenarnya berkewarganegaraan Inggris dan kebetulan mendapat panggilan pekerjaan sebagai supir bus yang kelihatannya lebih sejahtera.

Di London, Bruce tinggal di apartemen mungil satu kamar yang kumuh bersama kedua orangtuanya. Ia dan keluarganya ditipu sana-sini pada awal ia tinggal di London karena mereka terlalu lugu dan uang mereka habis sebab standar hidup di London sangat berbeda daripada waktu mereka di Cape Town.  Bruce mengingatkan saya pada kisah George Orwell di bukunya Down and Out In Paris and London.

Seiring berjalannya waktu, akhirnya Bruce dan ibunya mendapatkan pekerjaan sebagai tukang bersih-bersih bus kota, di perusahaan yang sama dengan tempat dimana ayahnya bekerja, yang menggaji 200 poundsterling perminggu dengan jam kerja dari pukul tujuh malam hingga tiga pagi. Begitu terus setiap hari.

Keluarga Mr. Haughton sama-sama mengumpulkan uang dengan susah payah. Sedikit demi sedikit mereka bekerja sama mengumpulkan uang untuk peningkatan taraf hidup mereka, dan sekarang Bruce dan keluarganya berhasil memiliki rumah mungil yang lebih bersih dan tenang di Fulbourne, Cambridgeshire. Bruce pun sudah tidak bekerja menjadi tukang bersih-bersih bus lagi melainkan sekarang ia bekerja di perusahaan ritel makanan dan minuman di Cambridgeshire.

Bruce sendiri pernah menceritakan kehidupannya tanpa malu-malu bahkan penuh dengan tawa seakan kehidupan pahitnya adalah cerita lucu yang tidak seharusnya diratapi. Dia adalah laki-laki yang sangat tegar dan menyayangi keluarganya.

"Baiklah, jaga dirimu baik-baik. Semoga kalau kau bisa pergi ke Inggris kita bisa bertemu. Tapi, kalaupun tidak, nikmatilah perjalananmu." Pesan Bruce.

"Amin."

"Oke, see ya!"

Bruce Haughton is offline.

Itu terakhir kalinya saya mengobrol dengan Bruce, kira-kira dua tahun yang lalu. Tiba-tiba dia menghilang saja di telan bumi, tanpa kabar, tanpa suara. Tidak ada yang tahu Bruce ada dimana, tidak ada kabar apapun bahkan ketika saya meninggalkan e-mail dan pesan untuknya. Tapi saya terus berharap, dia akan terus baik-baik saja.

Mungkin, salah satu intensi saya yang terakhir untuk pergi ke Inggris adalah menemukan Bruce Haughton dan menceritakan kepada dunia perihal kesembuhannya.

Selesai.


Jakarta, Akhir Mei 2014
R.I.P Bruce Haughton, this story is dedicated to you
*Dengan perubahan seperlunya



29.5.14

Sungai Thames

To        : Larasati@e-mail.com
From    : Andrew@e-mail.co.uk
Subject : Surat dari Tepi Sungai Thames

Selamat malam menjelang pagi,

Kau tahu, aku tulis ucapan selamat malam diatas itu terakhir setelah menyelesaikan surat ini, untuk menyesuaikan dengan waktumu. Sama seperti menyesuaikan bagaimana suasana hatiku yang terus menerus memikirkanmu sepanjang waktu.

Aku tahu seberapa besarnya kau ingin berada di London, disini bersamaku begitupun aku. Pada dasarnya, mengambil kuliah Master sangatlah membosankan. Tugasmu jauh lebih banyak saat mengambil master. Tapi untunglah aku menyukai jurusan yang ku ambil. Elektro. Bertemu lagi dengan arus listrik dan siap-siap tersetrum tiap hari.

Membalas e-mailmu adalah hal yang kusukai. Walaupun aku hanya akan menanyakan, "Bagaimana kabar Oma?" dan mengingatkanmu beberapa hal yang sudah kau ketahui dengan jelas dan pasti padahal jauh di dalam hatiku ingin sekali untuk bertanya "Apakah kau merindukanku?" Tapi apa daya gengsiku rupanya jauh lebih tinggi.

Sekarang aku sedang berada di tepi selatan sungai Thames, diantara bangunan-bangunan yang sangat ingin kau kunjungi dan kau abadikan dengan kamera tuamu. Ada beberapa hal yang menarik mengenai sungai terpanjang kedua di Inggris (215 mil), setelah sungai Severn. Yang tentunya membuatmu, sebagai gadis yang selalu penasaran sepertimu, ingin membuktikannya.

Kadang, aku sampai membayangkan, jika kau mati nanti, kelak kau akan menjadi hantu seperti apa. Pasti menjadi hantu penasaran. Tapi aku tidak ingin kau mati. Aku ingin kau hidup bersamaku terlebih dahulu, membesarkan anak kita hingga dewasa dan kemudian aku mati. Lalu baru kau. Atau mungkin kita mati bersama. 

Aku sedang memandangi sungai Thames yang sibuk seperti biasa ditemani kopi dan cronut seharga 5 pounds. Aku tidak terlalu suka minum teh kecuali bersamamu atau Oma waktu itu. 

Kadang aku menaksir seberapa dalam sungai Thames, walau aku tahu angka pastinya di wikipedia pun ada, tapi aku memikirkan tentang tempat yang luas dan merupakan rumah lebih dari 119 spesies ikan di dalamnya. Tentu tempat yang besar dan luas kan?! Tidak aneh makanya waktu masa kependudukan Roma dulu, sungai ini disebut sungai Tamesis yang artinya wide-water atau dark-water.

Tapi kuharap, kau tidak ingin mencemplungkan dirimu ke dalam sana karena kau penasaran dengan 119 macam jenis ikan di dalamnya. Aku lebih memilih mengajakmu ke museum tentang ikan-ikan atau ke akuarium bawah laut daripada melihatmu nekat menyemplung ke dalam sana. Aku tidak ingin kehilanganmu, dan kau tentu tidak ingin kan menjadi salah satu jasad yang ditemukan di sungai Thames?! Setiap minggu ada satu jasad ditemukan disini. Betapa malangnya mereka.

Lagipula, kalau kau benar-benar nekat ingin menyemplung dan tidak mati, kau tahu tidak tahun 1858 parlemen di Inggris sampai libur karena bau amis dari tempat pembuangan kotoran di sungai Thames. Aku tidak akan segan-segan memanggilmu 'Laras-Bau' seumur hidupku dan membuat wajahmu memerah setiap waktu meskipun kau telah mandi bunga tujuh macam tujuh hari tujuh malam.

Omong-omong angka tujuh, sungai Thames ini melalui tujuh kabupaten utama di pusat Inggris; Wiltshire, Oxfordshire, Gloucestershire, Berkshire, Buckinghamshire, Surrey dan Greater London. Aku sebetulnya tidak hafal tapi aku mencari lewat ask.com.

Kemudian pada 17 Juli tahun 1717, pertunjukan orkestra George Frideric Handel yang berjudul Water Music di tampilkan di kapal barkas milik George I  diatas sungai ini. Aku membayangkan kalau kita memiliki mesin waktu dan kita ada disini, aku akan mengajakmu melakukan Royal Dance. Pastilah menyenangkan melihatmu yang cantik mengenakan gaun lebar ala bangsawan Inggris.

Kau ini tidak hanya cantik, tapi juga menginspirasi, seperti sungai Thames. Aku jadi ingat bagaimana kau menyukai literatur klasik. Kau haruslah pergi kesini, disini banyak sekali hal-hal mengenai buku-buku klasikmu itu. Kau tentu tahu penulis buku klasik Kenneth Grahame dulu tinggal di Pangbourne, dan dia menulis bukunya yang terkenal itu, The Wind in The Willows, karena terinspirasi dari sungai Thames. 

Begitupun Claude Monet yang melukis sungai Thames hingga tiga kali. Sepertinya sungai Thames memang bukan objek yang membosankan, sebab Monet kan seorang impresionis, dan kalau ia tidak dapat membuat orang terkesan, maka dia tidak bisa dikategorikan seperti itu kan?!

Mungkin itulah alasan kenapa Steven Spielberg mengambil setting di dermaga Tilbury di Essex untuk adegan kejar-kejaran Indiana Jones and the Last Crusade. Karena sungai ini begitu dalam, luas, dan menginspirasi. Sama sepertimu. Bisa kubayangkan kalau kau membaca tulisan ini kau pasti akan senyum-senyum sendiri atau memintaku mengantarmu untuk napak tilas adegan kejar-kejaran itu.

Banyak hal yang menarik disini yang kurasa kau akan sangat menyukainya. Kau tidak akan menghentikan kakimu untuk keliling London dan membuktikan bahwa mercusuar satu satunya yang ada di London adalah di menara Hamlets, tepatnya di Trinity Buoy Wharf. 

Aku juga membayangkan bagaimana kau berusaha untuk mengunjungi hampir semua jembatan yang melintasi sungai Thames. Kusarankan jangan. Terlalu banyak, Laras. Kau tidak mungkin menghabiskan waktumu ke ketujuh kabupaten yang dilintasi sungai Thames kan, hanya karena ingin melihat seluruh jembatan. 
Tapi mungkin kita bisa melintasi jembatan Waterloo, jembatan terpanjang di pusat London yang diangkat ke film pada tahun 1930an. Jaraknya 1250 kaki atau setara 381 meter.

Lalu kalau kau lihat warna hijau di jembatan Westminster, rupanya warna hijaunya serasi dengan kursi dari bahan kulit di House of Commons Chamber. Kau pasti langsung penasaran dan ingin membuktikannya. 

Aku jadi membayangkan naik kereta bersamamu menembus terowongan bawah air pertama yang kini merupakan jalur rel di East London atau melewati jembatan kereta api Staines yang dicat warna kuning guna mencegah angsa-angsa yang bermigrasi pada bulan-bulan tertentu tidak menabrak atau tidak sengaja tertabrak kereta. Aku ingin melihat wajahmu yang gembira melihat pemandangan itu semua. Aku ingin melihat senyumanmu.

Aku ingin kau menarik tanganku untuk tidak capai-capainya berjalan dan melihat HMS President, kapal Q anti-submarine peninggalan perang dunia pertama yang dikaitkan secara permanen di sungai Thames, di hulu jembatan Blackfriars. Aku ingin melihatmu melanglang buana dengan segala macam sejarah yang melatar belakanginya. 

Atau mungkin kita berdua bisa main Poohsticks, permainan menjatuhkan batang kayu berwarna ke dalam hulu sungai yang mengalir dari atas jembatan dan kemudian siapa yang lebih dahulu batang kayunya mencapai hilir, dialah pemenangnya. Aku berani bertaruh, kau pasti memilih warna pink untuk batang kayumu dan akan sangat bergembira sekali begitu kau menang menyaingi aku. Permainan konyol ini di olimpiadekan setiap tahun di Day's Lock, di daerah Oxfordshire. Kita bisa kesana saat musim panas. Pastilah menyenangkan.

Mendadak, merindukanmu sekarang merupakan hal yang pelik untukku. Aku ingin bisa melihatmu, bersamamu memulai kehidupan dan dengan jujur mengungkapkan seluruh isi hatiku kemudian berbagi segala hal yang bisa kubagi denganmu. Seperti bagaimana air sungai Thames berkontribusi terhadap dua pertiga air minum di London. Ataupun untuk paling tidak delapan orang di Cotswolds yang meminum airnya sebelum air itu sungguh-sungguh tiba di laut. Menjadikanmu bagian dari aktivitas kecil yang sederhana dalam hari-hariku.

Sederhana. Sesederhana bagaimana pesawat-pesawat yang melintas di atas Thames pada malam hari menggunakan bantuan kilatan cahaya dan permukaan air sungai Thames untuk navigasi. Mungkin terdengar rumit untuk seorang ekonom sepertimu, tapi tidak rumit kalau kau ada disini dan melihat langsung sendiri. 

Aku sangat merindukanmu, dan sejak awal aku melihatmu waktu itu di rumah Oma Tracy, aku tahu ada sesuatu yang tidak beres dengan perasaanku. Namun aku berpura-pura dingin. Tapi tetap saja sifatmu yang ceria membuat aku merubah haluanku dan pemikiranku. Seakan akan pikiranku ini adalah kemacetan panjang di Old London Bridge dan kau adalah Lord Mayor yang akhirnya mengubah haluan mengemudi menjadi stir kiri pada tahun 1722 supaya lalulintas bergerak dengan lebih teratur dan akhirnya diterapkan di negara kita juga. Jadi aku tidak kaget begitu menyetir disini.

Dan kalau suatu hari kau menjadi milikku, aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Tidak akan menjadi lelaki brengsek yang meninggalkan seorang feminis seperti Mary Wollstonecraft demi seorang aktris. Tapi aku rasa lelaki itu pantas meninggalkannya. Habisnya Miss Wollstonecraft bodoh. 

Aku tidak bilang menjadi feminis itu bodoh, sebab kau adalah seorang feminis juga. Tapi Miss Wollstonecraft lah yang bodoh. Kalau dia tidak bodoh, dia tidak akan menjatuhkan dirinya dari jembatan Putney hanya karena patah hati. Beruntung seorang tukang kapal menyelamatkannya saat dia hanya pingsan. 

Tapi, bagaimana denganmu jika suatu hari aku menyakitimu? Apakah kau berpikir sebodoh Miss Wollstonecraft? Aku rasa tidak. Kau gadis cerdas dengan penuh rasa ingin tahu yang besar, dan aku tidak akan pernah mungkin meninggalkanmu karena aku sangat menyukaimu dan aku merasa kau orang yang tepat.

Jadi, Larasati, datanglah kemari, melihat dan membuktikan apa yang ku katakan mengenai sungai Thames. Tinggalah disini bersamaku, selamanya disini mengisi hari-hariku. Mungkin aku akan pulang pada bulan Juli atau saat libur musim panas jika aku tidak ada penelitian, tapi yang pasti aku sangat merindukanmu. Dan jangan lupa untuk selalu menengok Oma sering-sering. Aku juga sangat menyayanginya.

Aku senang saat terakhir Ayahku membawa Oma ke Jakarta, jadi ia bisa tinggal dekat denganmu dan aku memiliki alasan untuk mengirimimu e-mail setiap hari.

Salam hangat.

Andrew.


***

Andrew membaca ulang e-mail yang hendak ia kirimkan kepada Laras yang sebetulnya tidak perlu rutin mengirimi gadis itu e-mail. Tapi Andrew memang mencari kesempatan bagaimana supaya Laras lekas menyadari ia menyukainya.

Oma Tracy sudah dijaga dengan baik oleh ayah dan ibu, tapi Laras sangat dekat dengan Oma Tracy, apalagi setelah Oma Tracy pindah ke Jakarta dan seperti biasa, Oma Tracy lebih ingin tinggal sendiri daripada bersama orang tua Andrew. Akhirnya, orangtua Andrew menyewakan rumah untuk Oma Tracy yang tidak jauh dari rumah mereka. Rumah kecil yang penuh dengan bunga warna warni.

Andrew merasa e-mail untuk Laras terlalu berlebihan. Laras akan takut dengan rasa rindunya. Tapi, ia tidak pernah mencoba.

Andrew membacanya, sekali lagi.

Sekali lagi.

Tidak. Tidak, pikirnya. Tidak sekarang.

Andrew kemudian memilih pilihan save as draft. 

Bukan sekarang Andrew membiarkan Laras mengetahui perasaannya. Tapi nanti, saat dia kembali. Beberapa bulan lagi. Sebagai lelaki sejati yang menyatakan cinta untuknya langsung. Bukan lewat e-mail.

Kemudian ia membuka lembar baru e-mail dan menulis ulang.

To        : Larasati@e-mail.com
From    : Andrew@e-mail.co.uk
Subject : Kabar Oma

Halo,

Laras, kau lupa, sudah dua hari kau tidak memberitahuku kabar kesehatan Oma. Besok-besok, jangan lupa memberitahuku setiap hari tentang kabar kesehatannya. Aku khawatir dan kuharap kau mengerti akan hal ini. 

Bagaimana terapi kesehatannya dengan Dr. Anto? Apakah beliau merasa cocok dengan Dr. Anto? Bagaimana dengan obat-obatannya?
Apakah Oma masih mengeluh masalah sakit pinggang?
Jangan lupa berikan aku jadwal check-up rutinnya. Aku tahu kau bukan susternya, tapi tentu kau bisa membantuku.

Sampaikan salamku pada Oma, dan jangan lupa untuk mengabariku setiap hati. Mungkin lain waktu kita bisa skype. Kita selisih enam jam.

Tabik,

Andrew

PS: Mungkin, bulan Juli aku pulang, itupun kalau tidak ada penelitian.


Ia pun menyesap kopinya yang sudah dingin. Menikmati suasana di London musim semi sangat lembut, angin juga semilir dan suhu tidak terlalu rendah. Matahari yang perlahan-lahan mulai turun dan berpendar warna oranye terefleksi di sungai Thames yang panjang dan sibuk. Beberapa gedung sudah menyalakan lampunya, siap menyambut malam. Pemandangan yang sangat ia harapkan untuk ia lihat bersama orang yang ia sayangi. Tapi sekarang ia sendirian diantara kesibukan di cafe di tepi selatan sungai Thames, Inggris.

Kemudian ia menekan pilihan send.




Jakarta, Mei 2014


Larasati

"Di dunia ini ada dua bunga yang paling aku suka." Kata Laras pada teman imajinasinya. Nama teman imajinasinya itu Fian. Anaknya baik. Begitu yang Laras bilang setiap kali aku bertanya tentang Fian.

Aku selalu tertarik dengan bagaimana seorang anak kecil memiliki imajinasi sendiri kemudian mengembangkannya. Menjadikan dirinya sendiri lebih hidup. Meskipun kadang, orang bilang bahwa itu adalah gejala gangguan kejiwaan yang tidak sehat. Menurutku tidak. Bagiku imajinasi adalah jembatan bagi manusia untuk mewujudkan apa yang dunia tidak bisa sediakan. Entah kenapa memang menyelami dunia imajinasi selalu tampak menyenangkan. Membuat sesuatu yang tadinya hanya hitam dan putih menjadi gradasi warna yang menarik untuk dilihat.

Laras adalah anak yang baik, seperti Fian mungkin. Ia berumur empat setengah tahun, menyukai menggambar dan sudah pandai menulis. Ia suka membaca berbagai macam buku. Kadang aku sering kerepotan sendiri ketika Laras sudah merengek meminta aku membacakan dongeng sebelum tidur sementara aku masih harus kerepotan untuk mengerjakan laporan keuangan kantor yang nampak tidak ada habisnya.

Belum lagi hobinya menggambari tembok rumahnya yang membuat kedua orangtuanya sudah kecapaian membersihkan dan mengecat ulang seluruh bagian rumah, Laras selalu mencari tembok-tembok bersih untuk ia warnai dengan krayon warna-warninya.

Aku sering bertanya padanya, "Kalau Laras sudah besar nanti, mau jadi apa?". Kadang ia suka berpikir lama sekali seakan pertanyaan ini merupakan pertanyaan paling filosofis dan akan merubah hidupnya selamanya. Mungkin memang benar, kemudian pertanyaan ini memang akan mengubah imajinasinya. Entah mengapa.

"Aku mau jadi astronot. Eh, enggak. Aku mau kerja di kantor kayak Bapak. Eh, enggak. Enggak tau." Jawabnya polos yang kemudian ia kembali mengambil alat pewarnanya dan melukiskan pada kertas-kertas bekas yang sengaja kuberikan padanya. Aku memperhatikan anak kecil lucu ini dengan badan yang cukup kurus namun pipinya selalu nampak menggemaskan untuk dicium dan dicubit. Ia mulai menarik garis-garis kecil dan membuat lingkaran. Entah apa jadinya.

Kemudian ia mengambil warna hitam, membuat segalanya mengabur. Kemudian ia mengambit warna merah yang kemudian membuat kotor krayon merahnya sebab ia menimpanya dengan warna hitam yang telah ia toreh lagi.

Jauh dilubuk hatiku, aku terluka melihat anak ini. Laras akan tumbuh menjadi gadis yang cantik suatu hari nanti. Semua orang akan menyukainya karena ia penyabar dan manis. Ia cerdas dan kadang cerewet. Tapi mungkin, tidak ada yang pernah tahu pula bahwa luka dihatinya perlahan-lahan pula akan terkuak. Ia akan membenciku, ia akan membenci seluruh hidupnya. Kemudian ia akan pergi dari hidupnya sendiri, bersama dengan cerita-cerita, celotehnya dan tawanya.

"Uh, maaf Fian, tadi Om Kian menyela. Eh, kamu kenal kan sama om Kian, Fian?" Tanya Laras pada teman imajinasinya lagi.

Tersentak aku memperhatikannya dengan seksama. Laras bicara pada Fian. Aku seperti bisa membaca arah pembicaraan mereka. Aku seperti melihat Fian. Aku seperti tahu siapa itu Fian.

"Jadi, tadi kita sampai dimana... Uh, bunga favoritku ya?" Kata Laras yang kembali melanjutkan gambarnya.

"Di dunia ini aku suka dua jenis bunga. Sebetulnya aku memang suka bunga sih," Ceriwis Laras.

"Kamu suka bunga mawar dan tulip kan?" Tanyaku seakan aku sudah mengenal lama anak tetanggaku ini. Aku baru mengenal Laras selama dua bulan. Aku baru pindah ke kota ini dan tinggal bersebelahan dengan anak kecil ini.

Pertama kali aku bertemu anak ini saat dia sedang bermain dengan Pedro, anjing boston terriernya yang kemudian menggonggong karena aku datang. Kemudian aku berbasa-basi dengan keluarganya, sering membawakannya buku-buku cerita tentang asterix dan obelix yang kemudian membuatnya suka setengah mati dengan tokoh itu.

Laras hanya melirik selepas aku menebak bahwa bunga favoritnya adalah mawar dan tulip.
"Tuh, Om Kian tahu. Kamu yang udah lama temenan sama aku malah gak tau. Temen macam apa kamu," Gerutunya kesal.

Aku menatap Laras sekali lagi. Tiba-tiba saja perasaan aneh menyelubungi diriku. Wajahnya yang menggemaskan tanpa dosa itu justru membuatku merasa muak tiba-tiba. Kepalaku sakit. Aku tidak bisa menahan rasa sakit ini lebih lama. Aku tidak bisa menguasai diriku. Warna warni mengaburkan pandanganku. Aku tahu mataku memerah bagaikan serigala. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku.

Aku berteriak karena badanku terasa sakit. Sekujur tubuhku mendingin namun berkeringat. Laras nampak memperhatikanku dengan perasaan cemas. Ia tidak takut. Ia adalah gadis pemberani. Yang bisa ia lakukan hanya menatapku, berusaha meraihku. Aku bisa mendengar ia memanggil namaku. Lalu semuanya gelap. Gelap dan padam.

Aku seperti berjalan di dalam lorong hitam yang tidak berujung. Aku kelelahan namun tidak bisa berhenti, aku tidak boleh berhenti. Seakan jika aku berhenti akan ada sesuatu yang membunuhku. Tapi ini gelap gulita, tapi aku tidak menabrak dinding. Hanya sangat gelap, kelelahan dan sakit namun tidak bisa berhenti.

"Kian, kau ingat aku?" Suara itu berada di kepalaku, menggema dalam ruangan kosong ini. Rasanya mendengar suara parau laki-laki ini menyakitkan.

Aku ingin memohon atau paling tidak mengatakan sesuatu. Tapi aku nyaris tanpa suara. Bahkan dalam ruangan yang segelap dan kosong ini aku tidak yakin aku berada disini. Aku tahu aku sudah tidak sadarkan diri. Aku ingin bangun.

"Kita bertemu lagi." Sapa suara itu riang.

"Maaf, aku harus pinjam tubuhmu sebentar." Lanjut suara itu.

"Aku harus menghabisi anak ini. Semua orang menginginkan darah anak ini." Ujarnya.

Apa? Apa yang ia bicarakan? Perasaan aku mengatakan kalau ia menginginkan Laras untuk mati. Ini bukan hal baik dan aku tau itu. Aku harus bangun. Aku harus melawannya. Aku harus mencari cara. Kakiku terus berlari tak tentu arah, mencari kemanapun dan apapun. Petunjuk mengenai ketidaksadaranku.

"Oh, mungkin sudah lama kita tidak bertemu Kian, makanya kau lupa." Simpulnya. "Sudah duapuluh tahun yang lalu, aku pernah mengatakannya padamu."

Lalu aku bisa mengikuti seluruh bicaranya. Aku tahu apa yang ia bicarakan seakan aku mengamininya.

Perihal anak ini. Tentang seorang yang mencuri hati emas dari manusia tidak berdosa dari menara puncak api pencucian. Sang pencuri bersembunyi bertahun-tahun, dan tidak ada yang bisa menemukannya. Lalu takdir mengatakan bahwa hati itu tumbuh di dalam tubuh seorang wanita yang lahir pada pertengahan Oktober saat matahari terbenam.

"Kau ingat ikrarmu; untuk membantuku karena aku satu-satunya sahabatmu saat semua orang menjauhimu?!" Suara itu membuat hatiku semakin getir dan menyakitkan. Perih. Ikrar macam apa?!

Aku mencoba sekuat tenaga untuk mencari jalan keluar, namun aku masih dilingkupi kegelapan. Aku menghempaskan diriku yang nyaris tidak dapat kurasakan sendiri. Mataku terpejam, mencoba mengganti apa yang ada dihadapanku. Sekuat tenaga untuk mencari jalan keluar dari sini.

Tiba-tiba aku merasa sesuatu mengangkatku. Perlahan-lahan. Semakin dalam aku berkonsentrasi, aku naik semakin cepat. Warna hitam itu perlahan-lahan pudar. Aku melihat warna abu-abu dan perlahan lahan berubah jadi tempat putih yang sangat terang, menyilaukan. Sampai di tempat menyilaukan itu aku berhenti terangkat. Diantara kemilau cahaya, aku masih bisa melihat seorang laki-laki yang duduk diam diantara pikiran-pikiranku ini. Aku tidak tahu siapa dia.

"Anak ini menyimpan hati emas itu." Kata lelaki itu. "Aku harus menghabisinya."

"Dia tidak mencurinya! Dia anak kecil, demi Tuhan!" Seruku. Bagaimana mungkin laki-laki ini menghabisi Laras yang tidak bersalah.

"Bukan dia yang mencurinya, Kian. Tapi kau!" Serunya geram.

"AKU? Tapi untuk apa? Dan kapan aku mencurinya?" Tanyaku tidak mengerti.

"Dulu pencurinya adalah jiwamu. Namamu dulu bukan Kian. Tapi Kreaveno. Jiwamu dulu adalah malaikat, sama seperti aku. Tapi kau mendambakan kehidupan di dunia yang damai dan jauh dari segala macam penderitaan dan dosa. Kemudian kau dalam wujud Kreaveno mencurinya. Menyembunyikannya. Sampai akhirnya aku menemukanmu tapi kau lihai menyembunyikan hati emas itu. Kami menangkapmu dan memenjarakanmu, tapi tidak pernah mendapatkan hati emas.

Kau tidak pernah mengatakan hati itu berada dimana. Kemudian Tuhan yang murka membuangmu ke dunia agar kau merasakan penderitaan sebagai manusia. Kau tidak ingat kau siapa sebenarnya, tapi aku tahu itu kau."

"Apa yang salah dari dunia tanpa penderitaan?" Tanyaku dengan perih.

Laki-laki itu tertawa. "Rupanya, pemikiranmu tidak berubah, bahkan ketika kau berubah menjadi manusia." Tukasnya. "Aku lelah berdebat mengenai hal ini denganmu. Tapi, apalah bedanya di surga dan di bumi. Apa tujuan manusia lagi kau disini sudah sama seperti di bumi?!" Lanjutnya.

"Bagaimana kau tahu kalau hati emas ada dalam diri anak itu?"

"Kau akan memiliki perasaan dan keterikatan tidak seperti kepada orang lain. Begitulah karakteristik hati emas pada siapapun yang telah menaunginya dengan mantra perlindungan,"

"Lalu kau akan menghabisi Laras?" Tanyaku.

"Lalu bagaimana cara lain mengambil hati emas itu?" Ia balik bertanya.

Tanganku terkepal. Aku tidak akan membiarkan seorangpun menyentuh anak kecil ini. Anak kecil tidak berdosa ini. Aku melemparkan segera tinju kearah wajahnya yang bersih. Sekali. Ia menatapku dengan benci dan membalas tinjuku.

"Kembalikan tubuhku!" Aku meninjunya kembali. Mengunci tubuhnya. Kami bergulat dalam pikiranku sendiri.

"Tidak, sampai aku mendapatkan hati emas!" Rupanya ia malaikat yang tangguh. Ia meninjuku, menendangku sampai aku jatuh terhempas jauh.

"Egois! Keras kepala! Tuhan tidak pernah mengajarkan untuk membunuh!"

"Pengecualian terhadap hati emas." Katanya.

Aku dengan susah payah bangkit berdiri dan menghampirinya. Sekali lagi aku meninjunya. Namun ia bisa berkelit dengan lincahnya. Brengsek.

"Kau sama sekali tidak ingat kita bersahabat dua kali?" Tanyanya.

"Tidak pernah!"

"Pertama, saat kau adalah Kreaveno. Kita adalah partner terbaik. Sampai akhirnya kau berkhianat." Ujarnya.

"Aku tidak pernah menjadi Kreaveno apalagi bersahabat denganmu!" Tukasku cepat sambil kembali melayangkan tinju kearahnya. Kali ini berhasil mengenai wajahnya dan berdarah. Tapi dia tidak berusaha melawan.

"Kedua, aku adalah teman imajinermu yang sangat nyata." Katanya.

Seketika pandanganku menjadi gelap kembali. Aku ingat semasa aku kecil aku adalah seorang yang kesepian dan menderita. Semua orang membenciku, semua orang meninggalkanku. Dan hanya dia, yang tidak kasat mata itu menemaniku.

Kami bermain segala macam permainan sebagai seorang sahabat yang menyenangkan. Lalu ia memiliki obsesi untuk menemukan harta sang raja yang hilang. Aku, sebagai sahabat yang baik berikrar untuk membantunya menemukan harta itu. Bahkan aku sudah memberikan setetes darahku untuk bersumpah membantunya mencari.

Kuasai dirimu, Kian. Kuasai dirimu.

Suara aneh datang dari dalam kepalaku. Namun bukan suara laki-laki brengsek ini. Suara yang berasal dari dalam hatiku. Aku mengikutinya. Ini suara hatiku sendiri.

"Siapa kau sebenarnya?" Tanyaku pada lelaki yang mengaku malaikat namun brengsek ini.

"Aku Fian. Teman imajinermu dan Laras." Jawabnya singkat.

Aku berang. Aku membenci segalahal yang ada di dalam diriku dan tentunya Fian. Tapi aku harus menguasai diriku. Aku mencoba sekuat tenaga membuka mata. Aku tidak boleh peduli dengan kehadiran Fian. Aku harus membuka mataku selebar mungkin.

Kemudian aku menarik napas yang panjang dan dalam.

Dalam satu hentakan aku menemukan diriku kembali. Aku tersadar dalam keadaan yang sangat buruk.

Aku sedang mencekik leher Laras yang bersandar di tembok dengan tangan kiriku dan tangan kananku memegang pisau dapur yang tajam. Aku hampir menghunusnya. Fian hampir membunuh anak ini. Gadis malang ini hampir mati.

Tanganku gemetar dan pisau di tangan kananku terjatuh. Aku segera meraih gadis yang wajahnya pucat pasi. Aku membiarkan anak itu lari ketakutan dariku. Aku membiarkannya dia pergi. Aku tidak boleh ada disini lagi. Kulihat ia pulang sambil menangis. Akupun akan melakukan hal yang sama.

***

Aku telah selesai mengepak seluruh barangku. Akhirnya aku memutuskan untuk jauh-jauh dari kehidupan Larasati. Hanya untuk menjaga hati emas yang ada didalam dirinya, yang memompa seluruh darahnya.

Kadang aku berpikir, jika sudah besar nanti, pastilah Laras akan tumbuh menjadi seseorang yang bisa menyelamatkan dunia, atau paling tidak membawa terang dan kebahagiaan. Tapi, jika aku berpikir ulang, seharusnya Kreaveno waktu itu tidak perlu repot-repot mencurinya hanya untuk mewujudkan perdamaian di muka bumi ini. Karena masih sangat banyak orang berhati emas tanpa perlu mencurinya dari menara api pencucian.

Aku sudah pamit pada kedua orangtua Laras pula, kukatakan pada mereka bahwa aku ditugaskan di kota lain dari kantorku. Sayang, waktu itu Laras sedang tidur siang sehingga aku tidak bisa menanyakan kemana perginya Fian. Ah, tapi kurasa ia sudah sangat takut menemuiku. Aku juga sudah tahu, Fian sudah pergi sekarang.

Kemudian aku memasukan kardus terakhir yang berisi peralatanku ke bagasi mobil dan menutupnya. Aku siap pergi jauh dari kota ini. Kulihat di kursi sebelahku sebuket bunga tulip dan sebatang bunga mawar berwarna merah muda. Ku ambil dan aku menatapnya. Ini bunga untuknya. Semoga ia tumbuh menjadi gadis yang baik. Doaku.

Akupun bergegas keluar dari mobil dan meletakkannya di teras rumah anak kecil itu. Di antaranya kuselipkan surat kecil.

Teruntuk Gadis Berhati Emas,
Larasati

Kemudian akupun pergi.




Jakarta, Mei 2014

27.5.14

Tinggal dan Tidak Mati

Matahari sore di akhir bulan Mei kali ini cenderung sejuk. Semilir angin meniupku yang tengah mengayuh sepeda onthel klasik milik kakek di sepanjang pematang sawah, dimana padi-padi menguning, hampir siap dipanen sekitar dua sampai tiga minggu lagi. Kulihat para petani tengah menepi dari aktivitasnya di tengah ladang, mereka hendak pulang bersama kerabat atau keluarganya, tidak lupa pula kerbau yang kukira sudah kelelahan membajak sawah. Padahal hari belum terlalu senja. Mungkin memang mereka sudah kelelahan seharian bekerja.

Di temani lagu dari musisi muda asal Inggris, Tom Misch yang dengan lembut mengalun dari pemutar musik miniku. Benar-benar liburan yang lembut, menyenangkan dan sejuk. Menikmati semilir angin bulan Mei dan melihat matahari yang hendak terlelap dan menemukan diriku tengah mengayuh sepeda dengan perlahan, sudah lama aku tidak melihat pemandangan sederhana seperti ini. Di hari-hari biasa, pada waktu yang sama, aku hanya bisa menemukan diriku terjebak dalam kemacetan lalulintas atau sedang menanti di sebuah kedai serta minum teh hangat tak lupa membaca novel guna melepas penat dari hiruk pikuk kuliah dan rutinitas lain. 

Senang rasanya sekarang justru aku sedang dalam perjalanan ke rumah Tracy. Bukannya aku tidak sopan memanggil perempuan tua itu dengan namanya, beliau sendiri yang memintaku memanggilnya langsung dengan namanya, Ibuku pernah membahas mengenai hal ini, dan aku kemudian memanggil Tracy dengan sebutan "Granny Tracy" atau "Oma Tracy" kemudian ia malah mengomel di depan aku dan Ibuku. Ia merasa seperti tua bangka yang manja jika di panggil demikian. 

Ia bukan memang bukan nenekku, namun ibuku selalu menganggap Tracy, yang juga ibu baptisnya, sebagai Ibu kedua. Apalagi selepas kakek dan nenekku meninggal waktu ibuku masih berusia remaja, hanya Tracy lah tempat Ibuku berbagi. Tujuanku sekarang menuju ke rumah perempuan anggun yang suka sekali minum teh Earl Grey dan makan keripik kentang adalah mengantarkan kembali beberapa buku yang di pinjam oleh ibuku serta sekedar bersilaturahmi, karena aku sudah cukup lama tidak bertemu dengannya. 

Ah, iya! Omong-omong keripik kentang, aku jadi ingin makan keripik kentang sekaligus membawakan untuk Tracy juga. Aku memutuskan untuk membelokkan sepedaku ke arah kiri diujung pematang sawah, aku tahu tidak jauh dari sini ada pemukiman penduduk yang memiki akses cepat menuju jalan besar, dari jalan besar itu bisa ditemui minimarket yang menjual snack kesukaanku, Mr. Potato.

Dengan cepat dan segera aku mengayuh sepedaku menemukan minimarket itu. Kurang dari 10 menit aku sudah sampai tepat di depan minimarket tersebut dan memarkir sepedaku. Dengan segera aku menuju kebagian makanan ringan dan mengambil dua bungkus Mr. Potato rasa tomat dan original dan Smax Ring. Aku takut kehabisan, walaupun aku sudah tahu minimarket itu memiliki banyak sekali stock makanan ringan kesukaanku yang satu ini. 

Setelah membayar, aku melanjutkan perjalananku kembali ke rumah Tracy. Perjalanan ke rumah Tracy pun ku tempuh dalam waktu kurang dari 20 menit. 

Rumah Tracy tidak memiliki pagar jadi aku dapat masuk langsung ke pekarangan rumahnya yang mungil namun asri dan memang seluruh rumah di pedesaan seperti ini tidak memiliki pagar, sekalipun ada, pagar mereka hanya terbuat dari kayu-kayu yang tidak tinggi atau dari tanaman perdu. 

Pekarangan rumah Tracy seperti biasa penuh dengan tumbuh-tumbuhan dan bunga-bunga. Tracy suka sekali berkebun, aku tahu. Tapi ku perhatikan sekarang halaman rumahnya juga banyak ditumbuhi tanaman liar juga, mungkin karena Tracy sekarang semakin tua dan sendirian, jadi banyak tanaman yang tidak bisa ia jamah. Untungnya, bunga-bunga poppy merah dan oranye tepat di depan terasnya itu tetap terawat. Aku sangat suka sekali dengan bunga-bunga.

Kemudian aku meletakkan sepedaku, melepas headset yang terpasang di telingaku dan mengantunginya selanjutnya melepaskan pengait dari karet di jok belakang dan membawa buku-buku serta makanan ringan kesukaanku memasuki teras rumah Tracy. Kemudian aku menekan bel dan menanti Tracy membukakan pintu sambil melihat-lihat deretan bunga-bunga poppy tertanam rapi di pot. Ia memang tinggal sendirian. Tracy tidak pernah menikah, tapi dulu sekali ia pernah bertunangan dengan seseorang waktu ia tinggal di Inggris, kemudian ia memiliki seorang anak, usianya lebih tua dari ibuku. Yang kuketahui hanyalah namanya Jonathan. Aku memanggilnya Om Jon.

Aku pernah bertemu sekali dengan Om Jon, dari segi perawakan ia tinggi dan wajahnya kaukasian, mungkin itu karena ayahnya yang orang Inggris. Sedangkan dari segi sifat, dia seorang yang keras dan tidak banyak bicara. Atau mungkin memang Om Jon tidak menyukaiku atau ibuku makanya beliau bersikap demikian. Atau mungkin pula memang sifat om Jon seperti itu. Tapi Om Jon tidak tinggal bersama Tracy disini. Ia tinggal di Jakarta.

"Maaf, Mbak cari siapa ya?" Suara laki-laki itu membuyarkan lamunanku. Aku menengok dan mendapati seorang laki-laki yang mengenakan kaus hitam dengan wajah Thom Yorke, vokalis Radiohead, yang mengambil alih perhatianku. Ia nampak lebih tua beberapa tahun dariku. Wajahnya agak mirip dengan Om Jon, hanya saja lebih pribumi.

"Uh, Tracy ada?" Tanyaku agak gugup. Ia menyerngitkan dahinya bingung.

"Satu-satunya nama Tracy disini adalah perempuan yang sudah berumur, Mbak. Mungkin mbak cari Tracy yang lain." Jawabnya.

"Oh, enggak mas. Saya memang mencari Tracy yang itu. Uh, Granny Tracy maksudnya." Kataku meralat omonganku. Aku tahu, kebanyakan orang pasti menilai aku tidak sopan bila aku memanggil langsung hanya namanya.

"Oma ada sih, tapi beliau lagi mau istirahat tuh. Gak bisa di ganggu." Jawabnya dengan nada yang hampir datar. Sama sekali tidak ramah. Jangan bilang laki-laki angkuh ini adalah anak Om Jon.

"Boleh saya bertemu sebentar?" Pintaku.

Laki-laki ini hanya menggeleng. "Beliau lagi mau istirahat." Jawabnya lagi dengan tegas.

Aku hanya bisa menunduk kecewa kemudian mengulurkan kepada laki-laki ini buku dan makanan ringan yang kubawa. 

"Kalau begitu, saya titip ini untuk beliau. Bilang, salam dari Ibu Listya. Terima kasih." Tukasku. Ia menerima pemberianku dengan bingung namun tidak berkata apa-apa.

"Kalau begitu permisi." Pamitku, akupun hendak pergi. Ketika kudengar suara daun pintu yang separuh tertutup itu kemudian terbuka.

"Siapa yang datang itu, Andrew?" Tanya suara lembut yang sudah ku kenal dengan akrab. Itu Tracy, yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.

"TRACY!" Seruku. Tracy menatapku dengan bingung pada awalnya, kemudian ia mengenaliku. Aku langsung memeluknya, seperti biasanya, Tracy selalu wangi jasmine. Sedangkan kami membiarkan laki-laki yang di panggil Andrew oleh Tracy itu kebingungan.

"Rosiedarling." Seru Tracy yang selalu memanggil namaku begitu, padahal namaku tidak ada sangkut pautnya dengan bunga mawar. Aku tidak pernah mengerti mengapa ia memberiku julukan aneh tapi manis itu. Namun dengan senang hati aku rindu di panggil demikian oleh nenek yang satu ini.

"Kau sudah lama sekali tidak kesini. Kau sekarang sudah kuliah kan?! Aku rindu sekali padamu." Katanya.

"Aku juga rindu sekali padamu, Tracy." Jawabku.

"Baiklah, ayo kita masuk. Aku sedang membuat Earl Grey Tea seperti biasa." Ajaknya untuk masuk.

Aku memasuki ruang tamu yang kebanyakan furniturnya terbuat dari kayu. Ada rak buku yang berisi buku-buku tebal koleksi Tracy, sofa yang sudah tua namun selalu empuk, lalu ada tv mungil yang menyiarkan siaran berita, dan belum berubah sejak lama lukisan, hiasan dan foto yang tergantung di dindingnya.

Tracy berjalan menuju arah dapur dengan tergopoh-gopoh dibantu tongkatnya. Ku perhatikan memang Tracy agak lebih kurus sekarang dan nampak semakin tua. Aku iba padanya. Aku mengikutinya dari belakang, dan sekilas aku merasa Andrew menatapku.

Di dapur Tracy, entah kenapa selalu tercium seperti sedang membuat kue, atau memang Tracy yang hobi pula membuat kue ini baru saja selesai membuat kue. Kulihat Tracy sedang sibuk menjerang air di dalam ketel. 

"Tadi ibu menitipkan buku yang ia pinjam untuk ku kembalikan, sudah ku berikan pada laki-laki yang tadi membukakan pintu." Sahutku saat ia sedang berusaha membuka kaleng berisi earl grey tea rasa strawberry. Aku mengambil alih dan membukakan kaleng tersebut dan memberikan kaleng yang sudah terbuka padanya.

"Oh, dia cucuku. Kau sudah berkenalan?"

"Belum sih. Anaknya Om Jon?" Tanyaku. 

Kulihat air dalam ketel sudah berbunyi. Aku membantu Tracy memasukkan batang-batang teh kering kedalam teapot yang bergambar Ratu Inggris yang tengah di goda oleh laki-laki bangsawan, sementara Tracy nampak menyiapkan cangkir-cangkir mungil dengan gambar yang senada. Tracy selalu menyukai tradisi minum teh sore hari seperti layaknya bangsawan inggris dan aku nampak tengah terbiasa dengan cara Tracy seperti ini. Sampai aku berpikir ingin sekali rasanya pergi ke Inggris dan mencari tahu kenapa Tracy begitu terabsorsi dengan kebudayaannya.

"Iya. Rasanya aku pernah menceritakannya padamu. Mungkin kau lupa." Katanya sambil memasukan gula-gula yang berbentuk kotak dari tempat yang besar ke tempat yang kecil untuk di letakkan bersama teh.

"Aku ingat kok. Hanya saja tidak menyangka kalau dia sangat... berbeda." Aku mencari-cari pemilihan kata yang tepat, hampir saja aku bilang ia sangat dingin, angkuh dan ketus, namun aku urungkan. Sembari aku menuang air panas dari ketel ke dalam teapot kemudian mengaduknya. Wangi earl grey mulai merasuk ke hidungku. Aku selalu suka teh jenis apapun.

"Dia memang agak angkuh kalau kau tak mengenalnya." Jelas Tracy. Aku menutup teapot itu dan meletakkannya di samping biskuit dan cangkir-cangkir yang sudah di tata Tracy.

"Aku nggak angkuh kok, Oma!" Tukas Andrew yang rupanya sejak tadi menguping pembicaraan kami.

"Terus kalau bukan angkuh, apa namanya?! Sombong?" Tanya Tracy pada cucunya itu.

"Enggak juga. Aku kan cuma melakukan tindakan preventif. Barangkali dia jahat." Belanya. Dasar keras kepala laki-laki ini.

"Rosiedarla ini punya nama, dan dia tidak jahat, kau tahu?! Nah, ayo sekarang kalian berkenalan dan bawakan nampan ini ke halaman belakang!" Perintah Tracy. Aku tersenyum kecil melihat pertengkaran antara cucu dan nenek ini. 

Andrew mengulurkan tangannya padaku dengan dingin dan aku menjabatnya. 

"Andrew,"

"Laras." Ucapku. Kemudian ia segera melepas tanganku tanpa menatapku sama sekali dan segera membawa nampan itu ke teras belakang.

Tracy menggelengkan kepalanya menatap perilaku cucunya itu. Aku hanya tertawa kecil kemudian kami mengikutinya ke teras belakang.

Teras belakang rumah Tracy tidak terlalu luas. Hanya ada kolam kecil, yang dulu sempat ada ikan koi disana, namun sekarang kolam itu kosong dan kering, disebelahnya terdapat ayunan kecil, tempatku dulu suka bermain dan tentunya tanaman-tanaman yang membuat teras belakang menjadi asri. Di teras belakang sendiri hanya ada dua buah kursi kayu dan coffee table kecil serta bale-bale yang juga terbuat dari kayu.

Andrew meletakan peralatan minum teh di coffee table dan kemudian hendak masuk lagi ke dalam rumah, namun Tracy menghentikannya.

"Hey, Thom Yorke. Mau kemana?" Tanya Tracy, Andrew memberikan tatapan sebal kearah kami.
 Aku hanya tersenyum kemudian duduk di salah satu kursi kayu disitu dan melihat-lihat kebawah coffee table. Ada album foto disitu rupanya. Kukira aku sudah melihat seluruh album foto milik Tracy, namun yang satu ini nampaknya belum.

"Aku malas ikut perjamuan minum teh wanita, Oma."

"Kau lebih baik duduk manis di bale-bale itu dan ikut berbincang dengan kami, atau aku akan telepon ayahmu sekarang dan bilang kalau kau ada disini." Ancam Tracy. Seperti sebuah sihir, Andrew langsung saja duduk di bale-bale itu tanpa banyak bicara. Andrew yang sudah tua seperti itu tidak kebal terhadap ancaman neneknya? Mencurigakan.

Tracy langsung menuangkan teh dari teapot ke cangkir-cangkir kami dan ia memasukan krim susu cair kedalam teh untuk dirinya. Tanpa gula. Sementara aku membuka-buka album yang kupegang tadi. Rupanya berisi foto-foto sewaktu Tracy tinggal di Inggris, waktu ia masih muda dan cantik. Sementara Andrew kulihat hanya berselonjor di bale-bale sambil memainkan handphone pintarnya. Sesekali aku melihat dari ekor mataku kalau dia menatapku dengan sebal.

"Kau tahu, anak manja itu sedang melarikan diri kesini, Rosiedarling?!" Ujar Tracy. Aku mengalihkan perhatianku dari album foto kepada Tracy, kemudian melihat ke arah Andrew.

"Dia? Andrew?" Tanyaku.

"Iya. Anak itu tidak mau pergi ke Inggris untuk ambil gelar Masternya." Jelas Tracy. Aku melihat kearah Andrew yang justru berfokus pada handphonenya.

"Kok aneh?! Aku malah pengen banget ke Inggris. Untuk alasan dan maksud apapun."

"Aku kan sudah bilang kalau aku ini punya karier yang sedang bagus-bagusnya disini, konyolnya lagi, disana aku harus mengambil sekolah management sedangkan aku ini kan seorang Electrician Engineer, belum lagi aku juga punya pacar dan aku tidak mau hubungan LDR, Oma. Lagian kenapa Papa keras kepala banget sih?!" Ungkapnya. Akhirnya ia angkat bicara.

Oh, Andrew sudah punya kekasih. Diam-diam ada sebagian hatiku yang agak terluka mendengarnya.

"Kalian ini sama-sama keras kepala. Tidak aneh kalau kau sekarang tidak sesukses kakakmu yang ada di Wales."

"Selalu saja dibandingkan dengan Christabelle." Gerutunya.

"Ah, omong-omong aku jadi teringat waktu aku di Inggris." Tracy tampak menerawang jauh melihat ke angkasa. Entah apa yang di perhatikannya.

"Kau sudah lihat foto-foto dalam album itu, Rosiedarla?" Tanya Tracy padaku. Aku segera membuka kembali album di pangkuanku. Kusadari Andrew sekarang duduk tegak dan diam-diam melirik ke album foto di tanganku ini.

"Foto-fotomu waktu di Inggris." Kataku. "Kau suka sekali mengenakan topi," Lanjutku.

"Memang itu kebudayaan disana, Hillbilly!" Ejek Andrew.

"Tidak, Andrew. Aku memang suka mengenakan topi, biasanya topi dikenakan secara resmi di gunakan saat di gereja atau forum pertemuan." Ralat Tracy. "Oh, omong-omong siapa yang kau sebut Hillbilly? Sebaiknya kau jaga bicaramu." Lanjut Tracy sedikit menggertak.

"Tapi aku kan tidak bicara kasar." Bela Andrew. "Lagipula yang Hillbilly itu dia, bukan Oma." Ujar Andrew yang mengarahkan dagunya kearahku saat menyebut kata 'dia'.

Tracy menunjukkan wajah yang marah pada cucunya dan kemudian menyesap teh yang sudah ia campur krim. Aku berusaha menengahi suasana disitu. Kebetulan saat itu album foto yang kubuka menunjukan gambar Tracy yang masih muda dan seorang lelaki tampan, kukira itu adalah kakek Andrew. Mereka sedang berpelukan mesra dan di belakangnya terlihat Elizabeth Tower yang menjulang tinggi besar. Sayangnya waktu itu foto mereka masih hitam dan putih, objek foto itu tetap terlihat cantik, baik Tracy, lelaki itu ataupun jam Big Ben, hanya saja sangat klasik.

"Kukira ini kakekmu, Andrew. Dia tampan." Pujiku sambil menunjukan foto itu ke Andrew. Andrew melihat foto itu dan kemudian ia tidak menunjukan ekspresi apapun.

Tracy tiba-tiba bangkit berdiri dengan susah payah, aku segera sigap menolongnya. Rupanya ia hanya ingin pindah tempat duduk. Ia ingin duduk di bale-bale sebelah Andrew. Kemudian ia mengambil album foto itu dari tangan Andrew. Aku kemudian duduk di sisi kanan Tracy dan Andrew di sebelah kirinya.

"Apa kata dalam Bahasa Inggris favorit kalian?" Tanya Tracy pada kami berdua.

"Enchantment." Kataku.

"Dasar sok duchess. Kalau aku Prosperous ."

"Dasar serakah." Ejekku. "Kalau kau Trace?"

"Aku selalu suka kata Serenity." Jawab Tracy.

"Kedengaran seperti para pertapa." Komentarku.

Tracy tidak menjawab, ia hanya tersenyum kecil sambil menyesap tehnya. Aku jadi ikut-ikut Tracy menuang teh kedalam gelas dan menyesapnya. Earl Gray memang yang terbaik.

"Serenity sendiri diartikan sebagai ketenangan. Kau tahu sendiri kan aku ini suka sekali terdiam dalam keheningan." Kata Tracy. Kemudian Tracy membuka album tua itu dan membuka halaman pertama.

Perasaan yang paling utama menyerbu diriku adalah, Tracy berusaha membawa aku dan Andrew sekaligus untuk berpetualang bersama kedalam masa lalunya saat ia berada di Inggris.

Waktu itu musim panas, Tracy masih mengingat dengan jelas waktu itu blues kesukaannya berwarna merah maroon yang manis dan topi warna hitam dari wool yang sederhana menutupi kepalanya. Hari bersejarah itu tanggal 3 Mei 1951, pembukaan Festival of Britain di Inggris oleh George VI yang terpusat di bagian selatan sungai Thames atau mereka lebih suka menyebutnya South Bank.

Usia Tracy masih 20 tahun pada saat itu, bulan depan barulah usianya 21. Tapi tentu saja ia sudah legal untuk berjalan-jalan berkeliling London bersama para sahabat-sahabatnya dari jurusan Sosiologi untuk menikmati festival terakbar di Inggris yang ditujukan untuk para Britons atau para penduduk Britania Raya untuk pemulihan kondisi psikologis paska perang dunia dan depresi besar besaran.

Tracy sendiri bukan warga Inggris. Ia hanya pelajar yang singgah sementara disana untuk menuntut ilmu. Tanah kelahirannya tetaplah di Indonesia. Namun, tidak salahkan menikmati festival di liburan musim panasnya kali ini?

Pada dasarnya Tracy tidak suka keramaian, jadi sebetulnya ia tidak terlalu menikmati liburan ini. Tapi kegembiraan Emily dan Irene kali ini tidak bisa membuatnya tidak ikut bergembira juga. Rupanya kegembiraan seorang sahabat bisa menulari sahabat yang lainnya.

"Kau harus pergi kesana sesekali, Rosiedarling. Andrew kau sudah pernah kesana, ya kan?" Ujar Tracy padaku dan kemudian ia melihat Andrew yang sedang mengemil Mr. Potato rasa original yang aku tidak tahu kapan ia membukanya.

"Aku hanya seminggu waktu itu di London, itu juga hanya untuk menonton konser Radiohead dan nonton pertandingan di Old Trafford." Jawab Andrew.

"Kau tidak menyempatkan sama sekali dirimu untuk pelesiran tahun lalu itu? Hanya menonton konser dan ke stadion tim setan itu?" Tanyaku tidak percaya. Padahal aku ingin sekali pergi ke Britania Raya untuk berjalan-jalan.

"Ini Radiohead! Dan yah, itu setan merah, tim terbaik di Inggris Raya."

"Ya, aku juga suka Radiohead, Blur, Oasis, bahkan The Beatles tapi kalau aku ada kesempatan setidaknya aku juga ingin mengelilingi museum-museum dan tempat bersejarah di sana." Kataku dengan tulus hati.

"Mari kita amini saja keinginanmu itu Rosiedarla, aku yakin suatu hari nanti kau akan bisa pergi ke sana." Kata Tracy dengan pelan menengahi. Aku sampai lupa, disini ada Tracy yang sudah tua dan seharusnya kami tidak bertengkar.

"Jadi, bagaimana festival waktu itu? Kedengarannya menyenangkan." Tanyaku mengalihkan.

"Memang sangat menyenangkan. Kau bisa lihat, ini aku, Emily dan Irene berfoto bersama di Battersea Park, waktu itu The Festival Pleasure Garden di helat disana." Katanya sambil menunjuk foto dirinya waktu masih sangat muda bersama kedua sahabatnya.

Dalam hatiku, aku menjerit, aku ingin pergi kesana, sangat ingin bahkan. Aku ingin berjalan-jalan berkeliling London, membiarkan angin menyapu wajahku dan sinar matahari menerpaku. Menikmati arsitektur di Buckingham Palace, Westminster Abbey, Trafalgar Square, dan London Eye sekaligus atau sekedar duduk diam, membaca buku tengah-tengah tamannya atau mengabadikan dalam klise-klise film dengan kamera analog, hobiku.

"Kalau kau pergi kesana, kau tidak akan bisa berhenti menapakkan kakimu, menikmati kesempurnaan arsitektur mereka sampai tiba-tiba jam di Big Ben sudah menunjukkan pukul delapan malam atau langit sudah berwarna oranye. Kemudian kau bisa melihat pantulan oranye senja di sungai Thames dan itu sangat membuatmu tidak ingin pulang." Kenang Tracy.

"Kau lihat ini?" Tracy menunjuk fotonya dengan laki-laki yang tadi kusebut-sebut tampan atau Kakek Andrew.

"Opa?" Tanya Andrew.

"Ya. Dia memang Opa-mu, Andrew. Aku tidak pernah menceritakan hal ini pada siapapun, karena aku sangat malu sebetulnya." Suara Tracy nyaris tidak terdengar. Aku hanya bisa diam dan tidak berkomentar apapun perihal hal ini.

"Dia cinta pertama dan terakhirku. Foto ini adalah satu-satunya fotoku bersamanya." Lanjut Tracy.

"Lalu kenapa kau letakkan di album, bukan kau simpan sendiri dalam suatu tempat yang rahasia?" Tanyaku yang mungkin terlalu banyak membaca buku-buku dan menonton film romantis.

"Oh, aku sudah menyimpan foto close-up dia di dalam tempat rahasiaku. Bersama kenang-kenangan tentangnya pula. Ini sih, hanya ku simpan agar tidak hilang bersama foto-foto saat aku di Inggris yang lain. Supaya lebih rapi dan terawat pula." Jelasnya.

"Kayaknya kau kebanyakan nonton film romantis deh," Ejek Andrew yang sekarang sudah membuka Smax Ring rasa Keju. Astaga anak ini.

"Jadi, siapa nama Opa-nya Andrew itu?" Tanyaku penasaran. "Apakah ia seorang yang baik?"

"Namanya Thomas. Thomas Ravensdale." Jawab Tracy dengan lembut dan hampa. Dapat kudengar dari suaranya bahwa nama itu bisa menghunus jantungnya seketika.

Thomas adalah pria Inggris biasa, tipikal lelaki brengsek pada umumnya. Rambutnya berwarna cokelat yang selalu disisir ke kiri dengan rapi. Ia tidak menyukai kopi, namun selalu meminum teh yang rasanya manis. Sama seperti Tracy. Ia juga suka sekali membaca buku. Sama seperti Tracy. Mereka bertemu di event arsitekturial di Poplar, London Timur.

Ia adalah teman dari kakak laki-laki Irene yang juga sama-sama sempat menjadi pasukan perdamaian dari Inggris saat terjadi Perang Saudara di Korea. Waktu itu Irene meminta Tracy menemaninya dan kakaknya untuk ikut berkunjung ke Poplar, sedangkan Emily tidak bisa ikut karena sedang sakit.

Arsitektur di Poplar memang bagus dan cantik sekali. Yang paling menarik adalah All Saints Church. Gereja Anglikan tua yang sebetulnya masuk kategori tidak terlalu megah untuk bangunan setua itu, apalagi gereja ini sering sekali di pugar. Masih lebih menarik gereja-gereja di tengah London yang mengambil gaya corinthian pada umumnya.

Orang banyak bilang gereja tersebut angker, namun Tracy tidak pernah percaya pada takhayul dan waktu ia berkunjung, ia sempat meluangkan waktunya sejenak bersembunyi di antara pohon-pohon oak dan pinus yang tumbuh di sekitar gereja itu hanya untuk membaca buku sambil duduk di dahan pohon oak. Tracy selalu menyukai keheningan. Sampai sore hari tiba, sampai warna oranye menembus diantara kerimbunan pohon oak. Hingga kakak Irene, Irene beserta Thomas sampai sibuk mencari-cari Tracy.

Akhirnya Thomas lah yang menemukan Tracy sore itu. Melihat Tracy dalam keheningan membaca buku, membuat Thomas bahkan turut duduk disebelahnya dan mereka berdua mengobrol. Begitulah awal mereka saling jatuh cinta.

Setelah beberapa hari yang menyenangkan di Poplar, akhirnya mereka kembali ke London Selatan. Tracy untuk sementara menghabiskan sisa musim panas dengan surat menyurat dengan Thomas. Sampai di akhir musim panas dengan sangat mengejutkan Thomas memutuskan untuk hijrah ke London Selatan bersama dengan Tracy, mengejar cintanya.

Namun rupanya, London Selatan menguji kesetiaan Thomas. Thomas ternyata lebih tergoda dengan gadis lain yang jauh lebih cantik dan menyenangkan dari Irlandia. Gadis itu benar-benar diluar stereotipe gadis Irlandia yang orang bilang. Thomas menyukainya dan beberapa bulan kemudian menikahi gadis Irlandia itu kemudian pindah ke Middlesbrough, meninggalkan Tracy dan janin kecil di rahimnya. Usia Tracy waktu itu masih duapuluh satu.

Tracy merasa depresi, ia tidak bisa hidup tanpa Thomas. Ia bahkan menyuratinya setiap hari, ia lupa makan hingga sangat kurus namun bayi dalam kandungannya terus tumbuh besar. Tracy tidak memberitahukan keluarganya, dan aborsi pada masa itu merupakan hal yang sangat jarang bahkan belum ada ku rasa. Kemudian ia memutuskan untuk membesarkan bayi itu. Dengan bantuan beberapa kenalan di jurusan Kedokteran serta Emily dan Irene yang dengan baik hati dan secara diam-diam menolongnya, memberikan pengobatan dan konsultasi gratis untuk bayi yang di kandungnya.

Sembilan bulan kemudian, saat usia Tracy dua puluh dua, ia melahirkan bayi laki-laki yang diberikan nama Jonathan. Tracy pun masih tetap berusaha mengirimi Thomas surat yang sampai hari ini tidak pernah di balaskan.

Sampai suatu hari Jonathan berumur satu tahun, Tracy juga sudah menyelesaikan kuliah Sosiologinya dengan susah payah, dan pada akhirnya ia tidak bisa menyembunyikan rahasia ini lagi kepada kedua orangtuanya, awalnya kedua orangtuanya marah, namun melihat keluguan, dan lucunya tingkah Jonathan, mereka justru menerima kehadiran Jonathan dengan sepenuh hati. Namun, Tracy tetaplah haruslah kembali ke Indonesia bersama kedua orangtuanya dan menetap di Semarang.

Tracy adalah figur seorang yang mandiri dan berhati keras, ia memutuskan untuk hidup mandiri dan pindah bersama Om Jon kecil ke Yogyakarta. Disinilah ia bekerja keras menjadi seorang sosiolog dan jurnalis lepas.

Kulihat Tracy nampak kelelahan dan merasa perih mengenang ceritanya sendiri. Sedangkan kulihat Andrew, tatapannya kosong dan nyaris tanpa ekspresi. Aku tidak tahu bagaimana perasaan Andrew saat itu, yang pasti ada luka yang menganga besar di hatinya.

Tanpa terasa hari sudah semakin senja, dan cerita Tracy terasa semakin menua. Tracy tidak bisa menangis karena si laki-laki brengsek itu, Thomas tidak berhak setetes airmata dari betapa tulusnya hati Tracy hingga hari ini mencintainya.

"Jadi, kau tahu kenapa aku menanyakan kata favorit kalian pada saat awal tadi?" Tanya Tracy pada kami.

"Tidak. Mengapa?"

"Itu adalah kalimat pertama yang Thomas tanyakan padaku saat ia menemukanku di pohon oak itu. Aku sedang membaca buku saat itu dan ia mengagetkanku. Aku tidak tahu kata apa sebenarnya yang kusuka, lalu tiba-tiba aku merasa bahagia berada dalam keheningan bersama Thomas. Jadilah kukatakan pada Thomas aku menyukai kata Serenity."

"Dan apakah kau tahu kata apa yang Thomas suka?"

"Prosperous and enchanting." Jawab Tracy singkat.

"Baiklah, aku akan pergi istirahat. Andrew, tolong antarkan Rosiedarling pulang dan jangan lupa kau rapi kan ini semua, ya?!" Pesan Tracy yang kemudian dengan susah payah bangkit berdiri dari kursi. Aku dengan sigap membantu nenek tua ini berdiri dan masuk ke dalam rumah, lebih tepatnya kedalam kamarnya. Sementara Andrew membereskan seluruh peralatan minum teh sore itu dengan wajah yang masam.

"Oh iya, kau kapan akan kembali ke Jakarta?" Tanya Tracy padaku saat ia masuk kedalam kamarnya.

"Minggu depan. Tergantung ibuku inginnya kapan. Mungkin besok ibu akan mampir kesini lagi." Jawabku.

"Kau juga main kesini esok hari. Berjanjilah."

"Pasti." Jawabku.

"Oh, ya. Terimakasih atas keripik kentang yang kau bawakan, namun nampaknya cucuku suka sekali hingga memakannya sampai habis."

Aku hanya tertawa dan Tracy juga ikut tertawa.

"Aku yang berterimakasih, Tracy. Ceritamu benar-benar menginspirasi dan tehnya sangat enak. Kau beli dimana?"

"Itu dibawakan cucuku. Biar angkuh begitu, dia sangat menyayangiku. Aku tahu." Ujarnya.

Aku tersenyum. "Dia sangat menyayangimu. Selamat istirahat, Tracy." Timpalku.

Tracy tidak menjawab melainkan hanya tersenyum dengan manis. Aku bahkan masih bisa melihat kecantikannya diantara kerutan-kerutan tua itu. Kemudian ia hanya menutup pintu membiarkan dirinya sendiri untuk tinggal dan tidak mati. Tidak lagi membiarkan seorangpun masuk kedalam kehidupannya. Tidak juga aku. Tidak juga kau.

Aku segera menghampiri Andrew yang sedang mencuci berkas perabotan di dapur. Agak lucu melihat seorang laki-laki melakukan pekerjaan wanita, tapi memang itulah sekarang yang kulihat.

"Jadi, kau sama sekali tidak ingin kuliah master di Inggris?" Tanyaku. Ia hanya melirikku sekilas dan fokus kembali pada perabotan yang dicucinya seakan itu penting sekali.

"Aku tidak akan merubah pendirianku, kau tahu?!"

"Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu sekarang, tapi kalau aku jadi kau, sebaiknya kau memaafkan Thomas."

"Jangan sebut nama itu."

"Tidak ada yang salah dengan nama itu."

"Kau tidak ada di posisiku apalagi merasakan yang kurasakan!" Bentaknya.

"Baiklah. Sepertinya kau marah padaku. Kalau begitu, aku minta maaf. Dan aku pamit pulang." Sahutku cepat. Aku tidak mau bertengkar dengan orang yang baru kukenal beberapa jam saja.

Kulihat Andrew mulai menyelesaikan cucian piringnya. Ia mencuci tangannya dengan cepat dan mengelap tangannya. Kemudian ia berjalan ke meja dekat televisi dimana terletak kunci mobil dan meraihnya.

"Ku antar kau pulang." Kata Andrew.

"Aku kesini naik sepeda. Terimakasih atas tawarannya."

"Kau tidak dengar tadi Oma menyuruhku mengantar kau pulang?"

"Tapi sepedaku?"

"Besok kau harus kesini lagi, itu artinya." Katanya cepat lalu ia menarik lenganku.

Andrew mengantarku pulang dalam keheningan sore hari itu.



Jakarta, Mei 2014
Not a true story.

16.5.14

We make each other alive. Does it matter if it hurts?
— Ingmar Bergman, from a letter to Liv Ullmann

Surat Untuk Seseorang di Negara Barat

Teruntuk kau yang sedang menikmati semilir angin bulan Mei dan bersin karena bunga dafodil,


Surat ini sengaja kutulis dan kemudian tidak akan pernah kusampaikan karena aku tahu ketika kau menjejakan kakimu kembali di tanah ini, kau mungkin telah melupakan aku tanpa mengingat kembali apa yang telah membuatmu pergi.

Sehingga ku rasa, jikalau kau sungguh tidak mengingatku, kau hanya menganggap ini surat bodoh atau mungkin surat yang memang tidak tertuju untukmu.

Hanya saja, ketika ku menelisik kembali, hal tersebut tidak akan membuatku berangsur-angsur membencimu, meskipun karena sifatmu, karena keangkuhanmu.

Jika aku bicara tentang kejujuran sekarang ini, dalam surat ini yang kutulis dengan pena-pena fana, mungkin kau akan kecewa. Selama ini aku hanya bertingkah seakan aku masa bodoh, tidak peduli, dan bergeming seiring dengan kepergianmu, dengan sengaja seperti seakan aku tulus melihatmu pergi dariku.

Satu malam, atau lebih tepatnya beberapa jam saja sudah cukup untukku membuat valuasi mengenaimu. Kemudian ketika kau pergi tanpa sepatah katapun padahal aku telah memohon agar kau mengucapkan selamat tinggal, itupun juga sudah cukup untukku.
Supaya aku yang bodoh ini secara jelas melihat bahwa aku sama sekali tidak berarti untukmu apalagi hingga kau mencintaiku.
Memang pahit hingga kadang aku seluruh pembuluh darahku didera derita.

Semenjak kau terbang, pergi, menjauh, banyak hal yang ku mulai pahami disini, terutama untuk tidak mengeluhkan mengenai betapa perihnya ada atau tidaknya kau disini lagi.

Kadang bahkan aku tertawa ditengah intelejensi yang dangkal ini yang membuatku telah bertindak konyol, kaku, lidah yang kelu, dan ketidakmampuan untukku berbicara seperti manusia sewajarnya saat kita saling bertukar diksi.

Dan, jangan kaget jika aku masih mengingat segala hal tentang kita dalam inti-inti yang mendetail meskipun kemudian membuat seluruh tulang-tulangku lemas dan mendingin segera setelah menyadari kalau aku dan kau tidak akan pernah bersama lagi, bahkan tidak untuk beberapa jam saja.

Kadang akupun berpikir bahwa aku ingin menjadi hantu saja, untuk sekedar menakut-nakutimu atau berada selalu di sekitarmu, untuk tahu bagaimana keadaanmu dan mempelajari seluruh isi hatimu serta pikiranmu yang rumit itu.

Walaupun, kembali: semuanya akan sia-sia dan tidak ada artinya. Karena bahkan jika aku hadir di hadapanmu sekarang ini, terkunci di ruangan hanya berdua denganmu sekalipun, yang kau hanya pikirkan hanya dirimu dan tidak menyadari kehadiranmu.

Tapi pada akhirnya pun, aku tidak akan selamanya membiarkan diriku sendiri menjadi seorang imbesil, dan sudah jelas setelah ini kita akan berada di dua kehidupan yang sangat berbeda, atau mungkin kita sudah, atau mungkin memang kita tidak pernah ada dalam kehidupan yang sama.

Pada akhirnya, aku sendirian dalam proses membenahi diri, memberanikan diri, menjadikan diri sebagai seorang perempuan kecil yang tangguh dan gigih meskipun pada akhirnya kenangan pada awal bulan Mei akan sering-sering menghantuiku seperti bagaimana kau terjangkit alergi bunga dafodil pada musim semi.

Paling tidak, aku mengetahui hal paling terpenting saat ini; aku mengkhawatirkan kesehatanmu, mempedulikanmu dari orang-orang yang bisa saja menyakitimu atau merugikanmu, aku mencintaimu meskipun aku terluka. Tapi, bukankah mencintai seseorang pada dasarnya akan membuat diriku sendiri bahagia?

Terakhir, semoga perjalananmu diantara angin musim semi bulan Mei kali ini menyenangkan, kemudian dewi fortuna yang cantik itu menaungimu, dan berjanjilah setelah ini kau akan mengejar kembali seluruh mimpimu, melewati usia pertengahan dengan cermat dan hemat, segera menikahi seseorang yang tepat untuk mendampingimu selamanya, dan jangan sampai lupa untuk tidak membiarkan dirimu dehidrasi karena terlalu asyik menelusuri kota-kota cantik di barat.

Aku sendiri tidak pernah tahu apakah doaku menyertaimu atau tidak, tapi aku selalu mendoakanmu, dalam hati, bahkan di dalam tangis tanpa airmata, maka berjanjilah untuk memiliki hidup yang menyenangkan dan berkualitas.

Oh, ya. Jika kau sempat terpikir untuk membawakan aku buah tangan, aku masih menginginkan hal yang sama darimu; bawalah pulang cerita-cerita yang menyenangkan, foto-foto yang menarik, kalaupun kau bisa, bawakan aku bunga tulip dari negeri Belanda jika kau sempat ke pinggir kota.
Tapi kurasa, kau tidak pernah mengingat aku, apalagi membawakan aku buah tangan. Tapi tidak apa, bisa melihatmu bahagia sekarang, akupun bisa mengucapkan terimakasih dan mohon maaf bila sejenak mengganggu hidupmu.


Salam hangat,



Gadis yang tetap berusaha mencuri perhatianmu meskipun kamu hanya mempedulikan pencapaian di 2048.

6.5.14

Mengenai Seorang Lelaki yang Tidak Pernah Tahu Bagaimana Rupanya Saat Ia Tertidur

Waktu itu, waktu wanita itu menulis dengan pena yang dibelinya minggu lalu di sebuah toko tidak jauh dari tempatnya menuntut ilmu, ruangan disekitarnya sedang remang. Jam sedang menunjukan pukul satu dini hari. Ia tidak tertidur. Ia hanya membiarkan dirinya terduduk di depan mejanya dalam keadaan separuh telanjang. Pikirannya kacau dan juga hatinya. Tapi tidak ada yang pernah tahu kalau ia bisa saja menangis bahkan ketika dia tidak bisa.

Dua problema sederhana yang berkolerasi menjadi suatu kerumitan.
Ia mencintai seorang lelaki yang tengah tidur di ranjang. Sederhana.
Lelaki yang sedang mengigau itu tidak pernah berusaha mencintai wanita ini, bahkan saat ia membuka mata ia akan melupakannya. Sederhana.
Wanita ini mengetahui mengenai perasaan lelaki ini. Rumit.

Wanita itu tidak kalut mengenai masa depannya, wanita itu tidak khawatir akan kepergian lelaki itu esok harinya. Tapi, ia takut kalau selamanya, hal yang telah ia ukir malam ini akan menjadi memori yang mengendap disepanjang hidupnya. Terlalu banyak penghianatan yang akan ia lakukan. Terutama menyakiti dirinya sendiri.

Wanita ini tidak pernah bisa membohongi perasaannya sendiri bahwa ia terlalu cepat jatuh cinta pada orang yang sedang tidur di ranjang itu. Di sisi lain, orang yang tidak tidur itu mulai membencinya, jauh bahkan sebelum ia mengenalnya. Membiarkan wanita malang ini berkali-kali menatap cermin dan memeriksa kerapihan batinnya. Berkali-kali pula ia menelaah wajahnya yang tidak cantik itu, dimana letak kekurangannya.

Dewata pernah bersabda bahwa makhluk paling mempesona adalah wanita, namun ia menyanggahnya dengan jelas. Ia seorang wanita yang tidak mudah untuk di kagumi. Ia seorang yang menyedihkan dan patut di kasihani, bukan di kagumi. Namun, sebaliknya, seorang lelaki yang tertidur di sana, yang sedang bermimpi dengan lelapnya begitu mudah untuk dicintai. Dunia mereka begitu berbeda.

Wanita itu tahu tidak ada ruang untuknya. Tidak pernah ada. Tidak akan pernah ada.
Kemudian ia mengenakan seluruh pakaiannya kembali dengan hati-hati, mencoba tidak membuat suara sama sekali. Menutup kembali seluruh bagian dari tubuhnya yang kini merupakan luka-luka yang menganga dengan lebar. Menyisakan hatinya yang terluka untuk tidak dikehendaki kehadirannya, melainkan hanya singgah sementara selama bulan masih ada tergantung di langit.

Kemudian wanita itu berjalan kembali. Ketempat dimana lelaki mempesona itu tidur dengan nyamannya. Bermimpi mengenai masa depannya yang indah dan menyenangkan, bersama orang yang selalu ada dan menjadi mimpinya.

Wanita itu mengecup pipi lelaki itu. Sekali. Dengan lembut. Ia tahu, bahwa lelaki ini tidak akan menyukai gadis yang tidak bisa menggunakan sumpit dengan baik.
Wanita itu mengecup sekali lagi. Ia tahu bahwa sejak awal lelaki ini tidak pernah cukup tertarik dengannya. Melainkan sekarang ia bisa melihat lelaki ini menghindarinya dengan tertidur dan membebaskan kembali mimpinya.

Dan satu kecupan terakhir. Paling terakhir, sebelum ia tidak akan menemui lelaki yang ia sukai ini. Kemudian ia membiarkan matanya memotret wajah polos dihadapannya.Wajah figur seorang lelaki pekerja keras yang juga menyenangkan. Namun, esok pagi, sebelum matahari terbit, ia harus melupakannya, seperti bagaimana lelaki ini melupakannya.

Dengan sangat lembut dan perlahan, wanita yang tidak dapat menangis inipun pergi. Membuka kenop pintu dengan perlahan. Menyisakan malam seakan tidak terjadi apapun di muka bumi ini. Walaupun, jauh di dalam, tak pernah tampak, tak pernah diucapkan. Semuanya itu terpahat, selamanya. Dalam tubuh tak bersalah wanita itu.

Kemudian, ia pun pergi. Tidak pernah ada lagi ruang di sini.



Jakarta, Mei 2014