11.9.09

Ibukota

Jakarta, suatu pagi yang cerah di bus yang berdiri di antara mobil-mobil mewah, ada gadis cantik yang rajin naik bus karena tidak punya uang. Kendaraan yang pernah dinaikinya berkomentar.

“Dia gadis yang cantik, bukan?” Kata si Metromini yang sedang ia tumpangi.

“Betul. Saya kemarin juga di tumpanginya. Saya kagum dengan dia.” Kata mobil mewah yang di tumpanginya.

“Mengapa dia bisa naik ke mobil mewah. Bukankah sehari-hari ia tidak punya banyak uang?” Tanya Metromini itu.

“Entah, mungkin Ia adalah kekasih dari majikan saya.” Kata mobil sedan mewah itu.

Lampu merah berubah menjadi hijau. Kendaraan-kendaraan melaju. Mobil sedan mewah itu berbelok kearah kiri dan metromini ini segera melaju kedepan.

Di jalanan depan, ada kemacetan lagi. Si Metromini pun berhenti. Di depan serong kanannya ada mobil tak kalah bagus dengan mobil yang berbelok kiri tadi.

“ah, gadis itu,” gumam mobil warna hitam itu.

“Kau menyukainya pula?” Tanya metromini.

“Tidak. Dia pernah berciuman dengan majikanku.”

“Bukan, dia pacar orang lain.”

“Tapi, aku mengetahuinya.”

“Entahlah.”

Tiba-tiba ada mobil taksi yang berkata.
“Lihat! Gadis itu turun.”

Gadis itu memang turun dan menuju kearah taksi yang berada di ujung belokan.
“Ia menaiki ku.”

“Bukankah ia orang miskin?” Tanya metromini.

“Entahlah. Tapi, ia pacar majikanku.”

“Bukaaaaan. Aku tau siapa ia.” Sanggah taksi.

“Siapa memang?”

“Dia seorang pelacur.” Kata si Taksi.



Jakarta, September 10, 2009

Kue Punya Siapa?

Ibu pulang dengan buah tangan di kanannya. Ke lima anaknya yang manis-manis dan baik mengerubungi si Ibu tiba-tiba padahal mereka masing-masing sedang sibuk dengan kegiatannya. Cahyo dan Tia, Tika dan Rahma, serta Satria si anak tengah.

“Ibu, Ibu bawa apa?” Tanya Rahma penasaran.

Ibunya hanya tersenyum. Rahma anak ke empat yang berumur 7 tahun itu penasaran. Cahyo si sulung yang berumur 14 tahun itu pun merebut bungkusan itu. Adik-adiknya mengerumuni Cahyo.

“Mas, itu apa? Buka, Mas!” Pinta adik-adiknya.

“Iya, sabar.” Jawab Cahyo sambil membuka plastiknya dan meletakannya diatas meja.

Cahyo membuka kotaknya.

“Wah!”

“Makasih ya, Bu.”

“Itu apa Mbak Rahma?”

“Itu kue lapis Surabaya, Tika.”

“Enak nggak, Bu?”

“Ibu beli dimana?”

“Di toko kue sebelah supermarket ya, Bu?”

“Bu, aku satu, ya,”

“Aku.”

“Aku juga.”

“Iya, satu-satu dapet, Mas bagiin yang adil ya.”

Ibu tetap tak menjawab namun hanya tersenyum sambil meninggalkan mereka yang sedang ribut sendiri menuju teras belakang rumah yang penuh dengan rumput-rumput ilalang. Di situ terdapat bale-bale dan ada bapak-bapak kurus yang sedang membaca boran dan di sebelahnya terdapat kopi buatan Tia, si anak nomer dua yang berumur dua belas tahun.

“Pak,” sapa si Ibu pelan. Si Bapak tetap acuh membaca korannya. Ibu pun duduk disebelahnya.

“Pak, gimana ini?”

Si Bapak meletakan korannya dan menyeruput kopinya yang mulai dingin.

“Gimana apanya, Bu?”

“Hutang kita, Pak.”

Bapak itu terdiam memandang jauh kedepan.

“Kata Pak Rori paling lambat hari Jum’at ini, kalau tidak…”

“Kalau tidak kenapa?”

“Dia akan menyita rumah kita.” Jawab Ibu pelan.

“Memang hutang kita berapa, Bu?”

“Dua puluh lima juta, Pak. Bapak ada uang sebanyak itu sampai hari Jum’at ini?"

“Sepuluh sih, ada. Tapi kalau dua puluh lima, Bapak ndak punya,”

“Berdoa sajalah kita ya, Pak. Ibu juga ‘ndak tahu dapat uang dari mana ini.”

Bapak Ibu itu terdiam. Tiba- tiba Tika mendatangi mereka dengan membawa sepiring kue lapis.

“Bu, kuenya enak loh. Bapak sama Ibu harus cicipin.” Pinta Tika.

“Kalo Tika bilang enak, kenapa tidak dihabiskan, nak?”

Tika menggeleng.

“Bapak kan’ belum coba. Ibu juga harus coba, Ibu kan yang beli.”

Bapak mengelus kepala Tika dan mengambil sepotong kue itu.

“Sudah habis, kuenya, Tik?” Tanya Ibu.

“Belum, Bu. Masih sangat banyak. Mungkin sampai hari Jum’at juga belum habis.” Jawab Tika.

Kalimat yang Tika katakan mulai terngiang-ngiang di kepala Ibu.

***

Hari itu hari Jum’at.

Pagi itu kepala Ibu sedikit pusing. Tadi malam, sehabis ribut dengan Bapak tentang hutang.

Bapak pun memutuskan membawa Satria dan Cahyo pergi entah kemana dan entah berapa lama. Nampaknya, Bapak tidak akan kembali.

Pertengkaran itu membuat Ibu sedih dan sekarang bangun terlambat.

Untung Tia cukup pandai mengurusi kedua adiknya, Rahma dan Tika.

Pukul 6 pagi.

Entah pukul berapa si Rori akan datang ke rumah.

Ibu belum siap.

“Bu, Tia, Tika sama Rahma berangkat ya, Bu.” Pamit anak-anaknya yang lalu menyalim tangan yang sudah tua itu.

Ada perasaan takut yang tertinggal dalam benaknya. Ia pun segera beranjak dari tempat tidur untuk mendampingi anak-anaknya sekolah.

Rahma menggandeng tangan Tika.

Tidak seperti pagi yang lain, dimana biasanya Cahyo atau Satria mengantar mereka lebih dahulu dengan sepeda. Namun kali ini, mereka berjalan kaki ke sekolahnya sejauh dua kilometer. Mungkin mereka akan terlambat.

Ibu tiba-tiba berinisiatif mengantar mereka.

“Rahma, Tika, sini nak, Ibu antar. Biar nanti mbak Tia naik sepeda mas Cahyo saja.”

Tia menghampiri si Ibu.

“Nggak usah, Bu. Jangan di manja ah. Ibu dirumah aja, masak gitu.”

“Tia, kasihan adikmu, nanti terlambat.”

“Nggak, Bu. Rahma kan sudah besar pasti bisa bimbing Tika.”

“Nggak, Tia.”

“Ibu!”

Sedangkan Rahma dan Tika sudah berjalan semakin jauh. Tia pun berlalu. Ibu mengelus dada.

Hari itu, sebentar saja sudah menunjuk pukul 8 pagi. Ibu panik . Dalam hatinya berbisik doa.

“Permisi, Bu?” Suara seorang laki-laki memecah kebisuan Ibu.

Ibu terkejut, gugup dan takut lalu dengan terbata-bata menjawab.

“A-da a-apa ya?”

“Pak Rori mencari Ibu.” Kata laki-laki tinggi besar itu. Ibu menjadi semakin takut.

Pak Rori yang gemuk dan kecil itu datang menghampiri. Rentenir licik itu menghampiri Ibu dengan senyum licik.

“Pak, saya hanya ada sepuluh,” Kata Ibu bersedih.

“Saya kan sudah bilang hari Jumat di lunasi, bukan di cicil,”

“Tapi, Pak …”

Tiba-tiba saja Tika pulang sambil menangis. “Ibuuuu,” Pekik Tika keras-keras sambil menghampiri Ibu.

“Loh, Tika kenapa pulang?” Tanya Ibu sambil memeluknya.

“Tika tadi jatuh, Bu. Nggak luka sih, tapi sakiiit.”

Rentenir itu menyeringai.

“Ibu, karena Ibu tidak melunasi, jadi tanpa pikir panjang, saya akan menyita barang-barang di rumah Ibu.”

“Jangan, Pak. Jangaaaan.”

Tika menghentikan tangisnya, namun sekarang justru Ibu yang menangis. Tika tiba-tiba mengingat kelezatan kue lapis Surabaya kemarin. Anak itu pun memutuskan untuk mengambilnya kedalam.
Ibu masih menangis memohon pada Rentenir itu. Rentenir itu tidak perduli lagi. Ia segera masuk kedalam betapa kagetnya Rentenir itu ketika tahu bahwa tidak ada barang yang dapat di sita.

“Ibu, karena rumah ini tidak ada isinya, jadi bagaimana kalau di bayar dengan luka batin?”

“Maksud bapak apa?”

Tanpa basa basi, pak Rori mengeluarkan pistol dari jasnya dan mengarahkan pada Tika yang sedang mengambil kue diatas meja.

“Jangan, Pak, jangaaaaaaaaaaaan!” Teriak Ibu.

Rentenir itu tidak perduli. Kue dari tangan Tika terlempar tidak terlalu jauh dari badan Tika yang serta merta jatuh bersimbah darah. Peluru itu, tepat mengenai jantung Tika.

Ibu menangis sejadi-jadinya sementara Rentenir dan kacungnya tersenyum puas dan pergi.


Jakarta, cerita tahun sembilan lapan
29/08/09