5.12.09

Ketika Sasha Bicara

Sasha membawa tas punggung lusuh ke gudang. Luka di kakinya masih terasa nyeri, namun ia tahan. Di gudang, ia telah mempersiapkan sekop, pacul kecil dan linggis. Ia mengambilnya dan memasukan dengan tergesa-gesa. Dirasanya semua benda-benda yang diperlukan telah lengkap, ia mengeluarkan sepeda gunungnya dari depan.

Ibunya mengintip kegiatan anaknya. Ia tidak ingin lagi pernyataan Sasha beberapa waktu lalu terlontar lagi. Lagipula, ia tidak mau anaknya terluka lagi, setelah kemarin Sasha terkantuk batu ditambah lagi beberapa waktu lalu Sasha sempat mengalami kecelakaan dan butuh perawatan selama beberapa minggu.

Bukan Ibunya memanjakan Sasha, tapi sekali lagi: ia tidak mau Sasha, anaknya yang penurut dan baik itu sedih. Ia sendiri mengakui bahwa selama ini, ia dan suaminya sering melupakan Sasha dan lebih memperhatikan kakak Sasha.

Hari terlihat mendung. Ia ingin mencegah Sasha untuk tidak pergi kemanapun, namun nampaknya untuk kali ini, Sasha tidak ingin mendengarkan siapapun.

”Mau kemana, Sha? Kamu kan baru pulang.” Tanya Ibunya.

Sasha tidak menjawab dan mengayuh sepedanya meninggalkan tempat itu.
Dikepala Sasha terputar kembali perkataan Feli sepulang sekolah tadi tentang apa yang terjadi pada dirinya. Ia sangat marah.

Tiba-tiba Sasha mengehentikan sepedanya dan berbalik pada Ibunya.
”Ma, aku masuk rumah sakit kenapa?”

***

Dua puluh menit lagi bel pulang berbunyi. Pelajaran Bahasa Indonesia yang membosankan membiarkan lamunan Sasha melayang ke suatu tempat sejauh 150 mil. Suatu tempat dimana ikatannya tertinggal. Di kota kecil itu, William atau Willi menuntut ilmu. Willi adalah pacar Sasha.

Tadinya, Willi kakak kelas Sasha dan mereka bisa bertemu setiap hari. Namun, karena harus melanjutkan kuliah diluar kota, sekarang Willi hanya bisa bertemu Sasha sebulan sekali.
Sasha tidak mempermasalahkan tentang long distance relationship atau ketidakpercayaan pada Willi.

Sasha bisa saja meninggalkan Willi dan memulai kehidupan baru sendiri, tapi ia terlanjur membuat kesalahan terbesar dalam hidupnya. Sasha telah membiarkan Willi mengambil miliknya yang berharga yang sampai kapanpun Sasha sendiri tidak akan bisa mengembalikannya.

Sasha menyesal sekarang. Sebab, mulai berhembus gosip bahwa Willi punya pacar lagi. Ditambah lagi komunikasi yang semakin sulit di jangkau Sasha dan ia sudah tiga bulan ini tidak bertemu Willi.

Sasha ingin hubungan mereka berakhir karena Sasha selalu sedih, namun pikirannya membelenggu tentang masa depannya, tentang suaminya nanti yang pasti akan merasa terkhianati.

Bel pulang sekolahpun berbunyi memecah lamunan Sasha ditambah lagi semua teman sekelas Sasha telah semenjak tadi tergesa-gesa pergi meninggalkan kelas, tapi Sasha memutuskan untuk paling terakhir untuk keluar. Sudah lebih dari setengah tahun Sasha sendirian, tidak punya teman, dan tidak ada yang mau menemani. Teman-temannya meninggalkan dia dan selalu menolaknya ketika Sasha mencoba untuk turut bergabung. Entah apa sebenarnya salah Sasha.

Semua berawal tanpa jelas semenjak Tara, teman paling terdekatnya sejak masuk SMU, meninggalkannya perlahan-lahan dan teratur serta tanpa alasan. Tara nampak mulai membicarakan di belakangnya yang tidak enak, yang membuat teman-temannya menjauhi Sasha. Namun, Sasha tidak melakukan apapun bahkan menegur Tara pun tidak.

Sasha keluar kelas sendirian sambil menunduk. Feli ternyata telah menantinya di luar kelas. Feli itu teman sekelasnya yang sering sendirian dan bahkan terlihat kalau dia sama sekali tidak ingin berteman.

”Sha,” Panggil Feli.

Ini mungkin kali pertamanya Feli memanggil orang lain. Kadang di sebut Feli anti-sosial, tapi nampaknya bukan, ia lebih dari sekedar anti sosial.

Sasha menengok sambil tersenyum lebar. Ia rindu dipanggil temannya.

”Loe...ng...hati-hati ya?!”

Sasha menaikan alisnya sebelah lalu tersenyum lagi. Lalu Sasha segera meninggalkan sekolah.
Sasha memutuskan untuk tidak pulang, ia ingin pergi ke tempat persembunyiannya semenjak ia tidak punya teman. Tempat itu hanya bangunan yang belum selesai dibangun dan nampaknya sama sekali tidak akan dihancurkan atau dilanjutkan.

Ia menapaki jalan sepi, jalan terdekat untuk mencapai tempat itu. Tapi, hari itu aneh. Jalan tersebut di lewati banyak kendaraan berlawanan dari arah Sasha berjalan.

Perasaan Sasha tidak enak saat ia menyeberang jalan. Tiba-tiba saja sebuah truk melintas kearah Sasha dan kecepatannya cukup tinggi. Badan Sasha nyaris terhempas, namun seseorang menarik tangan Sasha dengan cepat.

Sasha terseret ke sisi jalan tanpa luka sedikitpun. Orang yang menyelamatkan Sasha itu tersenyum. Sasha menatapnya bingung. Orang itu laki-laki. Ia berkemeja putih yang usang. Bajunya aneh. Badannya tinggi, kurus dengan wajah kebarat-baratan yang tampan dan nampaknya ia sebaya dengan Sasha.

”Tidak apa-apa?” tanya orang itu panik.

Sasha menggeleng dan tersenyum.

Dadanya berdegup keras. ”Thanks, ya.” Lanjut Sasha.

”Sama-sama.” Jawab orang itu. Suaranya halus dan menggetarkan.

”Gue nggak tau nasib gue kalo nggak ada loe.”

Orang itu hanya tersenyum.

”Rumah kamu dimana?” tanya orang itu. Sasha merasa canggung dengan orang baru yang berbicara aku-kamu itu.

”Eh...Ehm, deket sini kok.”

”Mau saya antarkan?”

”Nggak usah deh, makasih. Gue mau mampir dulu.”

”Ke bangunan itu?” Kata Orang itu sambil menunjuk apartment yang tidak selesai dibangun.

”Kok tau?” Sasha bingung.

Orang itu tersenyum. ”Saya juga mau kesitu.”
Sasha menatapnya bingung.

***

Sasha dan Orang itu menaiki tangga menuju lantai dua. Gedung itu belum selesai dibangun dan tidak akan dibangun lagi, sepi, banyak kawat-kawat, besi yang korosi, pasir yang basah karena rembes hujan, ember-ember kotor karena semen, dan sebagainya.

Dari lantai dua, terlihat pemandangan kota tempat tinggal Sasha. Sasha sering duduk sendiri disitu jika ia banyak masalah dan menangis. Namun, kali ini ia harus menahan tangisnya karena ditemani orang asing yang baik, yang menyelamatkan nyawanya

”Nama saya Velter van der Meijde,” Kata orang itu.
Sasha menatapnya aneh dan memperhatikan wajah Velter. Wajahnya memang seperti orang Belanda.

”Nama saya Sasha,” Sahut Sasha senang lalu mengambil posisi duduk diatas tumpukan kayu yang bersih. Tas Sasha diletakan di sampingnya, begitu pula Velter duduk di sampingnya.

”Kamu sedang ada masalah ya? Sebab itu kamu kesini,” Tanya Velter.
Bahasa Velter agak sulit Sasha mengerti, namun Sasha tersenyum.

”Kayaknya kamu tahu. Kamu juga kayak gitu?” Tanya Sasha sambil menyesuaikan bahasanya.
Velter hanya tersenyum.

”Vertel me eens, (katakan saja)” Lanjut Velter. Sasha menunduk.

”Kamu nggak penah dilupain kan’?” Tanya Sasha.

”Tidak juga.”

”Saya lagi merasa kayak gitu.”

”Orangtua?”

Sasha mengangguk.
”Ya, setiap ada konflik sama kakak perempuan saya, saya selalu yang dituduh awal masalah, padahal saya sama sekali nggak ngelakukin apa-apa. Bahkan kadang, saya juga nggak tau apa yang terjadi,”

”Bagaimana sikapmu pada keluargamu jika di rumah?”

”Saya selalu menjadi anak yang penurut, selalu mengikuti apa kata orang tua saya, sampe kadang, untuk ngebantah mereka aja, saya nggak mampu.”

”Apa mereka sadar?”

”Nggak tau. Yang jelas keinginan saya, pendapat saya bahkan cerita saya juga nggak pernah mereka denger.”

”Pernah bicara?”

”Nggak. Tapi, saya tahu mereka akan sadar. Lagipula saya nggak tau apa yang harus saya bilang.” Kata Sasha.

”Saya juga pernah seperti kamu. Saya berkata pada mereka bahwa saya butuh hak saya dari mereka. Waktu itu, saya bilang di waktu terbaik ketika mereka mengingat saya.”

”Waktunya kapan?”

”Nanti kamu akan tahu dengan menemukannya sendiri.”

”Endingnya?”

”Cukup baik. Sikap mereka berubah. Well, perlahan memang. Semua butuh proses.”
Sasha menekuk lututnya dan diam.

”Tapi, gue udah berontak duluan, Vel.”

”Berontak apa?”

”Saya dosa. Saya ngelakuin itu sama Willi. Sekarang Willi mulai nyoba ngancurin semua. Saya nggak tau lagi masa depan saya. Saya nggak adil kalo saya masih tuntut hak orang tua saya.”

”Kamu merasa terbelenggu bukan? Katakan perasaanmu pada orangtuamu. Sas, ini masalah perasaanmu.”

”Lalu bagaimana dengan Willi? Ia mulai menjauh. Saya bisa aja putus. Tapi, gimana masa depan saya?”

”It’s already being a past. You were obviously wrong, you did. But, did you ever took a second and think; how about your mind if you still hold on these feeling? It will definitely hurts you, you'd better find your own happiness. Suppose it was such an experience, Baby.”

“Tapi gue kan…”

“Do you still in love with him?”

Sasha menggeleng. “Problem gue cuma masalah gue nggak perawan aja.” Jelas Sasha emosi.

“Leave him. He hurts you.”

Sasha berdiri dan berjalan ke ujung lantai itu sambil kakinya memainkan batu-batu kecil. Velter berdiri di sampingnya.

“Belom lagi Tara yang ngehasut semua anak-anak untuk jauhin gue.” Bisik Sasha.

“Dia sahabat terbaikmu bukan?”

Sasha mengangguk.

“Dia bukan sahabatmu lagi. Dia cuma menjajahmu. Oportunis. Hipokrit.”

“Tapi, saya nggak sanggup bilang tentang perasaan saya sama dia.”

”Kamu takut?”

”Bukan, tapi nggak enak.”

Just say: ‘Selamat, Anda berhasil. Hidup saya lebih baik tanpa anda.’ Saya yakin, kamu akan punya teman yang lebih baik. Its so simple.”

Sasha memainkan batu di kakinya. Suasana menjadi hening seperti saat Sasha sendiri. Lalu Sasha tertawa kecil.

”Aneh ya, saya baru kenal kamu, tapi udah nyaman banget ngomong sama kamu.” Kata Sasha.

”Kita sudah kenal lama, Sha.”

Sasha mengangkat kepalanya, menatap Velter dalam-dalam. Ia bingung.

”Bagi kamu aneh bukan?! Seaneh pertanyaan mengapa gedung ini tidak dilanjutkan,”

”Iya, ya?! Kamu tau kenapa?”

Velter mengangguk. Sasha memainkan lagi batu di kakinya.

”Karena saya...” Omongan Velter tidak berlanjut.

Tiba-tiba kaki Sasha tergelincir batu-batu yang dimainkan kakinya. Sasha terpeleset, jatuh dari lantai dua. Di detik terakhir sebelum badannya terhempas ke tanah, ia melihat Velter tersenyum. Senyumnya, penuh arti.

***
Sasha terbangun di antara mesin-mesin dan selang-selang disekitarnya. Sasha merasa kakinya baik-baik saja, padahal yang ia tahu ia habis terjatuh dari lantai dua. Kepalanya dililit perban. Entah sudah berapa lama ia koma. Mulut dan hidungnya ditutupi alat dan salah satu tangannya di infus.

Disekitarnya ada Ibunya, Kakak perempuan satu-satunya dan Ayahnya.

”Akhirnya kamu sadar juga, nak!” Seru Ibunya.

Seorang Perawat datang menghampiri mereka sambil tersenyum dan melepas alat yang ada di hidungnya dan membiarkan Sasha mencoba bicara.

”Udah dari kapan aku disini? Koma berapa jam?”

”Udah dua hari lo disini, ngerepotin.” Jawab Manda, kakaknya kesal.

”Lo kenapa sih, Man? Gue kayak gini aja lo masih jahat sama gue.”


”Manda, diam kamu!” Bentak Ibunya. ”Kamu udah dua hari, Sas, disini.”

Sasha diam. Matanya menerawang jauh keluar jendela. Kepalanya pusing. Lalu ia beralih pada Perawat yang baik itu.

”Suster tahu kapan saya bisa pulang?” tanya Sasha.

”Nggak usah pulang lo. Mati aja sekalian!” Sahut Manda.

”Manda, keluar kamu!” bentak Ayahnya.
Manda menatap Sasha kesal dan pergi keluar.

”Udah dong, jangan berantem! Jadi suster, kapan saya bisa pulang?” Lanjut Sasha.

”Kemungkinan dua hari lagi kamu bisa pulang. Itupun kalau kamu sudah dalam kondisi sangat baik.” Jawab Suster itu.

”Makasih, Suster.” Kata Sasha. Perawat itupun tersenyum lalu pergi membiarkan Sasha dan kedua orangtuanya. Ini waktu yang tepat kata Velter, pikir Sasha. Iapun memberanikan diri.

”Ma, aku boleh tanya sesuatu?” tanya Sasha.

Ibunya mengangguk. Mata Sasha kembali menerawang jauh kejendela disebelahnya. Ada burung-burung terbang diangkasa. Ia ingat Velter, tapi ia tidak mengatakannya.

”Mama kenapa selalu nggak perduli sama aku sih kalo hari-hari biasa? Mama baru perduli kalo aku kayak gini aja.”

”Nggak perduli gimana?”

”Mama sama Papa cuma perduli sama Manda, selalu nggak mau dengerin aku, permintaan Manda selalu diturutin. Kalo aku, aku ngomong apa dikit selalu di sanggah. Mama cuma dengerin apa kata Manda. Kenapa Ma?”

Ibunya diam sama sekali. Ayahnya juga.

”Apa karena Sasha terlalu nurut sama kalian? Apa karena Sasha selalu nggak mau ngebantah apa kata Mama atau Papa? Aku nggak cukup kuat, Ma, Pa, kalo kalian kayak gitu terus. Terutama kalo aku lagi berantem sama Manda. Aku terus yang disalahin.” Tanya Sasha.

”Aku nggak nuntut jawaban kalian sekarang, yang penting kalian tahu aja perasaan aku. Jangan sampe aku jenuh dan berontak aja.” Lanjut Sasha.

Ibu dan Ayahnya diam. Sasha menanti jawaban tapi mereka tak menjawab.

”Tinggalin aku sendiri.” Kata Sasha.

Ayah dan Ibunya pun keluar dari kamar itu.

Perasaan Sasha sangat lega. ”Thanks, Velter!” gumam Sasha sambil melihat burung-burung yang terbang diluar sana.

Tiba-tiba suara pintu terbuka. Sasha meliriknya. Diambang pintu ada orang yang ia benci sekaligus orang yang membuatnya kehilangan masa depan. Siapa lagi kalau bukan Willi yang langsung nyelonong duduk di tempatnya berbaring.

”Sha, kamu nggak apa-apa kan?”

Sasha membuang mukanya dengan perasaan kesal. Apalagi perkataan Velter yang menyuruhnya untuk egois dalam hal ini. Sasha membulatkan tekad untuk mengakhiri hubungan ini. Saat ini juga.

Willi sejak awal datang tadi mengoceh terus. Nampaknya Willi tidak menyadari kalau Sasha sejak tadi terdiam. Willi mulai diam sambil tertawa.

”... Iya Sha, pokoknya dodol banget deh tadi. Capek pula aku.” Cerita Willi.

”Udah selesai ngomongnya?” Tanya Sasha ketus.

Willi tetap terkekeh-kekeh tidak sadar kalau Sasha marah.

”Kapan aku ngomong kalo kamu kaya gitu?!” Protes Sasha.

”Oh, oke, sekaran giliran kamu.”

Sasha menarik nafas panjang. ”Makasih kamu udah ada disini, tau kalo aku ada dirumah sakit. Aku seneng dan sorry ngerepotin kamu...”

”Nggak ngerepotin, aku kan juga pengen cabut kuliah. Hehehe.”

”Bisa dengerin aku dulu nggak sih?” Bentak Sasha. Willi diam.

"Aku langsung aja deh. Aku mau putus sama kamu.”

Willi bengong. ”Tapi, kamu kan udah nggak...”

”Aku nggak peduli, Wil! Aku nggak tahan. Itu udah kesalahan aku. Kalo aku terus bertahan sama kamu yang playboy dan terus nyakitin aku, kapan penderitaan aku selesai?!”

”Sha...”

”Menurut aku, itu udah lewat. Sori aku egois dan keburu-buru. Tapi mau kapan lagi? Kamu dan aku sama-sama nggak punya banyak waktu. Kamu udah nggak bisa dihubungi sekarang. Kamu cuma nyakitin aku doang.”

”Tapi Sha...”

”Buat aku, yang udah lewat ya, lewat, aku tau ada kehidupan yang lebih baik tanpa kamu.” Kata Sasha lega.

Keduanya diam. Willi pun berdiri dan tersenyum.

”Sha, makasih ya untuk bilang kayak gini sama gue. Eh, Mau tau sesuatu nggak?”

Sasha menaikan alisnya.

”Gue udah jadian sama Tara sejak lo di jauhin sama dia.” Kata Willi mantap.

Sasha kaget lalu mengumpulkan suaranya kuat-kuat. Ia marah.

”KELUAR LO, WIL. PERGI DARI HIDUP GUE!” teriak Sasha. Willi pun segera keluar dan Sasha pun lemas.

Tiba-tiba pintu terbuka. Disitu Velter masuk dan menghampiri Sasha. Ia tersenyum.

”Ini baru Sasha yang saya kenal,” Kata Velter bangga sambil mengusap-usap kepala Sasha. Sasha tersenyum.

”Tapi, kesel juga sih.” Kata Sasha.

”Yah, setidaknya, kamu jadi tahu sesuatu kan? Kamu tahukan sekarang, jika Tara bukan orang yang baik, begitupula Willi.”

Sasha tersenyum.

”Oh, iya, kayaknya kamu harus tahu sesuatu.” Kata Velter.

”Apa?”

”Minggu depan, setelah kamu pulang sekolah. Di apartment kemarin. Di kebun sebelah kanan.”

”Tapi...”

Tiba-tiba semua hilang. Sasha bangun tersentak. Di sekitar situ hanya ada Manda yang membaca majalah. Lalu Sasha mencoba memejamkan mata tapi tidak bisa.

***

Bel yang dinantikan Sasha akhirnya berbunyi juga. Sasha tetap menunggu anak-anak keluar lebih dulu. Namun, ia sudah berencana ingin berbicara pada Tara sebelumnya.
Kebetulan Tara masih beres-beres. Sasha menghampirinya lalu memberikan tangannya sambil tersenyum. Tara bingung namun menjabat tangan Sasha.

”Selamat ya, udah ngancurin diri gue dengan ngerebut Willi dan ngebuat gue nggak punya temen. Tar, gue seneng bisa kenal lo.” Kata Sasha memberikan seulas senyum manis lalu segera pergi dari tempat itu membiarkan Tara terdiam.

”SASHA!” teriak Tara. Sasha tidak perduli.


***

Didepan kelas Feli telah menunggu Sasha.

”Sha,” Panggil Feli saat melintas Sasha didepannya.

”Sori, Fel, gue buru-buru.” Kata Sasha. Feli menahan Sasha.

”Sori, Sha, tapi lo harus tau sesuatu.” Kata Feli.

Sasha diam dan mendengarkan.

”Mungkin ini aneh buat lo, tapi lo harus tau dan dengerin gue dulu.”

”Fel, gue nggak mau ah, gue buru-buru.”

”Cuma janji sama Velter doang. Lo dateng tengah malem juga dia ada.”

”Lo kenal Velter? Maksud lo ada?”

“Gue tau Velter, Sha. Dia yang nyuruh gue jelasin ini semua ke lo.”

”Iya, apa, Fel?”

”Velter itu orang masa lampau, Sha.”

”Maksud lo?”

”Lo akan ngerti ketika lo nemuin dia nanti. Lagipula, dia pengen lo tau kenapa lo masuk rumah sakit kemaren.”

”Gara-gara... Gue jatoh kan bukannya? Saat itu ada Velter juga kok.”

Feli menggeleng. ”Lo masuk rumah sakit karena lo ketabrak truk.”

”Tapi, saat itu Velter nolongin gue kok,”

Feli menggeleng. ”Dia nyari event yang pas untuk bicara sama lo.”

”Lo bercanda, Fel. Lo kira gue percaya. Dasar freak lo.”

”Gue serius. Gue tau lo akan kecelakaan karena Velter yang bilang sama gue.”

”Eh, denger ya, lelucon lo tuh nggak lucu. Gue masuk rumah sakit ya karena jatoh dari lantai dua. Waktu itu gue juga lagi ngomong sama Velter. Lo bilang aja kalo lo iri kan, gue deket sama cowok seganteng Velter. Gue nggak suka lo bilang kayak gini. Lagian entar gue juga mau ketemu Velter kok.” Sasha langsung pergi meninggalkan Feli sendirian.

***

Sasha menelusuri kebun sebelah apartment yang tidak jadi dibangun itu. Perasaan marahnya pada Feli tidak bisa dihapus lagi.
Namun, ia juga jadi penasaran. Ia berjalan agak cepat.

Tiba-tiba kaki Sasha tersandung batu. Ia tersungkur. Kakinya terluka. Sasha melihat benda yang membuatnya tesandung. Benda itu nampaknya seperti batu besar yang terkubur di tanah.
Sasha penasaran dan ada suara yang membuat ia ingin mengambil batu itu . Ia menggali dengan tangannya dibantu benda-benda disekitarnya. Ia tidak takut kotor ataupun cacing. Benda itu nampak sangat dalam terkubur.

Sasha merasa lelah dan memutuskan untuk pulang namun akan kembali dengan membawa alat-alat untuk menggali dan mungkin akan menggunakan sepedanya.

***

”Ma, kenapa aku kemarin masuk rumah sakit?” Tanya Sasha.

”Loh, kamu nggak tau?”

Sasha menggeleng.

”Kamu ketabrak truk saat kamu pulang sekolah. Untungnya temenmu yang namanya Feli lewat situ dan ngasih tau ke Mama kalo kamu...” Omongan Ibunya terputus.

Sasha hanya mencium pipi Ibunya lalu bergegas kembali mengayuh sepedanya. Pergi ketempat itu.

Sesampainya di tempat itu, Sasha menggali kembali ditempat batu besar itu terkubur. Hujan pun mulai turun sedikit demi sedikit. Lama-lama semakin deras. Sasha tetap menggali tempat itu.

Sasha menggali semakin dalam dan semakin lama batu itu semakin nampak. Batu itu cukup besar dan masih menempel di tanah. Ia mengeluarkan linggis dari tasnya, berniat membalikan batu yang membuatnya jatuh tadi.

Ada sesuatu yang memaksa Sasha untuk mengetahui batu itu. Sasha membalik batu itu sekuat tenaga. Nampak dari marmer namun sudah usang.

Batu itu nampak seperti prasasti dan ada tulisan diatasnya. Hujan membantu Sasha menyingkirkan tanah-tanah yang menempel di batu berbentuk aneh itu. Betapa kagetnya Sasha ketika ia bisa membaca tulisan itu dengan baik.

R.I.P
Velter van Der Meijde
December 20, 1843 – January, 23, 1860
”May God Alway Be With Him”

“Itu kenapa apartmen ini tidak selesai dibangun,” Kata seseorang tiba-tiba. Suaranya dari belakang Sasha. Sasha menengok. Itu suara Velter dan ada Velter melihatnya dengen wajah pucat.

”Karena saya hidup disini lebih dulu.” Lanjut Velter.
Sasha menangis sejadi-jadinya. Badannya mengigil.


Jakarta, December 5, 2009