21.7.18

There She Goes, There She Goes Away

She won’t ask you to stay because she’s already got a support system who loves her.
Really loves her.
Loves her for exactly who she is.
She knows the people who matter are the people who never even think about leaving.
She wants security.
She wants comfort.
She doesn’t want to waste time on someone she can’t count on.
She won’t ask you to stay because she knows her own worth.

Because after the rain she passed by, eventually she found a home.
Home that she's been away looking for.
Where she knows her worth and why does she choose to never looking back.
She felt pain after pain.
Now she's no longer in transit.

Menari Dengan Iblis

Mencintai Azen sama dengan tidak mencintainya sama sekali.
Tidak ada yang ingin mengenalnya lebih jauh.

Mencintai Azen tanpa henti juga berarti sama dengan tidak mengenalnya sama sekali.
Laki-laki itu bisa tiba di apartemenku malam hari saat aku menangis karena haid hari pertamaku yang mengerikan. Ia bisa membawakan sandwich tuna kesukaanku dan kita bisa menonton satu series sampai habis.

Azen yang dingin juga bisa sama sekali tidak datang saat aku menghubunginya dan saat aku membutuhkannya. Ketika aku sakit parah dan sangat sendirian dan aku meninggalkan ratusan pesan, ia hanya membacanya saja.

Di satu hari tubuhnya yang tinggi besar itu bisa menindihku dan menciumiku dengan penuh kehangatan dan rasa cinta.
Di hari berikutnya ia bisa mendiamkanku habis-habisan. Setiap memori indah yang kuhabiskan bersamanya selalu ku ingat setiap detilnya.

Sementara di hari-hari lainnya aku selalu menangis dalam kesendirian.

Mungkin ini kesalahanku untuk mencintainya sedalam mungkin sementara ia tidak. Bahkan ketika suatu hari ia mengatakan bahwa mencintaiku adalah suatu kemustahilan.
Azen bisa membuatku menangis habis-habisan sekaligus orang yang sangat kubutuhkan. Meski aku tahu yang ia inginkan hanya hubungan intim penuh rahasia antara kami berdua.

Ia adalah laki-laki yang pada pagi hari bisa meninggalkanku tanpa jejak dan berminggu-minggu tanpa kabar. Wangi sandalwoodnya bisa menempel di tubuhku berhari-hari, membuatku mabuk kepayang Aku selalu memaafkannya ketika ia datang kembali.

Melihat senyum di wajahnya, atau merasakan manis bibirnya. Aku begitu mencintainya sampai rasa sakit tak tertangguhkan selalu datang. Ia tidak muncul dalam waktu yang sangat lama, tidak satupun pesanku ia tanggapi.
Teleponku tidak pernah diangkat.

dan aku selalu merindukannya.
 Mencintainya sama dengan tidak mencintainya sama sekali
 Aku tidak mengenal siapa Azen sebenarnya.

 ***
Mobil-mobilan kecil itu berhenti tepat di depan tumitku. Aku berjongkok untuk mengambilnya. Tak lama seorang anak kecil menghampiriku.
 "Ini milikmu?" tanyaku pada anak laki-laki itu. Ia mengangguk.
Aku segera memberikan mainan itu padanya.

"Terimakasih," katanya. Senyumnya familiar. Hatiku berdegup.

"Ayo Raf, kita pulang. Mama sudah selesai berbelanja!" Seru suara berat yang menghampiri anak itu.
Suara yang sudah lama sekali tidak aku dengar.
Aku mengangkat wajahku, menahan hatiku yang berdegup dengan keras.
Semetara anak kecil itu berlari ke pelukan suara yang ku rindukan.
Aku hanya bisa mengangkat alisku, tidak tahu harus apa.

Kalian sudah tahu bahwa pria itu Azen.

"Ayo Papa! Buruuu!" Seru anak itu.

Sementara Azen hanya tersenyum kecil. Aku merindukannya dan sekarang kami harus berpura-pura seakan tidak pernah terjadi apapun di antara kita, bahkan saling mengenalpun tidak.

Sementara aku hanya balas tersenyum kecil, kemudian berbalik badan. Menahan air mata yang akan tertumpah. Ia tidak pernah peduli aku mencintainya.