27.1.15

Surat Terbuka Untuk Laki-Laki Yang Diharapkan Di Masa Depan

Untukmu, pertemuan tidak sengaja di pertengahan menjelang akhir Agustus
Yang menatapku terlebih dahulu, tengah benyanyi bersama sahabatku, di antara begitu banyak manusia yang berlalu lalang

Ketika aku menyukaimu, dengan luar biasa padahal caramu terlalu sederhana
Sikapmu, wibawamu, candamu, kedewasaanmu
Cara kau menyukai anjing, atau saat kau berhenti tepat di depan rumahku
Memberiku vitamin C, sebagai kembalian dari membeli rokok
Begitu tidak sadarnya sampai kau berhenti begitu saja. Pergi membiarkanku, diam di sini.
Melihatmu pergi, benar-benar jauh, meretakkan harapanku dan sungguh aku tidak sedang bermain-main.
Tapi aku tidak membencimu, melainkan aku semakin menyukaimu. Tidakkah ini aneh?

Jadi, laki-laki seperti inilah, yang selalu ada dalam doa malamku, doa setiap hari mingguku, dan orang yang kuingat sebelum tidur dan ketika bangun pagi.
Bukan untuk menjadi kekasih saat ini, sama sekali tidak.
Bahkan tidak terbayangkan olehku, untuk menjadi wanita yang mengirimimu pesan sepanjang hari.
Aku tidak keberatan kau tidak di sampingku saat ini.
Bukan cinta hari ini yang kuperlukan.
Tapi aku selalu memikirkanmu, untuk menjadi masa depanku.
Menjadi ayah bagi anak yang akan tumbuh dijaninku,
Mengajarkan buah hati kita untuk menjadi bijaksana sepertimu,
Membimbing mereka untuk ke rumah Tuhan setiap minggu,
Menjadi rumahku, kelak.

Jadi, kau sudah tahu apa yang kuinginkan darimu?
Ya, kumohon supaya kau jatuh cinta padaku, suatu hari nanti, kelak.
Ya, tidak sekarang.


***

Kemudian dia menghapusnya, tidak, tidak menghapus laki-laki itu. Ia menghapus dengan pensil tulisannya pukul 3 dini hari. Ya, laki-laki itu tidak pernah tahu, bahwa laki-laki itu selalu menjadi pikirannya di pukul tiga dini hari.


Di Jakarta.

3.1.15

Ayo Kita Menangis Secara Sederhana!

Dahulu kala, semua benda-benda langit dapat berbicara satu sama lain. Mereka juga dapat saling menyentuh satu sama lain. Semua saling bersahabat. Tidak ada masalah dalam hidup mereka, kecuali diri mereka sendiri. Misalnya, Bulan yang sewaktu-waktu bersembunyi dan berotasi, atau bintang-bintang seperti Antares dan Orion yang kadang tidak sengaja tersedot ke lubang hitam karena mereka terlalu pemalas. Semua karena emosi dalam diri mereka sendiri, bukan karena apapun di luar diri mereka sendiri.

Suatu hari, emosi Bumi sedang meninggi. Ia merasa malu, menderita dan tereksploitasi karena ada yang salah dengan tubuhnya. Rupanya, itu karena ulah manusia yang semakin semena mena menggerogotinya. Akan tetapi, Bumi tidak melakukan apa-apa. Ia hanya diam disitu, menahan emosi sampai ia benar-benar mati. Sedangkan Matahari yang selalu konsisten menyinarinya merasa gemas.

"Ayo, pemalas keluarkan air dari matamu, daripada emosi itu membumbung!" rayu Matahari yang sedang membiarkan Bumi mengeluarkan air matanya.

"Aku tidak bisa menangis, Matahari." tukas Bumi dengan enggan.

"Mengapa tidak? Menangis kan sangat sederhana?" tanya Matahari.

"Menangis tidak sederhana. Menangis juga meledakkan emosi." jawab Bumi lagi. 

"Bagaimana mungkin?" tanya Matahari

Bumi pun mengambil posisi duduk yang paling enak dan kemudian menghisap rokoknya. Rokok itu memang membunuhnya, akan tetapi, Bumi tidak takut mati karena rokok. Ia takut mati karena makhluk kecil yang kini menguasai dirinya dan memporak prandakan tubuhnya.

"Kau lihat tubuhku ini, Matahari?" Bumi menunjukan bagian tengahnya pada Matahari. Matahari mendelik ngeri. Ia melihat ada perang dan baku tembak di tubuh Bumi tengah. Bumi sendiri merasakan sakit yang tiada tara, perih tepat menyerang ulu hatinya.

"Mereka berperang? Memerangi apa?" tanya Matahari. Bumi hanya mengangkat kedua bahunya.
"Hanya manusia yang membunuh manusia, kau tahu. Mereka ini virus, terlalu aneh." jelas Bumi.

"Kukira mereka memang ada di sana, seperti komponen dalam tubuhmu," pendapat Matahari pada Bumi tidak direspon lebih jauh. Bumi hanya duduk disitu merenungi apa yang dikatakan Matahari.

Matahari bersinar ke arah Bumi sembari ia menghabiskan sisa puntung rokoknya yang terakhir.

"Tapi, bila komponen dalam tubuh ternyata abnormal, apa ia masih dapat disebut bagian tubuhmu?" tanya Bumi pada dirinya sendiri.

Matahari hanya mengangkat bahunya. "Entahlah," ujarnya kemudian.

Semoga saja, manusia bisa mendengar harapan Bumi, menyayangi Bumi dengan segenap hati. Doa Matahari dalam hati, ia terlalu iba dengan Bumi yang kini semakin menua dan tidak sehat. Bumi nampak seperti kakek tua yang sakit keras dan batuk-batuk. Tidak ada yang tahu, tapi semoga saja.



Januari 2015

Bedak Tabur

Aku bertaruh seratus ribu rupiah kau tidak akan pernah ingin mendengar ini. Maka, cepatlah kau tutup telingamu dengan kedua tangan dan berteriaklah sekencang mungkin, agar kau tidak perlu mendengarku.

"Bisakah aku memilikimu?" tanyaku. Namun kau tetap berteriak sampai suaramu parau. Padahal aku hanya berbisik kecil, di hadapanmu, bukan telingamu.

Di luar hujan lagi, ini kali ketiga hujan turun sepanjang hari. Awal Januari, aku selalu berharap waktu tidak akan pernah pergi. Tetap memaku kita dalam situasi. Merekamnya dalam pita-pita kaset, yang kapan-kapan aku dapat putar lagi.

Kau menatapku. Setelah pertanyaanku usai. Kau tidak mendengarku, memang. Namun aku bertaruh seratus ribu lagi, kau sudah mengerti apa maksudku. Tapi kau hanya berpura-pura tidak tahu.

Tidak ada jawaban keluar dari bibirmu. Menyiksa waktu sedikit menumbuk batin, meninju riak-riak air yang jatuh dari langit. Menyesuaikan rindu yang telah kosong. Semuanya metafora.

Tapi aku tersenyum.
Aku mendapat dua ratus ribu.