3.1.15

Ayo Kita Menangis Secara Sederhana!

Dahulu kala, semua benda-benda langit dapat berbicara satu sama lain. Mereka juga dapat saling menyentuh satu sama lain. Semua saling bersahabat. Tidak ada masalah dalam hidup mereka, kecuali diri mereka sendiri. Misalnya, Bulan yang sewaktu-waktu bersembunyi dan berotasi, atau bintang-bintang seperti Antares dan Orion yang kadang tidak sengaja tersedot ke lubang hitam karena mereka terlalu pemalas. Semua karena emosi dalam diri mereka sendiri, bukan karena apapun di luar diri mereka sendiri.

Suatu hari, emosi Bumi sedang meninggi. Ia merasa malu, menderita dan tereksploitasi karena ada yang salah dengan tubuhnya. Rupanya, itu karena ulah manusia yang semakin semena mena menggerogotinya. Akan tetapi, Bumi tidak melakukan apa-apa. Ia hanya diam disitu, menahan emosi sampai ia benar-benar mati. Sedangkan Matahari yang selalu konsisten menyinarinya merasa gemas.

"Ayo, pemalas keluarkan air dari matamu, daripada emosi itu membumbung!" rayu Matahari yang sedang membiarkan Bumi mengeluarkan air matanya.

"Aku tidak bisa menangis, Matahari." tukas Bumi dengan enggan.

"Mengapa tidak? Menangis kan sangat sederhana?" tanya Matahari.

"Menangis tidak sederhana. Menangis juga meledakkan emosi." jawab Bumi lagi. 

"Bagaimana mungkin?" tanya Matahari

Bumi pun mengambil posisi duduk yang paling enak dan kemudian menghisap rokoknya. Rokok itu memang membunuhnya, akan tetapi, Bumi tidak takut mati karena rokok. Ia takut mati karena makhluk kecil yang kini menguasai dirinya dan memporak prandakan tubuhnya.

"Kau lihat tubuhku ini, Matahari?" Bumi menunjukan bagian tengahnya pada Matahari. Matahari mendelik ngeri. Ia melihat ada perang dan baku tembak di tubuh Bumi tengah. Bumi sendiri merasakan sakit yang tiada tara, perih tepat menyerang ulu hatinya.

"Mereka berperang? Memerangi apa?" tanya Matahari. Bumi hanya mengangkat kedua bahunya.
"Hanya manusia yang membunuh manusia, kau tahu. Mereka ini virus, terlalu aneh." jelas Bumi.

"Kukira mereka memang ada di sana, seperti komponen dalam tubuhmu," pendapat Matahari pada Bumi tidak direspon lebih jauh. Bumi hanya duduk disitu merenungi apa yang dikatakan Matahari.

Matahari bersinar ke arah Bumi sembari ia menghabiskan sisa puntung rokoknya yang terakhir.

"Tapi, bila komponen dalam tubuh ternyata abnormal, apa ia masih dapat disebut bagian tubuhmu?" tanya Bumi pada dirinya sendiri.

Matahari hanya mengangkat bahunya. "Entahlah," ujarnya kemudian.

Semoga saja, manusia bisa mendengar harapan Bumi, menyayangi Bumi dengan segenap hati. Doa Matahari dalam hati, ia terlalu iba dengan Bumi yang kini semakin menua dan tidak sehat. Bumi nampak seperti kakek tua yang sakit keras dan batuk-batuk. Tidak ada yang tahu, tapi semoga saja.



Januari 2015

No comments:

Post a Comment