3.1.15

Bedak Tabur

Aku bertaruh seratus ribu rupiah kau tidak akan pernah ingin mendengar ini. Maka, cepatlah kau tutup telingamu dengan kedua tangan dan berteriaklah sekencang mungkin, agar kau tidak perlu mendengarku.

"Bisakah aku memilikimu?" tanyaku. Namun kau tetap berteriak sampai suaramu parau. Padahal aku hanya berbisik kecil, di hadapanmu, bukan telingamu.

Di luar hujan lagi, ini kali ketiga hujan turun sepanjang hari. Awal Januari, aku selalu berharap waktu tidak akan pernah pergi. Tetap memaku kita dalam situasi. Merekamnya dalam pita-pita kaset, yang kapan-kapan aku dapat putar lagi.

Kau menatapku. Setelah pertanyaanku usai. Kau tidak mendengarku, memang. Namun aku bertaruh seratus ribu lagi, kau sudah mengerti apa maksudku. Tapi kau hanya berpura-pura tidak tahu.

Tidak ada jawaban keluar dari bibirmu. Menyiksa waktu sedikit menumbuk batin, meninju riak-riak air yang jatuh dari langit. Menyesuaikan rindu yang telah kosong. Semuanya metafora.

Tapi aku tersenyum.
Aku mendapat dua ratus ribu.

No comments:

Post a Comment