21.12.16

Fatal

Mungkin kau benar, aku ini hanya ingin memerangimu, bukan mencintaimu. 
Kau paling komprehensif dalam memahami keadaan kita, tetapi hanya aku yang merasakan.
"Lihat dirimu, hancur, merana." katamu, itu benar. 
Tidak ku temukan kesalahan sama sekali dalam pendapatmu, tidak juga ku temukan kesalahan keputusanmu untuk pergi menjauh dariku.
Hanya aku yang kerasukan jiwa yang kosong, tapi peluru merasuk hingga ke sumsum tulang belakangku.
Ini semua salahku yang terlanjur fatal, tak henti aku terus menerus memerangimu.

20.12.16

Untuk Hati Yang Belum Menyerah

Hati,
harus sampai kapan diam di situ tidak menyerah?
Enggan terlelap tapi terlalu lelah untuk tidak terpejam
Tidak pernah mau mengerti bagaimana bulir bulir darah dan air mata tertumpah
Aku mulai menulis kolom obituarimu, hati
Tapi kau belum mati dan enggan berlabuh
Di tengah lautan luas dan hampir tenggelam
Tapi rupanya belum padam juga
Aku ingin memilikimu, sekali lagi

13.12.16

Tentang Keinginan Menjadi Seorang Ibu

Ini ideku sendiri yang sangat relatif terwujud tapi juga sangat konservatif. Mungkin dalam satu dekade mendatang, mungkin dalam 15 tahun, atau mungkin memang tidak akan pernah terjadi. Tidak apa-apa, sebab mimpi tidak harus selalu terwujud, yang paling penting aku berusaha untuk mewujudkannya.

Aku ingin menjadi seorang ibu kalau aku sudah siap nanti. Aku ingin sebuah keluarga kecil yang dapat menjadi alasan untukku pulang ke rumah. Tapi hal yang paling sederhana, aku ingin menjadi seorang ibu.

Tidak peduli dengan populasi dunia yang sudah penuh sesak, aku ingin sekali saja seumur hidupku mempunyai kebanggaan dan menikmati keistimewaan menjadi seorang wanita, yaitu mengandung. Aku hanya ingin sekali saja, tidak ingin lebih. Tidak apa merasakan rasanya perih, karena toh itu tidak membunuhku atau menyakiti orang lain.

Kelak kalau ku memiliki seorang anak, aku akan belajar tentang memberikan sesuatu dengan sangat tulus, tanpa persyaratan, tanpa meminta ia mengembalikannya. Aku juga akan mengimplementasikan apa itu maaf yang paling mendasar, atau sekedar apa itu memperlakukan orang lain seperti memperlakukan diriku sendiri. Aku akan mencintainya dengan seluruh tenagaku tetapi tidak apa-apa kalau dia hanya mencintaiku kurang dari sepuluh persennya, karena itulah cara kerja cinta.

Kelak kalau aku memiliki seorang anak, aku tidak akan pernah memanjakannya. Aku hanya akan mengajarinya, memberikan dia bekal atau pandangan yang luas, memberikannya pilihan beserta konsekuensinya. Aku tidak akan memaksanya mengambil suatu pilihan hanya untuk kebanggaanku sendiri. Oleh sebab itu, sedari dulu aku suka sekali belajar, aku ingin pengetahuanku luas, aku ingin melihat dan mengerti dunia dari berbagai sisi sehingga aku dapat berdiskusi dengan anakku mengenai berbagai pilihannya.

Anakku kelak tidak perlu menjadi dokter kenamaan, seniman hebat, astronot, atau musisi terkenal. Ia bebas menjadi apa saja, sejauh ia memberikan lebih banyak kontribusi dalam upaya penyelamatan dunia. Tidak, anakku tidak akan menjadi manusia super, ia hanya akan ku ajari caranya mencintai lingkungan dan hewan, tidak melukai perasaan orang lain, penuh maaf dan kasih, dan aku akan lebih berbangga lagi kalau ia bisa membantu orang lain. Tidak apa ia hanya menjadi karyawan biasa dengan penghasilan minim, sejauh ia menikmati apa yang ia kerjakan. Dalam hematku, ini adalah pekerjaan yang berat bagi bakal manusia ini.

Aku tidak tahu kapan mimpi ini akan terwujud, yang aku tahu hal ini masih sangat lama. Akupun perlu berbekal lebih banyak ilmu dan pengalaman untuk membentuk manusia seperti itu. Usiaku sekarang 23. Temanku ada yang pernah berkata, bahwa dalam waktu 10 tahun apapun bisa terjadi. Bahkan dalam kurang dari sepuluh tahun mungkin aku sudah tidak ada lagi di bumi ini.

Tidak tahu.

9.12.16

Mantra Ajaib

Kukira aku telah menguasai satu mantra paling efektif dan manjur. Mantra ini berguna untuk mengusir orang-orang yang ku harap akan segera pergi dari kehidupanku. Mantra ini sangat ampuh bagi orang yang paling dekat denganku.

Awalnya, aku mengira mantra ini akan bekerja sesuai dengan bahasa yang ku mengerti kemudian aku akan mendapatkan apa yang aku inginkan. Banyak orang sangat penasaran dengan mantra rahasiaku. Sayangnya, mantra rahasiaku ini baru bisa mujarab setelah banyak pengalaman yang kulalui.

Temanku bertanya dengan penasaran, "Apakah mantra ajaib itu?" sebab ia sangat ingin mengusir hal-hal yang tidak baik yang terjadi padanya.

Aku hanya tersenyum, "Kau tidak bisa sembarangan melafalkan mantra ini. Kadang ini bekerja baik padaku tapi kadang justru sebaliknya. Hati-hati dengan mantra ini, sifatnya seperti dua mata pisau." Aku memperingatkan.

"Kalau begitu, aku tidak jadi ingin tahu karena sepertinya mantra ini sangat menyeramkan," ucapnya dengan ragu.

"Pengalamanku sih begitu." sahutku pelan.

Temanku kemudian berlalu, sementara aku bergeming dengan tatapan nanar dan kosong. Aku mencari celah yang ternyata masih belum ada di dalam diriku. Aku sangat padat dan sesak hingga aku sulit sekali bernapas. Ku hampir mengucapkan mantra itu lagi, mantra yang paling jujur dan ternyata membuatku menderita sampai hari ini.

Tanganku terkepal, tidak ada sesuatu yang lebih berarti daripada hal ini. Tanpa sadar aku mengucapkan mantra itu sekali lagi. Ku tahu pelafalan mantra itu akan membuat aku bertambah sesak dan orang yang kurindukan ini semakin menjauh.

Aku mengucapkannya. Ini terjadi sungguhan, dan kini ku lihat punggung orang itu dalam mimpiku. Air mataku berlinang lagi. Belum ada celah sejak orang itu berlayar, meskipun ia kini semakin asing dan asing.

"Aku merindukanmu, belum sedikitpun rasa ini berkurang. Aku belum kurang mencintaimu," aku merapalkan mantra itu sekali lagi dan kemudian aku melihat tubuhku menjadi kapas kapas dan naik ke angkasa.
Sementara orang itu kini semakin tidak terlihat di antara lautan yang lepas dan dalam.

Pergilah.

2.12.16

Tentang Sayap-Sayap Yang Takut Pada Angin

Dalam mitologi Yunani kuno dikenal seorang pembawa pesan antara Dewa dan Dewi dengan manusia bernama Iris. Ia selalu dilambangkan dengan pelangi, seiring dengan bertemunya matahari dengan bumi selepas langit dirundung kesedihan. Iris selalu berusaha menyampaikan banyak kabar baik kepada makhluk bumi. Iris dalam deskripsi orang awam berwajah sangat datar, memiliki sayap untuk mengakomodasinya dari satu tempat ke tempat lain dan dari tangannya sering keluar spektrum warna yang cantik guna menyampaikan berbagai kabar.

Suatu hari di pertengahan musim dingin, Iris, sang pembawa pesan menjatuhkan sayapnya ke atas bumi. Tidak apa-apa ia memang sengaja ingin membuang sayapnya ke atas bumi, toh, suatu hari nanti kalau Iris mau, ia bisa menumbuhkan sayapnya kembali. Kebetulan sepanjang tahun ini pekerjaan Iris sangat melelahkan, ia harus berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dalam waktu sesingkat mungkin dan hal itu membuat sayapnya jadi cepat usang.

"... tapi Iris, aku masih sanggup menemanimu berpergian," pinta sayap kiri Iris. Iris hanya tersenyum dengan bijaksana.

"Kau mungkin masih sanggup, sayap kiriku yang gigih, tapi sayapku harus bekerja seimbang kiri dan kanan," kata Iris.

"Maksudmu, kau bilang aku tidak bekerja dengan baik?" tanya sayap kanan dengan datar, sedikit banyak ia merasa tersinggung.

"Kalian berdua telah bekerja dengan baik, rajin, patuh dan hebat, sayap-sayapku. Aku berterimakasih kepada kalian. Tapi aku harus beristirahat setelah sepanjang tahun ini lelah menyampaikan berbagai macam pesan." kata Iris dengan sabar.

"Apa yang akan terjadi pada kami kalau kami tak lagi bersamamu, Iris?" tanya sayap kiri Iris dengan khawatir.

"Kalian akan baik-baik saja. Kalian akan terjun ke bumi dan kalian akan menjadi sesuatu yang sama sekali baru," jawab Iris.

"Tapi kami sesungguhnya takut, Iris." sayap kanan mengakuinya. Ia bergumam nyaris tidak terdengar.

"Apa yang kalian takuti?"

"Angin," jawab mereka hampir serentak.

Iris terbelalak. Bagaimana mungkin mereka berdua justru takut dengan teman baiknya selama ini. "Bagaimana mungkin kalian takut pada angin yang sangat hebat itu?" tanya Iris.

"Menurutku ia kasar, kalau tidak ada kau, ia pasti membawa kami kemanapun yang ia suka. Berapa kali kami harus berusaha sekuat tenaga melawan angin. Mereka sangat menusuk dan menyakitkan kami." sayap kanan dengan jujur mengatakannya.

"Sekarang apa lagi yang membuat kami usang kalau bukan karena tekanan udara yang kejam dan angin yang tidak mengenal ampun." tambah sayap kiri khawatir.

Iris tersenyum. "Ku kira inilah saatnya kalian mengenal Tuan Angin dengan lebih baik." Sahut Iris. Satu persatu ia melepaskan sayapnya. Di mulai dari sayap kanan yang jauh lebih tenang dari segi emosi dan kemudian sayap kiri yang lebih meledak-ledak.

"Kalian sangat baik dan hebat, kelak kehidupan di bumi akan memberikan kalian hal yang baik juga. Berjanjilah padaku kalau kalian akan menjadi sayap-sayap yang hebat dalam wujud apapun itu," bisik Iris pada kedua sayapnya yang tampak tak rela melepaskan Iris.

"Kami akan merindukanmu, Iris. Selamat tinggal!" salam kedua sayap itu.

"Selamat tinggal," jawab Iris yang kemudian melepas kedua sayap itu sehingga mereka terjatuh bebas ke atas bumi.

Kedua sayap itu jatuh tanpa terkendali memasuki bumi. Sayap-sayap itu kemudian bertemu kembali dengan angin yang kasar dan angkuh. Mereka berdua terhantam dan terpukul tanpa bisa melawan karena angin sangat kasat mata. Hingga angin berbisik kepada mereka, menyambut kedatangan mereka ke bumi.

"Halo, Yang terbuang! Pemilik kalian sudah membenci kalian ya?" tanya angin dengan kasar yang menghembus mereka berdua.

"Tidak, Iris tidak membenci kami. Kami memberi Iris kesempatan untuk beristirahat," kata sayap kiri dengan berani.

"Sungguh?! Lalu kenapa kalian tampak muram? Apa kalian takut padaku?" tanya angin.

Kedua sayap itu tampak gamang, sedikit banyak mereka ingin mengakuinya, tapi mereka harus tampak gigih dan berani seperti saat bersama Iris.

"Tidak. Kami tidak takut padamu bahkan kami tidak takut apapun dan kami berdua adalah sepasang sayap yang hebat." jawab sayap kanan. Mencoba menghapus setiap ketakutan yang mereka berdua sebenarnya miliki.

"Ah ya, mari kita lihat apa kalian masih cukup berani bila kalian berdua terpisah." ide angin yang kemudian meniup mereka ke dua hemisfer yang berbeda.

Tanpa sempat mengucapkan kata perpisahaan, kedua sayap tersebut ke dua tempat yang berlawanan sehingga sangat tidak mungkin untuk mempertemukan mereka berdua. Kedua sayap itu menjadi sangat lemah dan semakin lemah hingga mereka tak berdaya tersungkur kepermukaan bumi yang amat permai.

Saat menyentuh permukaan bumi, sayap-sayap itu berubah menjadi bentuk yang lain. Sayap kanan lebih beruntung, saat ia menyentuh permukaan bumi, ia berubah menjadi seekor elang alap yang mampu terbang tinggi dengan gagahnya. Sayap kanan membutuhkan angin hampir sepanjang waktunya. Saat itu, sayap kanan juga menyadari bahwa angin sangat baik hati, hanya saja memang angin sangat usil dan sedikit sombong, tapi tak apa karena itu yang membuat angin sangat menarik dan menjadi sahabat karibnya.

Akan tetapi nasib tidak terlalu baik kepada sayap kiri yang menjadi manusia saat ia menyentuh permukaan bumi. Ia termenung di jendelanya, mengamati angin yang bertiup di antara dedaunan dan membawa daun-daun tersebut pergi entah kemana. Cuaca memang sedang tidak baik di luar dan memaksa sayap kiri tetap tinggal di ruangannya yang hangat dengan secangkir kopi dan kesendirian. Ia masih muram, membenci angin, dan tersenyum sekedarnya kepada siapapun.

Kadang ia masih suka bermimpi tentang sayap kanan, tentang Iris dan pelangi-pelanginya, atau apapun dalam kesendiriannya. Kadang ia berpikir, seandainya saja Iris tahu apa yang sayap-sayapnya alami, pasti Iris menyesal melepaskan mereka berdua.
Sayap kiri tak pernah menyukai ide tentang kategorisasi, pemecah-belahan ataupun pengasingan, mungkin karena ia adalah produk kesengsaraan dari sebuah perpisahan. Ia menyukai segala ide tentang kesatuan, ketidakpecahbelahan, dan kesamaan.
Fakta pahitnya, tidak ada satupun manusia yang benar-benar rigid menjadi satu atau benar-benar terpisah. Pandangan samar-samar ini membuatnya gusar. Mungkin itu juga yang menjadikannya ia hanya percaya pada kesatuan yang paling utuh, yaitu dirinya sendiri.

Sayap kiri tetap sendiri dalam setiap kemurungannya. Sayap kiri tidak tahu bahwa selama ini angin berbisik padanya bahwa angin sangat ingin bersahabat dengannya. Kadang memang angin tidak pernah tahu bagaimana cara menyampaikan niat baiknya pada sayap kiri sebab ia lebih dingin daripada daerah sebelah timur Antartika. Sayap kiri menghindari angin, membencinya.

Kadang angin berusaha meniup sejuk di wajah sayap kiri yang kemudian hanya dibalasnya dengan tundukan kepala. Kadang angin bersama lebah-lebah dan burung-burung isap madu dan kolibri menunjukan padanya bunga-bunga aneka warna yang bersemi tapi sayap kiri tidak pernah menyadarinya. Kadang angin usil membawa kabur topi atau kertas-kertas yang ia pegang, namun yang didapatkan angin hanya caci maki kebencian dari sayap kiri.

Sayap kiri tidak pernah tahu angin hanya ingin meminta maaf dan ingin memulai persahabatan dengannya.
Sayap kiri tidak pernah tahu, atau barang kali, belum tahu.


Jakarta, Desember 2016