31.10.11

Jakarta. Hari Ini. Sore Ini.

Aku berpegangan satu tangan erat erat pada besi kumuh yang melintang di bus 213 jurusan Kampung Melayu - Grogol. Waktu menunjukan pukul setengah lima dan aku mengamit tas erat-erat dengan tangan yang lain. Bus 213 ini memang terkenal sekali akan kriminalitasnya.

Pagi tadi, saat aku berangkat, seorang wanita separuhbaya yang baru berbelanja di Pasar Jatinegara menjadi korban kriminalitas. Mereka bilang pelakunya ada selusin. Belum lagi hari Sabtu minggu lalu aku hampir saja menjadi korban kriminalitas juga. Tapi, aku beruntung, tidak ada milikku yang hilang.

Bus tiba tiba mendecit dan menghentak, menimbulkan impulsi dan bereaksi pada teriakan "Aduh!" dari para penumpang yang berdiri, adapula beberapa yang semakin menjaga barang bawaannya dari tindakan kriminal ibukota.

Saat itu tengah melintas di jalan Diponegoro dikala hujan memulai orgasmenya dan mencucurkan setitik demi setitik gerimis. Disebelahku, ada seorang Bapak yang menjaga barang bawaannya dengan rapi, dan sebelah lain ada seorang wanita yang umurnya kutaksir sekitar seperempat abad. Semua penumpang bertindak preventif. Bahkan mungkin pencopet juga menyamar menjadi orang yang sangat preventif.

Kakiku sedikit merasa lelah mengingat tadi sempat aku dan rekanku justru berjalan jalan diwaktu istirahat. Langit diluar menjadi sangat shoegaze dan aku mengharap tempat duduk saat itu juga.

Langit yang sangat redup itu menambah gejolak ketika orgasme hujan semakin tinggi. Aku bersabar. Satu persatu orang-orang turun. Ada gadis duduk tepat di depanku, ia hendak hengkang dari tempat duduknya. Namun, seorang itu yang kelihatan juga sudah tua menyerobot duduk ditempat itu. Aku menarik partikel sedalam mungkin ke paru paru.

Aku tak sadar tak jauh di belakangku ada satu kursi kosong. Adapun orang melihat peluang itu. Dia. Yang matanya bertemu mataku seakan memuncah radiasi antara kami. Laki-laki itu ku prediksi 1,8 meter atau lebih, ia memiliki sedikit kumis yang seksi dan wajahnya sangat tampan. Ia duduk di kursi itu yang justru malah membuat aku berpaling dari haluan, berharap wanita tua yang ada disebelahnya segera tiba di tujuan.

Tak lama kemudian, setelah aku puas mencuri pandang, wanita itu hengkang, dan aku hampir setengah berlari untuk duduk tepat disebelahnya. Kemudian aku duduk disebelahnya untuk akhir perjalanan hari itu.

Tidak. Tidak ada yang terjadi. Tidak ada konversasi. Tidak ada yang terjadi selama sisa perjalanan.

Hanya getaran. Namun aku sendiri tidak mampu untuk mengarahkan kepala untuk menatapnya. Hanya radiasi. Radiasi sore hari di Jakarta. Ditengah kepadatan masyarakat untuk kembali ke peraduan, ketika berbondong bondong kebebalan terukir di kemacetan.

Sampai akhirnya tiba pada perhentian terakhir dimana aku dan orang asing itu harus berpindah ke tujuan kami selanjutnya.

Aku berpisah dan tidak akan bertemu lagi. Kalau sampai bertemu lagi, mungkin memang takdir yang membawa. Ku lirik ia sekali lagi. Sekali saja untuk menghapus kelabu sore hari ini.

Kulihat ia menyunggingkan senyum kecil. Untukku.
Dan aku sadar, saat aku dan dia berdampingan duduk, dia sempat menatapku. Beberapa kali.

true event