Pagi itu aku duduk di meja makan, hendak berangkat sekolah. Kakak ku, Kak Elang yang sangat ku kagumi duduk di hadapanku. Kami sama sama menyantap hidangan pagi yang dimasak Mama. Papa juga berada disana sedang menyeruput kopi dan membaca koran seperti biasa.
"Lang, kamu hari ini pulang langsung pulang ya?" Pinta Papa pada Kak Elang.
"Oh, aku gak bisa, Pa. Aku sibuk. Bahkan kayanya aku bakalan nginep lagi di kampus." Jawab Kak Elang.
Mama tiba-tiba datang dari dapur dan duduk tepat di sebelahku sambil menatap Kak Elang, wajahnya serius namun tetap bijaksana seperti saat dia memarahiku kalau aku memecahkan vas bunga kesayangannya.
"Lang, ini buat keselamatanmu juga, sayang. Kami sayang sama kamu, Nak. Tau sendiri belakangan aparat dan pemerintah lagi sama gilanya. Kami takut kamu jadi korban. Kamu gak usah ikutan ya?" Bujuk Mama.
Aku tidak mengerti apa yang Kak Elang dan orangtuaku bicarakan. Yang aku tahu, Kak Elang hanyalah kakak laki-laki yang umurnya berbeda cukup jauh dariku, ia mahasiswa ilmu hukum disebuah kampus swasta di bilangan Jakarta. Belakangan aku termasuk mulai jarang melihat Kak Elang dirumah. Kadang ia bisa pulang saat aku sudah lelap tertidur dan berangkat pagi sebelum aku bangun. Kakak juga sering tidak pulang. Tapi yang aku tahu Kak Elang bukan anak yang nakal.
"Ma, Pa, negara kita sudah gak aman, sampai kapan Mama dan Papa mau begitu terus, diam dibalik rasa takut tapi juga terlena dalam buai korupsi. Aku dan teman-temanku cuma memperjuangkan hak kita sebagai rakyat. Lagian aku gak sendiri kok, banyak juga yang melakukan pembaharuan ini. Mereka datang dari seluruh pejuru wilayah Indonesia demi kemajuan kita." Orasi Kak Elang yang datar membuat suasana pagi itu jadi tegang.
"ELANG! Perjuangan apa? Apa yang kamu sebut perjuangan? Kamu dan semua mahasiswa lain hanya sok berani jadi pahlawan. Apa yang kamu lakukan itu hanya merugikan negara. Kamu dan mahasiswa-mahasiswa lain hanya ingin menghancurkan bangsa kita." Sanggah Papa.
"Siapa yang sekarang menghancurkan, Pa? Mahasiswa atau Si Tua Bangka yang sudah 32 tahun itu duduk menginjak-injak rakyat?" Balas Kak Elang.
"Hati-hati kalau kamu bicara!" Ancam Papa.
"Apa? Papa takut jabatan Papa sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kantor Departemen Kelautan itu hancur? Kalau Papa takut, jangan bilang ke orang lain kalau aku ini anak Papa. Pa, aku cuma membuat pembaharuan." Wajah Kak Elang menegang.
"Tapi caramu ini salah."
"Salah? Lalu dengan cara apa lagi kita bisa didengar? Dari dulu kita telah berusaha dari cara yang paling halus sampai bergerilya. Apa yang kita dapat? Tetap saja kita dibodoh-bodohi, Pa! Aku dan teman-teman ku-dengan seluruh mahasiswa akan berdemonstrasi demi Indonesia yang baru. Indonesia yang lebih baik, Pa! Buka pikiran papa sekali-sekali." Kata Kak Elang dengan emosi yang meledak-ledak.
Kulihat Papa tampak marah dengan apa yang Kak Elang katakan, padahal aku tidak mengerti sama sekali. Mama terlihat menengahi mereka berdua namun tampak gagal.
"Ayo Gilang, kita berangkat sekarang." Ajak Mama berbisik.
Sebetulnya bisikan Mama membuat aku sedikit lega karena aku akan keluar dari situasi genting itu. Akupun segera beranjak dari tempat duduk.
"Pa, aku berangkat ya." Kataku sambil menghampiri Papa. Otot-otot di wajah Papa sedikit mengendur ketika aku meraih tangannya dan menyalimnya. Aku lalu berjalan ke Kak Elang lalu mengucapkan salam juga padanya. Kak Elang berbisik padaku.
"Kalau nanti sudah besar, kamu harus janji sama kakak kamu akan jadi orang baik ya. Yang adil, yang demokratis." Bisik Kak Elang.
"Aku mau jadi pilot, Kak. Aku janji akan jadi pilot yang baik." Kataku. Lalu Kak Elang mengelus kepalaku dengan lembut.
"Aku percaya sama kamu, Gilang." Kata Kak Elang.
Aku pun pergi bersama Mama ke sekolah dengan mobil. Sebelum aku benar-benar pergi meninggalkan rumah, aku masih dengar sedikit percakapan yang berat dan penuh dengan amarah antara Papa dan Kak Elang.
Kalimat terakhir yang ku dengar dari Papa untuk Kak Elang, "Jangan lagi kamu kembali kerumah ini. Jangan lagi kau bilang aku ini Bapakmu!"
Dan akupun menjadi takut.
Ditambah lagi sepanjang perjalanan menuju sekolah aku melihat ada api melahap mobil dan banyak bangunan serta toko tutup dan hancur. Sungguh sangat sepi mencekam. Mama pun tampak tegang saat menyetir mobilnya.
"Ma, aku takut." Kataku.
Mama hanya menatapku sedikit. "Gilang, kita pulang aja ya?"
Tak lama Mama membelokan setirnya menuju jalan pulang dan hari itu aku tidak pergi ke sekolah. Mama juga tidak marah.
Ketika aku sampai dirumah Papa dan Kak Elang ternyata sudah pergi. Entah mengapa aku berharap Kak Elang kembali lagi hari itu dan tidak pergi kuliah. Aku takut dan aku rindu dia. Tapi aku tidak berkata apa-apa.
Aku cuma menangis tanpa suara dan tertidur didalam kamarku dan bermimpi tentang suara pistol yang sayup sayup terdengar ditelingaku.
Suara pistol dalam mimpiku sangat jauh, menyeramkan, dan sangat nyata. Dalam mimpiku aku takut sekali namun semuanya menjadi hitam dan aku terbangun. Aku lega itu hanya mimpi.
Ketika aku terbangun, hari sudah cukup sore dan kulihat Mama sedang duduk di depan TV. Kulihat ia tidak menontonnya, namun ia hanya menunduk dan menangis memandangi foto Kak Elang.
Aku mendekatinya. Aku takut sekali dan rasanya tidak ingin mendengar apapun. Aku memeluk Mama erat erat dan ia balas memelukku.
Aku tidak pernah bertemu Kak Elang lagi semenjak pagi yang tegang itu. Terakhir kulihat hanya namanya yang ada di kayu nisan yang tertancap ke tanah dan semua orang berdiri berkeliling dengan baju warna hitam. Menurutku itu adalah hari yang berat untuk Papa ataupun Mama.
Sekarang usiaku sudah 21 tahun. Aku tahu persis apa yang terjadi pada kakakku, Elang. Ia meninggal ditembak aparat saat itu, saat dia menjadi mahasiswa dan membawa revolusi untuk Indonesia. Sehingga sampai dewasa ini dalam hatiku jadi tertambat rasa hormat yang besar pada kakak ku yang telah menjadi pahlawan. Bukan hanya untukku, tapi untuk semua masyarakat Indonesia.
Aku jadi ingat pagi terakhir aku melihat Kak Elang duduk didepanku, wajahnya yang tampan itu kelelahan namun tetap penuh semangat. Saat itu aku masih kelas 1 Sekolah Dasar. Aku ingat tepat di belakang Kak Elang ada sebuah kalender tertempel di dinding. Hari itu hari Selasa, tanggal 12 Mei tahun 1998.
Jakarta 2011
This is not a true story but inspired by true event.
This is not a true story but inspired by true event.
SABIIIIIIIIIIIIII
ReplyDelete