22.2.11

Perut

Aku tinggal di negara ini sejak aku lahir.
Ayah-Ibuku pun warga negara resmi republik ini.
Aku memijak kaki di negeri mantan-makmur ini.

KRISIS MULTIDIMENSI.

Apa yang ada di kepalamu saat ini?
Ini jaman sudah krisis.
Aku hidup di zaman krisis.
Rezim krisis.
Segala hal krisis.
Kepercayaan. Moral. Kejujuran.
Moneter. Politik. Intervensi.

Pada zamanku, negara sudah tidak lagi hijau.
Padahal kata Ibuku dulu, negara memiliki apapun yang aku inginkan.

Pada zamanku, negara ini melindungi koruptor dan menjebloskan yang tidak bersalah.
Dulu, kata Ayahku, sedikit saja kita berbuat kesalahan, kita bisa dipenggal.

Aku hidup dimana orang-orang semuanya hanya bekerja dengan mulut dan perut.
Diantara orang orang yang picik, buaya dan serigala. Sedikit saja kita melangkah, kita akan salah.

Aku hidup dimana matahari begitu panas namun masih banyak orang berseru ditengah jalan mempertanyakan keadilan.
Diantara keringat itu, masih saja diharapkan tonggak-tonggak kejujuran.

Aku hidup dimana orang yang benar akan mati dan orang yang salah akan menempatinya.
Dimana neraka masih terasa jauh lebih sejuk daripada disini.

Aku juga hidup dimana zaman itu disebut globalisasi. Artinya pengglobalan, penduniaan sehingga batas-batas negara satu dengan yang lain hilang.
Namun entah mengapa, kami justru diisolasi dengan alasan palsu untuk urusan perut orang-orang penting.

Ketika aku berjalan, kulihat begitu banyak teriakan minta tolong,
Sabda-sabda minta tolong dan lolongan panjang mohon kehidupan dan kelayakan.

Ketika aku berlari, bukan angin segar menerpaku, melainkan debu-debu racun mengotori seluruh wajahku.

Ketika aku melihat hujan, dimana-mana tergenang air mata meminta pembebasan. Seakan-akan parit-parit dipinggir jalan sama sekali tidak cukup untuk membantu.

Aku disuruh bersyukur oleh petinggi, namun mereka mengambil seluruh harta milikku
dan mengambilnya untuk mereka kumpulkan kembali dalam buli-buli mereka.

Aku melihat segalanya dalam bentuk kotak. Sama.
Aku melihat pembelaan hanya terjadi dalam pihak yang berperut besar.
Aku menilai segala hal tak lagi wajar.

Bibirku melontarkan syair Ibu Pertiwi.
...Kini Ibu sedang lara
merintih dan berdoa...

Mereka duduk di kursi yang empuk.
Di beri kepercayaan.
Kepercayaan yang dibeli dan diberikan secara paksa.
Hanya karena budaya kita yang 'tak enak hati'.

Sekarang, mereka mengambil keputusan untuk perut mereka.
Mengahalangi kita untuk lebih maju.
Mengambil resiko untuk membuat masalah baru.
Kemudian masalah baru digunakan untuk menutupi masalah yang sedang membengkak.

KLIMAKS.

Semuanya berjalan sama.
Semuanya bobrok dan perlu dibuat ulang.
semuanya dilakukan untuk sebatas memenuhi kelebihan perut.

Untuk perut yang lebih besar, lebih besar, bengkak dan terbang.
Perut itu memakan jiwa.
Korban jiwa yang lebih besar dari pada bencana alam.

Perut itu dibungkus jas,
dililit dasi, masuk keperaduan dalam mobil yang ber AC dingin


Entah sampai kapan pemilik perut itu terus mengisi pundi-pundinya.
Dan akhirnya hancur dalam bentuk darah dan muntahan.
Keadilan yang marah sekarang.



Jakarta

No comments:

Post a Comment