"Di dunia ini ada tiga jenis orang yang menyakiti kamu," Katanya bijak.
"Yang pertama adalah orang yang tidak sempat kamu miliki." Lanjut Arlina.
Gendis mengusap perlahan paras cantiknya dengan selembar tissue.
"Kamu masih inget Devino? Cinta pertama kamu waktu SMP dulu?" Tanya Arlina.
Gendis menatap Arlina dengan nanar namun kemudian ia mengangguk.
Devino adalah cinta pertamanya yang kebetulan adalah kakak kelasnya. Waktu itu Gendis merupakan murid kelas 1 dan Devino kelas 3 SMP.
Devino adalah kapten tim basket, berperawakan tinggi kurus, namun dari raut wajahnya ada semangat juang yang tinggi. Ia sangat gigih dan itu membuat Gendis sebagai adik kelas jatuh cinta setengah mati.
Gendis tidak pernah mengatakan cintanya sama sekali pada Devino, ia tidak punya keberanian. Oh, bukan keberanian nampaknya. Tapi memang tidak adanya kesempatan.
Laki-laki itu sama sekali tidak mengenal Gendis, boro-boro rasa suka Gendis terbalas, bahkan menengok Gendis saja tidak pernah terjadi. Devino adalah kapten basket yang eksis dan berbanding terbalik dengan Gendis yang murid biasa. Apalagi waktu SMP dulu Gendis tidak masuk kategori 'gadis cantik'.
Hari demi hari dilewati Gendis dengan menatap Devino dari kejauhan. Atau ketika Devino sedang main basket di lapangan Gendis diam-diam mengamatinya dan setiap tembakan yang laki-laki itu arahkan ke ring basket, ia mendoakannya dengan tulus.
Sampai kemudian Devino memilih Mela si Ketua OSIS cantik dan eksis menjadi kekasihnya.
Gendis pun terluka karena hal itu dan ia menangis.
Apa salah Gendis? Mengapa ia harus menangis untuk orang yang bahkan tak sadar kehadirannya di dunia ini?
"Devino hadir, mengisi hari-hari kamu untuk satu hal, Gendis.
Ia ada di sini, di hati kamu, tapi ia hanya hadir supaya kamu belajar lebih dewasa bahwa gak semua hal gak bisa kamu miliki.
Memori-memori yang gak pernah ada itu pada akhirnya cuma jadi mimpi yang kemudian gampang aja untuk kamu lupain." Ujar Arlina dengan bijaksana.
Seiring berjalannya waktu, setelah Gendis melupakan Devino, ia tumbuh menjadi gadis manis dan menyenangkan, banyak orang yang menyukai Gendis karena ia baik hati dan ramah. Sampai akhirnya ketika Satria hadir dalam hidupnya dengan menjadi kekasihnya.
"Orang kedua yang membuat kamu menangis selanjutnya adalah orang yang pernah kamu miliki," Kata Arlina.
"Satria," Gumam Gendis.
Gendis akhirnya memiliki kekasih ketika duduk di bangku SMU kelas 1. Saat itu Satria duduk di kelas 2 IPA 1. Satria bukan tipikal anak eksis, namun ia cerdas. Satria bahkan menjuarai Olimpiade Sains - Fisika se-Nasional.
Waktu itu Gendis sedang kesusahan mengerjakan soal Fisika di perpustakaan dengan bantuan salah satu buku koleksi perpustakaan. Kebetulan saat itu Satria juga membutuhkan buku itu. Karena koleksinya hanya ada satu, terpaksa mereka berbagi saat itu juga.
Melihat Gendis kesusahan mengerjakan soal, akhirnya Satria terpaksa mengajari Gendis sampai mengerti.
Sejak saat itu hampir setiap hari mereka bertemu di perpustakaan yang kemudian timbul cinta di antara mereka.
Satria-pun akhirnya mengatakan cinta pada Gendis, bahkan di perpustakaan pula lah Gendis mendapat ciuman pertamanya yang belakangan ia ketahui itu juga merupakan ciuman pertama Satria.
Setahun kemudian Satria lulus dari SMU dan melanjutkan studinya di Jerman. Disitulah kisah cinta mereka berakhir.
Dengan berat hati Gendis harus merelakan Satria untuk pergi sementara dari negara ini namun selamanya dari hatinya.
Gendis-pun menangis karena cinta untuk kedua kalinya.
"Kamu harusnya berterimakasih karena Satria pernah hadir dalam hidup kamu.
Sakit memang untuk menerima kenyataan perpisahan dan kemudian mengubah kebiasaan kamu menjadi tanpa Satria.
Tapi, rasanya tidak terlalu sakit lagi karena kenangan-kenangan itu semua akan berakhir manis karena Satria juga mengingat adanya memori diantara kalian.
Ini adalah kesempatan kamu belajar bahwa apa yang kamu miliki itu tidak akan bertahan selamanya." Ujar Arlina sambil menarik rambut rambut nakal gadis dihadapannya dan menyelipkan di belakang telinga Gendis.
"Dan yang paling pedih adalah yang ketiga; orang yang hampir kamu miliki, Dis." Kata Arlina pelan dengan air muka yang kemudian berubah menjadi sendu.
Kalimatnya yang terakhir tidak di tujukan untuk Gendis, tapi untuk dirinya sendiri.
"Orang ketiga itu... Aryo?" Tanya Gendis pada Arlina.
Aryo adalah sahabatnya yang sangat ia cintai. Aryo mungkin sadar akan hal itu, atau mungkin Arlina pernah bilang padanya. Hal itu tidak penting.
Begitu banyak memori tentang Aryo dalam ingatannya. Tawa dan canda, tangis dan lara. Beberapa memori memang Arlina dan Aryo susun bersama, tapi sisanya adalah imanjinasi yang ia kembangkan sendiri dalam hati dan pikirannya.
Ia mencintai Aryo, sebagai sahabat dan juga sebagai kekasih.
Tapi kemudian Aryo pergi, begitu saja. Tidak ingin mengenal Arlina lagi, mungkin melupakan Arlina yang beberapa kali menyusun memori bersama atau mungkin membencinya.
Tanpa Arlina sama sekali tahu apakah Aryo juga mencintainya. Tidak ada yang tahu. Hanya hati yang tahu.
"Orang ketiga, orang yang membuatmu menangis adalah orang yang hampir kamu miliki, Dis." Kata Arlina pelan sekali.
"Bukan aku, tapi kamu." Ralat Gendis.
"Apa bedanya?" Tanya Arlina dengan gemertak di giginya, dengan berlinangan air mata.
Gendis memeluk Arlina, yang merupakan dirinya sendiri, dengan pilu dan resah.
Gadis yang menangis itu bernama Arlina Gendis Larasati. Ia dipanggil Gendis namun kadang dipanggil Arlina oleh beberapa orang, khususnya Aryo.
"Jenis orang yang ketiga yang membuatmu menangis adalah orang yang hampir kamu miliki.
Rasanya pedih karena apa yang kamu rasakan itu nyata, namun bagi orang itu hanya sekedar mimpi atau mungkin sama sekali tidak pernah terjadi.
Tapi di hati ini, rasa itu tetap hidup dan mungkin tumbuh.
Tidak ada yang pernah tahu untuk apa cinta ini ada.
Tapi tumbuh dan terus tumbuh."
Jakarta, Januari 2013
True Event
Cerpen ini didedikasikan untuk orang jenis ketiga dalam hidup saya,
orang yang tidak pernah bisa saya lupakan sama sekali.
No comments:
Post a Comment