30.8.15

Sinodis

Cahaya bulan tampak luas dan jauh Sabtu malam itu. Bulan berada di fase oposisi dan kini tepat tergantung di atas Ardy dan Laras yang tengah asyik duduk berdua di atap rumah Ardy.

Mereka tenggelam sendiri dalam pikiran mereka masing-masing. Ardy sebenarnya tengah menahan rasa sakit di kepala sebelah kanan depan. Entah apa yang terjadi pada anak laki-laki itu. Sementara Laras tengah tersesat dalam pikirannya sendiri. Tak lama Laras memperhatikan Ardy, ada yang tidak beres dengan anak itu.

"Sini ku pijat," Laras menawari Ardy. Ardy tidak menolak sama sekali melainkan menghadap ke belakang, membelakangi Laras dan membiarkan gadis itu memijat kening serta bahunya. Laras tidak mengatakan apa-apa, namun ia berharap bahwa Ardy akan merasa lebih baik.

"Aku ini kenapa ya, kok pusing di kanan depan terus di sepanjang ini?!" tanya Ardy sambil menunjuk sepanjang atas telinga kanan hingga kening depannya. Sebenarnya bukan suatu pertanyaan yang wajib Laras jawab. Laras pun hanya diam namun tangannya memijat area yang ditunjukkan Ardy. Laras sesungguhnya merasa sangat khawatir.

"Tidak tahu ya?" tanya Ardy lagi. Laras hanya menggeleng. Gadis itu berusaha menjawab dengan diplomatis.

"Barangkali kurang tidur, kurang minum air putih atau telalu banyak MSG," jawab Laras. Tak lama ia berhenti memijat kening Ardy dan mereka kembali duduk bersebelahan.

Memang Ardy sering kali tidur menjelang pagi. Pekerjaan Ardy sangatlah banyak. Meski Ardy begitu menyukai pekerjaannya, akan tetapi Ardy juga perlu istirahat yang wajar. Belum lagi kebiasaan merokok Ardy, ditambah anak laki-laki itu kurang disiplin meminum air putih. Satu lagi, Ardy sering juga makan makanan yang mengandung monosodium glutamat. Lengkap sudah alasan mengapa ia mudah sekali merasa pusing.

Ardy dan Laras diam dalam keheningan. Perasaan kalut Laras sebenarnya tak bisa gadis itu tutupi. Gadis berambut pendek itu selalu benci tiap kali ia menemukan Ardy sakit. Bukannya Ardy tak boleh sakit, tapi siapa juga yang suka melihat orang yang dikasihinya sakit.

"Sini, genggam tanganku," pinta Laras yang kemudian Ardy menurutinya. Ardy memberikan tangan kanannya untuk digenggam Laras.
"Katanya kalau berpegangan tangan, bisa menularkan kebahagiaan," lanjut Laras. Ardy berusaha mempercayainya. Mereka berdua berusaha untuk mempercayai semua hal yang positif di dunia ini.

Lama sekali mereka terhanyut dalam diam dengan tangan yang terkait. Ada satu rasa yang tidak pernah dimengerti baik Ardy maupun Laras. Meski Laras maupun Ardy bukan seorang dokter atau tabib yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Akan tetapi, masing-masing dari mereka punya kekuatan luar biasa yang tidak dimiliki orang lain.

Kekuatan berasal dari menerima semua hal yang baik untuk dipercayai. Tidak perlu fundamental yang khusus, selama terasa benar dan baik semuanya sangat mungkin dijalani.

Malam ini tak ada bintang, melainkan hanya bulan yang bersinar dan tampak kesepian. Bulan diam-diam iri pada mereka berdua, namun ia juga tersenyum karena ia tahu, sekecil dan sesederhana apapun manusia, mereka bisa memiliki kekuatan yang lebih besar dari semesta. Angin meniup awan untuk menutupi bulan yang merasa biru, supaya bulan tidak merasa terlalu pedih. Angin selalu mencintai bulan tanpa bulan sadari.

Sementara bulan tertutup awan dan mulai mengantuk, ia kini tak lagi melihat Laras dan Ardy yang tengah duduk berdua di sana. Namun sayup-sayup bulan mendengar suara Laras yang paling lembut dan tulus. Perasaan luar biasa dari gadis biasa.

"Ardy itu kebahagiaan yang aku tidak pernah mengerti," kata Laras. Sementara bulan di atas sana mulai terlelap.

Jakarta, Agustus 2015

No comments:

Post a Comment