31.5.14

Cerita Tentang Kesembuhan Bruce Haughton

Saya memiliki intensi, jika saya pergi ke Britania Raya, hal pertama yang harus saya lakukan adalah pergi mengunjungi museum-museum yang ada di sana. Karena secara sederhana, museum adalah rangkuman kecil dari sebuah sejarah besar sebuah bangsa.

"London has done it right, they've made their many museums completely accessible to everyone." Begitulah pendapat Bruce saat saya tanyakan perihal bagaimana museum-museum di Inggris.

Museum-museum di London kebanyakan 'free policy', tujuannya adalah membiarkan para wisatawan menikmati dan menghargai harta karun sejarah yang ada. Terutama jika hanya sekedar berpelesiran; mampirlah ke museum-museum disana. Tidak harus melihat seluruh isi museum, tetapi berhenti di beberapa tempat yang menarik dan nikmati. Beberapa museum yang selayaknya dikunjungi adalah Natural History Museum, Science Museum, Imperial War Museum, Victoria and Albert Museum dan British Museum.

Berikutnya adalah, saya penasaran perihal gaya hidup orang-orang di Inggris. Ketika saya tanyakan pada Bruce, ia tidak berkata banyak. "You aren't going to live here, are you? Britons are quite radical to immigrants, like me, like you." Tukasnya.

Kemudian kami tidak banyak membahas tentang gaya hidup melainkan mengganti topik dan membicarakan perihal hipster di London atau rata-rata hipster di Inggris. "Mereka menggunakan kacamata, tapi bukan karena ada alasan medis. Mereka asal menggunakannya. Mungkin supaya terkesan smart tau apalah." Katanya sambil tertawa, yang ku perhatikan wajahnya kian memucat daripada kemarin saat kami bertatap wajah.

"Lalu mereka mengendarai sepeda sirkus yang aneh dan parkir di depan apple store. Atau kadang kau tidak bisa membedakan mana yang hipster, mana yang betulan homeless man."

Lalu Bruce yang saya kira sekarang jauh lebih radikal terhadap para hipster London itu melanjutkan lagi, "Mereka membawa vinyl kemana-mana. Demi Tuhan!" Serunya dengan tawanya yang tidak bisa berhenti. "Tapi, jika kau melihat itu semua, kau akan masa bodoh sih. Cuma kadang, lucu saja kalau melihat mereka. Tidak ada maksud apapun." Lanjutnya.

"Eh, kau suka teh kan?" Tanyanya tiba-tiba.

"Iya, saya pencinta teh. Lebih cinta daripada mereka yang suka kopi." Jawab saya.

Bruce bilang kalau di Inggris adalah surganya teh, konsumsi teh orang Inggris sangat gila. Mereka bisa minum teh sampai dengan tiga kali sehari, dan semua orang minum teh supaya mirip dengan sang Ratu. Tapi, saya juga melakukan demikian. Saya banyak sekali minum teh dalam sehari. Saya kira, Inggris juga destinasi favorit saya untuk minum teh dan membaca buku.

"Omong-omong, kemarin saya sempat ke Brick Lane." Ceritanya.

Brick Lane terdapat di London, ketika orang pergi kesana, tempatnya cenderung bising namun berwarna dan disitulah kehidupan. Mungkin, jika Brick Lane adalah seorang artis, tempat itu analogikan M.I.A, seorang penyanyi Inggris keturunan India.

Pada dasarnya, Brick Lane sangat dinamis. Tempat yang kental dengan budaya sekaligus modernitas masyarakat Bengali. Ada banyak sekali resto India sekaligus supermarket dan toko kain. Semacam Passer Baru tapi di Inggis, pikir saya.

Tidak jauh dari situ ada tempat bernama Old Truman Brewery, yang tadinya tempat pembuatan bir terbesar di London sampai tahun 1989, kini telah berubah menjadi tempat klub-klub kecil dan bar. Namun, sebelah utara Brick Lane justru terdapat toko-toko elektronik, kafe dan bar yang juga menjual roti bagel yang enak.

"Tapi banyakan orang selalu melihat London dari its sumptuous edifices bahkan per meter perseginya. Saya tidak bisa menyangkal, tapi memang arsitekturnya juara, klasik, konservatif, dan sang ratu yang immortal." Celotehnya sambil tertawa lagi.

Tapi memang pergi ke London yang menjadi intensi saya ialah masuk ke gedung-gedung mewah nan bersejarah di tengah London. Melewati tempat yang pernah di jejaki oleh Putri Diana yang anggun, cantik, jujur dan sederhana bahkan dengan rambutnya yang pendek.

Jika masuk ke gedung parlemen, jam Big Ben, kepala kita tidak akan ada pegal-pegalnya menengok ke atas, melihat plafon yang megah. Kemudian jika pergi ke Westminster Abbey, tempat paling religius di Inggris, rasanya pastilah sangat khusuk. Saya jadi membayangkan Royal Wedding pasangan Kate dan William beberapa waktu yang lalu.

Kemudian keinginan saya yang selanjutnya adalah naik bianglala di London Eye. Membayangkan melihat seluruh kota London dari ketinggian 135 meter. Apakah nantinya jantung saya akan lepas lalu jatuh?! Saya akan mencari tahu seperti apa.

"Saya kira dinamakan London Eye karena saat kita ada disana, kita bisa melihat seluruh kota. Tapi waktu terbaik untuk menaikinya adalah sore hari. Tapi, sore hari para turis juga naik itu. Sehingga kau akan berebutan." Pikir Bruce yang kemudian ia tersenyum.

"Tapi kau tahu, kalau kau pergi ke Inggris, kau akan mengira semua orang Inggris adalah fans Manchester United. Mereka sangat fanatik." Ujar Bruce.

"Tapi kalau ada kesempatan untuk main-main ke Old Trafford saya kira, saya tidak keberatan." Sahut saya.

Bruce hanya mengerutkan keningnya, "Tapi itu sangat jauh dari Cambridgeshire." Kemudian ia melirik jam di tangan kirinya dan menyesap tehnya.

"Oke, saya rasa saya harus pergi ke Dokter sekarang." Pamit Bruce.

"Ke Dokter? Kau sakit?" Tanya saya.

"Entahlah, tapi saya merasa kurang sehat di tambah ada benjolan aneh di dekat leher saya." Jawabnya sambil menunjukan bencolan yang tidak terlihat jelas dari layar monitor saya. Mendadak saya langsung merasa khawatir.

"Tapi kan kau sudah kemo waktu itu," Sahutku. Ia hanya mengangkat bahu. Saya menatapnya dengan iba.

Bruce Haughton, teman bicara saya sekarang, sebetulnya seorang imigran asal Afrika Selatan yang mungkin kini masih menetap di Fulbourne, Cambridgeshire, Inggris. Tidak melulu yang dari Afrika berkulit hitam rupanya, ia justru berkulit putih, kaukasia pada umumnya. Saya mengenal laki-laki malang yang menderita dyslexia ini beberapa waktu yang lalu melalui milis di dunia maya karena kami memiliki ketertarikan pada fotografi analog.

Sebenarnya, tidak penting bagaimana kami bertemu, karena toh, kami tidak saling jatuh cinta satu sama lain. Lain ceritanya kalau kami berdua saling jatuh cinta, mungkin saya akan menghafal kronologi pertemuan kami. Tapi, Bruce selalu dengan senang hati menceritakan banyak hal yang membuat saya selalu ingin pergi ke Inggris.

Saya lebih tertarik dengan kehidupan Bruce daripada menceritakan bagaimana saya berkomunikasi dan bagaimana saya memaklumi pembicaraan kami, karena dia menderita dyslexia. Tapi bukan itu yang ingin saya kemukakan disini, melainkan bagaimana Bruce kadang-kadang menceritakan pada saya pengalaman yang kemudian membuat saya bersyukur bahwa saya dilahirkan dengan segala kesehatan dan kelengkapan tanpa cacat sedikitpun.

Bruce Haughton dilahirkan di Cape Town, Afrika Selatan, 21 November 1985. Anak pertama dan satu-satunya dari pasangan Mr. dan Mrs. Haughton. Ia sangat kurus. Tingginya 6 kaki 7 inchi dengan berat badan hanya 60 kilogram. Semenjak kecil, memang orangtua Bruce sudah sadar akan ketidaknormalan pada anaknya. Hingga usia tujuh tahun pun, Bruce belum juga bisa membaca dan mau tidak mau orangtuanya membawa Bruce mengikuti terapi untuk orang-orang dyslexia.

Pada usia sembilan tahun, Bruce mengalami gangguan kelenjar getah bening dan didiagnosa kanker stadium awal. Beruntung, penyakit Bruce yang satu ini terdeteksi sejak dini. Hanya sayangnya, karena penyakit Bruce ini, ia harus menghentikan terapi dyslexia demi pengobatan kemoterapi yang ia jalani selama satu tahun. Yang kemudian membuat kepalanya botak, yang menjadikan kepalanya yang botak itu adalah ciri khasnya hingga sekarang.

Selama setahun pengobatan kemoterapi ringan, ia selalu menyempatkan diri untuk membaca buku, meskipun ia sangat kesulitan, sehingga ia berusaha sekeras mungkin untuk membaca setiap harinya meskipun semua kata dan kalimat ia pahami secara terbalik.  Baginya, menyelesaikan satu buku cerita yang dapat ia pahami dengan baik merupakan suatu kebahagiaan tersendiri.

Lalu, disela-sela sakitnya, Mr. Haughton memberikan hadiah kepada anaknya kamera tua yang dulu ia gunakan. Dari situlah ia mulai menyukai fotografi analog.
Setelah pengobatannya selesai, akhirnya pada umur sebelas tahun, ia boleh masuk ke sekolah khusus orang-orang yang menderita dyslexia.

Setelah lulus, ia langsung mencari pekerjaan. Bruce tidak mampu melanjutkan pendidikan ke bangku Universitas pada waktu itu, pasalnya, ekonomi keluarganya sedang memburuk. Sampai akhirnya pada tahun 2000, ia dan keluarganya mendapatkan kesempatan untuk hijrah ke London, sebab Mr. Haughton sebenarnya berkewarganegaraan Inggris dan kebetulan mendapat panggilan pekerjaan sebagai supir bus yang kelihatannya lebih sejahtera.

Di London, Bruce tinggal di apartemen mungil satu kamar yang kumuh bersama kedua orangtuanya. Ia dan keluarganya ditipu sana-sini pada awal ia tinggal di London karena mereka terlalu lugu dan uang mereka habis sebab standar hidup di London sangat berbeda daripada waktu mereka di Cape Town.  Bruce mengingatkan saya pada kisah George Orwell di bukunya Down and Out In Paris and London.

Seiring berjalannya waktu, akhirnya Bruce dan ibunya mendapatkan pekerjaan sebagai tukang bersih-bersih bus kota, di perusahaan yang sama dengan tempat dimana ayahnya bekerja, yang menggaji 200 poundsterling perminggu dengan jam kerja dari pukul tujuh malam hingga tiga pagi. Begitu terus setiap hari.

Keluarga Mr. Haughton sama-sama mengumpulkan uang dengan susah payah. Sedikit demi sedikit mereka bekerja sama mengumpulkan uang untuk peningkatan taraf hidup mereka, dan sekarang Bruce dan keluarganya berhasil memiliki rumah mungil yang lebih bersih dan tenang di Fulbourne, Cambridgeshire. Bruce pun sudah tidak bekerja menjadi tukang bersih-bersih bus lagi melainkan sekarang ia bekerja di perusahaan ritel makanan dan minuman di Cambridgeshire.

Bruce sendiri pernah menceritakan kehidupannya tanpa malu-malu bahkan penuh dengan tawa seakan kehidupan pahitnya adalah cerita lucu yang tidak seharusnya diratapi. Dia adalah laki-laki yang sangat tegar dan menyayangi keluarganya.

"Baiklah, jaga dirimu baik-baik. Semoga kalau kau bisa pergi ke Inggris kita bisa bertemu. Tapi, kalaupun tidak, nikmatilah perjalananmu." Pesan Bruce.

"Amin."

"Oke, see ya!"

Bruce Haughton is offline.

Itu terakhir kalinya saya mengobrol dengan Bruce, kira-kira dua tahun yang lalu. Tiba-tiba dia menghilang saja di telan bumi, tanpa kabar, tanpa suara. Tidak ada yang tahu Bruce ada dimana, tidak ada kabar apapun bahkan ketika saya meninggalkan e-mail dan pesan untuknya. Tapi saya terus berharap, dia akan terus baik-baik saja.

Mungkin, salah satu intensi saya yang terakhir untuk pergi ke Inggris adalah menemukan Bruce Haughton dan menceritakan kepada dunia perihal kesembuhannya.

Selesai.


Jakarta, Akhir Mei 2014
R.I.P Bruce Haughton, this story is dedicated to you
*Dengan perubahan seperlunya



No comments:

Post a Comment