Di temani lagu dari musisi muda asal Inggris, Tom Misch yang dengan lembut mengalun dari pemutar musik miniku. Benar-benar liburan yang lembut, menyenangkan dan sejuk. Menikmati semilir angin bulan Mei dan melihat matahari yang hendak terlelap dan menemukan diriku tengah mengayuh sepeda dengan perlahan, sudah lama aku tidak melihat pemandangan sederhana seperti ini. Di hari-hari biasa, pada waktu yang sama, aku hanya bisa menemukan diriku terjebak dalam kemacetan lalulintas atau sedang menanti di sebuah kedai serta minum teh hangat tak lupa membaca novel guna melepas penat dari hiruk pikuk kuliah dan rutinitas lain.
Senang rasanya sekarang justru aku sedang dalam perjalanan ke rumah Tracy. Bukannya aku tidak sopan memanggil perempuan tua itu dengan namanya, beliau sendiri yang memintaku memanggilnya langsung dengan namanya, Ibuku pernah membahas mengenai hal ini, dan aku kemudian memanggil Tracy dengan sebutan "Granny Tracy" atau "Oma Tracy" kemudian ia malah mengomel di depan aku dan Ibuku. Ia merasa seperti tua bangka yang manja jika di panggil demikian.
Ia bukan memang bukan nenekku, namun ibuku selalu menganggap Tracy, yang juga ibu baptisnya, sebagai Ibu kedua. Apalagi selepas kakek dan nenekku meninggal waktu ibuku masih berusia remaja, hanya Tracy lah tempat Ibuku berbagi. Tujuanku sekarang menuju ke rumah perempuan anggun yang suka sekali minum teh Earl Grey dan makan keripik kentang adalah mengantarkan kembali beberapa buku yang di pinjam oleh ibuku serta sekedar bersilaturahmi, karena aku sudah cukup lama tidak bertemu dengannya.
Ah, iya! Omong-omong keripik kentang, aku jadi ingin makan keripik kentang sekaligus membawakan untuk Tracy juga. Aku memutuskan untuk membelokkan sepedaku ke arah kiri diujung pematang sawah, aku tahu tidak jauh dari sini ada pemukiman penduduk yang memiki akses cepat menuju jalan besar, dari jalan besar itu bisa ditemui minimarket yang menjual snack kesukaanku, Mr. Potato.
Dengan cepat dan segera aku mengayuh sepedaku menemukan minimarket itu. Kurang dari 10 menit aku sudah sampai tepat di depan minimarket tersebut dan memarkir sepedaku. Dengan segera aku menuju kebagian makanan ringan dan mengambil dua bungkus Mr. Potato rasa tomat dan original dan Smax Ring. Aku takut kehabisan, walaupun aku sudah tahu minimarket itu memiliki banyak sekali stock makanan ringan kesukaanku yang satu ini.
Setelah membayar, aku melanjutkan perjalananku kembali ke rumah Tracy. Perjalanan ke rumah Tracy pun ku tempuh dalam waktu kurang dari 20 menit.
Rumah Tracy tidak memiliki pagar jadi aku dapat masuk langsung ke pekarangan rumahnya yang mungil namun asri dan memang seluruh rumah di pedesaan seperti ini tidak memiliki pagar, sekalipun ada, pagar mereka hanya terbuat dari kayu-kayu yang tidak tinggi atau dari tanaman perdu.
Pekarangan rumah Tracy seperti biasa penuh dengan tumbuh-tumbuhan dan bunga-bunga. Tracy suka sekali berkebun, aku tahu. Tapi ku perhatikan sekarang halaman rumahnya juga banyak ditumbuhi tanaman liar juga, mungkin karena Tracy sekarang semakin tua dan sendirian, jadi banyak tanaman yang tidak bisa ia jamah. Untungnya, bunga-bunga poppy merah dan oranye tepat di depan terasnya itu tetap terawat. Aku sangat suka sekali dengan bunga-bunga.
Kemudian aku meletakkan sepedaku, melepas headset yang terpasang di telingaku dan mengantunginya selanjutnya melepaskan pengait dari karet di jok belakang dan membawa buku-buku serta makanan ringan kesukaanku memasuki teras rumah Tracy. Kemudian aku menekan bel dan menanti Tracy membukakan pintu sambil melihat-lihat deretan bunga-bunga poppy tertanam rapi di pot. Ia memang tinggal sendirian. Tracy tidak pernah menikah, tapi dulu sekali ia pernah bertunangan dengan seseorang waktu ia tinggal di Inggris, kemudian ia memiliki seorang anak, usianya lebih tua dari ibuku. Yang kuketahui hanyalah namanya Jonathan. Aku memanggilnya Om Jon.
Aku pernah bertemu sekali dengan Om Jon, dari segi perawakan ia tinggi dan wajahnya kaukasian, mungkin itu karena ayahnya yang orang Inggris. Sedangkan dari segi sifat, dia seorang yang keras dan tidak banyak bicara. Atau mungkin memang Om Jon tidak menyukaiku atau ibuku makanya beliau bersikap demikian. Atau mungkin pula memang sifat om Jon seperti itu. Tapi Om Jon tidak tinggal bersama Tracy disini. Ia tinggal di Jakarta.
"Maaf, Mbak cari siapa ya?" Suara laki-laki itu membuyarkan lamunanku. Aku menengok dan mendapati seorang laki-laki yang mengenakan kaus hitam dengan wajah Thom Yorke, vokalis Radiohead, yang mengambil alih perhatianku. Ia nampak lebih tua beberapa tahun dariku. Wajahnya agak mirip dengan Om Jon, hanya saja lebih pribumi.
"Uh, Tracy ada?" Tanyaku agak gugup. Ia menyerngitkan dahinya bingung.
"Satu-satunya nama Tracy disini adalah perempuan yang sudah berumur, Mbak. Mungkin mbak cari Tracy yang lain." Jawabnya.
"Oh, enggak mas. Saya memang mencari Tracy yang itu. Uh, Granny Tracy maksudnya." Kataku meralat omonganku. Aku tahu, kebanyakan orang pasti menilai aku tidak sopan bila aku memanggil langsung hanya namanya.
"Oma ada sih, tapi beliau lagi mau istirahat tuh. Gak bisa di ganggu." Jawabnya dengan nada yang hampir datar. Sama sekali tidak ramah. Jangan bilang laki-laki angkuh ini adalah anak Om Jon.
"Boleh saya bertemu sebentar?" Pintaku.
Laki-laki ini hanya menggeleng. "Beliau lagi mau istirahat." Jawabnya lagi dengan tegas.
Aku hanya bisa menunduk kecewa kemudian mengulurkan kepada laki-laki ini buku dan makanan ringan yang kubawa.
"Kalau begitu, saya titip ini untuk beliau. Bilang, salam dari Ibu Listya. Terima kasih." Tukasku. Ia menerima pemberianku dengan bingung namun tidak berkata apa-apa.
"Kalau begitu permisi." Pamitku, akupun hendak pergi. Ketika kudengar suara daun pintu yang separuh tertutup itu kemudian terbuka.
"Siapa yang datang itu, Andrew?" Tanya suara lembut yang sudah ku kenal dengan akrab. Itu Tracy, yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.
"TRACY!" Seruku. Tracy menatapku dengan bingung pada awalnya, kemudian ia mengenaliku. Aku langsung memeluknya, seperti biasanya, Tracy selalu wangi jasmine. Sedangkan kami membiarkan laki-laki yang di panggil Andrew oleh Tracy itu kebingungan.
"Rosiedarling." Seru Tracy yang selalu memanggil namaku begitu, padahal namaku tidak ada sangkut pautnya dengan bunga mawar. Aku tidak pernah mengerti mengapa ia memberiku julukan aneh tapi manis itu. Namun dengan senang hati aku rindu di panggil demikian oleh nenek yang satu ini.
"Kau sudah lama sekali tidak kesini. Kau sekarang sudah kuliah kan?! Aku rindu sekali padamu." Katanya.
"Aku juga rindu sekali padamu, Tracy." Jawabku.
"Baiklah, ayo kita masuk. Aku sedang membuat Earl Grey Tea seperti biasa." Ajaknya untuk masuk.
Aku memasuki ruang tamu yang kebanyakan furniturnya terbuat dari kayu. Ada rak buku yang berisi buku-buku tebal koleksi Tracy, sofa yang sudah tua namun selalu empuk, lalu ada tv mungil yang menyiarkan siaran berita, dan belum berubah sejak lama lukisan, hiasan dan foto yang tergantung di dindingnya.
Tracy berjalan menuju arah dapur dengan tergopoh-gopoh dibantu tongkatnya. Ku perhatikan memang Tracy agak lebih kurus sekarang dan nampak semakin tua. Aku iba padanya. Aku mengikutinya dari belakang, dan sekilas aku merasa Andrew menatapku.
Di dapur Tracy, entah kenapa selalu tercium seperti sedang membuat kue, atau memang Tracy yang hobi pula membuat kue ini baru saja selesai membuat kue. Kulihat Tracy sedang sibuk menjerang air di dalam ketel.
"Tadi ibu menitipkan buku yang ia pinjam untuk ku kembalikan, sudah ku berikan pada laki-laki yang tadi membukakan pintu." Sahutku saat ia sedang berusaha membuka kaleng berisi earl grey tea rasa strawberry. Aku mengambil alih dan membukakan kaleng tersebut dan memberikan kaleng yang sudah terbuka padanya.
"Oh, dia cucuku. Kau sudah berkenalan?"
"Belum sih. Anaknya Om Jon?" Tanyaku.
Kulihat air dalam ketel sudah berbunyi. Aku membantu Tracy memasukkan batang-batang teh kering kedalam teapot yang bergambar Ratu Inggris yang tengah di goda oleh laki-laki bangsawan, sementara Tracy nampak menyiapkan cangkir-cangkir mungil dengan gambar yang senada. Tracy selalu menyukai tradisi minum teh sore hari seperti layaknya bangsawan inggris dan aku nampak tengah terbiasa dengan cara Tracy seperti ini. Sampai aku berpikir ingin sekali rasanya pergi ke Inggris dan mencari tahu kenapa Tracy begitu terabsorsi dengan kebudayaannya.
"Iya. Rasanya aku pernah menceritakannya padamu. Mungkin kau lupa." Katanya sambil memasukan gula-gula yang berbentuk kotak dari tempat yang besar ke tempat yang kecil untuk di letakkan bersama teh.
"Aku ingat kok. Hanya saja tidak menyangka kalau dia sangat... berbeda." Aku mencari-cari pemilihan kata yang tepat, hampir saja aku bilang ia sangat dingin, angkuh dan ketus, namun aku urungkan. Sembari aku menuang air panas dari ketel ke dalam teapot kemudian mengaduknya. Wangi earl grey mulai merasuk ke hidungku. Aku selalu suka teh jenis apapun.
"Dia memang agak angkuh kalau kau tak mengenalnya." Jelas Tracy. Aku menutup teapot itu dan meletakkannya di samping biskuit dan cangkir-cangkir yang sudah di tata Tracy.
"Aku nggak angkuh kok, Oma!" Tukas Andrew yang rupanya sejak tadi menguping pembicaraan kami.
"Terus kalau bukan angkuh, apa namanya?! Sombong?" Tanya Tracy pada cucunya itu.
"Enggak juga. Aku kan cuma melakukan tindakan preventif. Barangkali dia jahat." Belanya. Dasar keras kepala laki-laki ini.
"Rosiedarla ini punya nama, dan dia tidak jahat, kau tahu?! Nah, ayo sekarang kalian berkenalan dan bawakan nampan ini ke halaman belakang!" Perintah Tracy. Aku tersenyum kecil melihat pertengkaran antara cucu dan nenek ini.
Andrew mengulurkan tangannya padaku dengan dingin dan aku menjabatnya.
"Andrew,"
"Laras." Ucapku. Kemudian ia segera melepas tanganku tanpa menatapku sama sekali dan segera membawa nampan itu ke teras belakang.
Tracy menggelengkan kepalanya menatap perilaku cucunya itu. Aku hanya tertawa kecil kemudian kami mengikutinya ke teras belakang.
Teras belakang rumah Tracy tidak terlalu luas. Hanya ada kolam kecil, yang dulu sempat ada ikan koi disana, namun sekarang kolam itu kosong dan kering, disebelahnya terdapat ayunan kecil, tempatku dulu suka bermain dan tentunya tanaman-tanaman yang membuat teras belakang menjadi asri. Di teras belakang sendiri hanya ada dua buah kursi kayu dan coffee table kecil serta bale-bale yang juga terbuat dari kayu.
Andrew meletakan peralatan minum teh di coffee table dan kemudian hendak masuk lagi ke dalam rumah, namun Tracy menghentikannya.
"Hey, Thom Yorke. Mau kemana?" Tanya Tracy, Andrew memberikan tatapan sebal kearah kami.
Aku hanya tersenyum kemudian duduk di salah satu kursi kayu disitu dan melihat-lihat kebawah coffee table. Ada album foto disitu rupanya. Kukira aku sudah melihat seluruh album foto milik Tracy, namun yang satu ini nampaknya belum.
"Aku malas ikut perjamuan minum teh wanita, Oma."
"Kau lebih baik duduk manis di bale-bale itu dan ikut berbincang dengan kami, atau aku akan telepon ayahmu sekarang dan bilang kalau kau ada disini." Ancam Tracy. Seperti sebuah sihir, Andrew langsung saja duduk di bale-bale itu tanpa banyak bicara. Andrew yang sudah tua seperti itu tidak kebal terhadap ancaman neneknya? Mencurigakan.
Tracy langsung menuangkan teh dari teapot ke cangkir-cangkir kami dan ia memasukan krim susu cair kedalam teh untuk dirinya. Tanpa gula. Sementara aku membuka-buka album yang kupegang tadi. Rupanya berisi foto-foto sewaktu Tracy tinggal di Inggris, waktu ia masih muda dan cantik. Sementara Andrew kulihat hanya berselonjor di bale-bale sambil memainkan handphone pintarnya. Sesekali aku melihat dari ekor mataku kalau dia menatapku dengan sebal.
"Kau tahu, anak manja itu sedang melarikan diri kesini, Rosiedarling?!" Ujar Tracy. Aku mengalihkan perhatianku dari album foto kepada Tracy, kemudian melihat ke arah Andrew.
"Dia? Andrew?" Tanyaku.
"Iya. Anak itu tidak mau pergi ke Inggris untuk ambil gelar Masternya." Jelas Tracy. Aku melihat kearah Andrew yang justru berfokus pada handphonenya.
"Kok aneh?! Aku malah pengen banget ke Inggris. Untuk alasan dan maksud apapun."
"Aku kan sudah bilang kalau aku ini punya karier yang sedang bagus-bagusnya disini, konyolnya lagi, disana aku harus mengambil sekolah management sedangkan aku ini kan seorang Electrician Engineer, belum lagi aku juga punya pacar dan aku tidak mau hubungan LDR, Oma. Lagian kenapa Papa keras kepala banget sih?!" Ungkapnya. Akhirnya ia angkat bicara.
Oh, Andrew sudah punya kekasih. Diam-diam ada sebagian hatiku yang agak terluka mendengarnya.
"Kalian ini sama-sama keras kepala. Tidak aneh kalau kau sekarang tidak sesukses kakakmu yang ada di Wales."
"Selalu saja dibandingkan dengan Christabelle." Gerutunya.
"Ah, omong-omong aku jadi teringat waktu aku di Inggris." Tracy tampak menerawang jauh melihat ke angkasa. Entah apa yang di perhatikannya.
"Kau sudah lihat foto-foto dalam album itu, Rosiedarla?" Tanya Tracy padaku. Aku segera membuka kembali album di pangkuanku. Kusadari Andrew sekarang duduk tegak dan diam-diam melirik ke album foto di tanganku ini.
"Foto-fotomu waktu di Inggris." Kataku. "Kau suka sekali mengenakan topi," Lanjutku.
"Memang itu kebudayaan disana, Hillbilly!" Ejek Andrew.
"Tidak, Andrew. Aku memang suka mengenakan topi, biasanya topi dikenakan secara resmi di gunakan saat di gereja atau forum pertemuan." Ralat Tracy. "Oh, omong-omong siapa yang kau sebut Hillbilly? Sebaiknya kau jaga bicaramu." Lanjut Tracy sedikit menggertak.
"Tapi aku kan tidak bicara kasar." Bela Andrew. "Lagipula yang Hillbilly itu dia, bukan Oma." Ujar Andrew yang mengarahkan dagunya kearahku saat menyebut kata 'dia'.
Tracy menunjukkan wajah yang marah pada cucunya dan kemudian menyesap teh yang sudah ia campur krim. Aku berusaha menengahi suasana disitu. Kebetulan saat itu album foto yang kubuka menunjukan gambar Tracy yang masih muda dan seorang lelaki tampan, kukira itu adalah kakek Andrew. Mereka sedang berpelukan mesra dan di belakangnya terlihat Elizabeth Tower yang menjulang tinggi besar. Sayangnya waktu itu foto mereka masih hitam dan putih, objek foto itu tetap terlihat cantik, baik Tracy, lelaki itu ataupun jam Big Ben, hanya saja sangat klasik.
"Kukira ini kakekmu, Andrew. Dia tampan." Pujiku sambil menunjukan foto itu ke Andrew. Andrew melihat foto itu dan kemudian ia tidak menunjukan ekspresi apapun.
Tracy tiba-tiba bangkit berdiri dengan susah payah, aku segera sigap menolongnya. Rupanya ia hanya ingin pindah tempat duduk. Ia ingin duduk di bale-bale sebelah Andrew. Kemudian ia mengambil album foto itu dari tangan Andrew. Aku kemudian duduk di sisi kanan Tracy dan Andrew di sebelah kirinya.
"Apa kata dalam Bahasa Inggris favorit kalian?" Tanya Tracy pada kami berdua.
"Enchantment." Kataku.
"Dasar sok duchess. Kalau aku Prosperous ."
"Dasar serakah." Ejekku. "Kalau kau Trace?"
"Aku selalu suka kata Serenity." Jawab Tracy.
"Kedengaran seperti para pertapa." Komentarku.
Tracy tidak menjawab, ia hanya tersenyum kecil sambil menyesap tehnya. Aku jadi ikut-ikut Tracy menuang teh kedalam gelas dan menyesapnya. Earl Gray memang yang terbaik.
"Serenity sendiri diartikan sebagai ketenangan. Kau tahu sendiri kan aku ini suka sekali terdiam dalam keheningan." Kata Tracy. Kemudian Tracy membuka album tua itu dan membuka halaman pertama.
Perasaan yang paling utama menyerbu diriku adalah, Tracy berusaha membawa aku dan Andrew sekaligus untuk berpetualang bersama kedalam masa lalunya saat ia berada di Inggris.
Waktu itu musim panas, Tracy masih mengingat dengan jelas waktu itu blues kesukaannya berwarna merah maroon yang manis dan topi warna hitam dari wool yang sederhana menutupi kepalanya. Hari bersejarah itu tanggal 3 Mei 1951, pembukaan Festival of Britain di Inggris oleh George VI yang terpusat di bagian selatan sungai Thames atau mereka lebih suka menyebutnya South Bank.
Usia Tracy masih 20 tahun pada saat itu, bulan depan barulah usianya 21. Tapi tentu saja ia sudah legal untuk berjalan-jalan berkeliling London bersama para sahabat-sahabatnya dari jurusan Sosiologi untuk menikmati festival terakbar di Inggris yang ditujukan untuk para Britons atau para penduduk Britania Raya untuk pemulihan kondisi psikologis paska perang dunia dan depresi besar besaran.
Tracy sendiri bukan warga Inggris. Ia hanya pelajar yang singgah sementara disana untuk menuntut ilmu. Tanah kelahirannya tetaplah di Indonesia. Namun, tidak salahkan menikmati festival di liburan musim panasnya kali ini?
Pada dasarnya Tracy tidak suka keramaian, jadi sebetulnya ia tidak terlalu menikmati liburan ini. Tapi kegembiraan Emily dan Irene kali ini tidak bisa membuatnya tidak ikut bergembira juga. Rupanya kegembiraan seorang sahabat bisa menulari sahabat yang lainnya.
"Kau harus pergi kesana sesekali, Rosiedarling. Andrew kau sudah pernah kesana, ya kan?" Ujar Tracy padaku dan kemudian ia melihat Andrew yang sedang mengemil Mr. Potato rasa original yang aku tidak tahu kapan ia membukanya.
"Aku hanya seminggu waktu itu di London, itu juga hanya untuk menonton konser Radiohead dan nonton pertandingan di Old Trafford." Jawab Andrew.
"Kau tidak menyempatkan sama sekali dirimu untuk pelesiran tahun lalu itu? Hanya menonton konser dan ke stadion tim setan itu?" Tanyaku tidak percaya. Padahal aku ingin sekali pergi ke Britania Raya untuk berjalan-jalan.
"Ini Radiohead! Dan yah, itu setan merah, tim terbaik di Inggris Raya."
"Ya, aku juga suka Radiohead, Blur, Oasis, bahkan The Beatles tapi kalau aku ada kesempatan setidaknya aku juga ingin mengelilingi museum-museum dan tempat bersejarah di sana." Kataku dengan tulus hati.
"Mari kita amini saja keinginanmu itu Rosiedarla, aku yakin suatu hari nanti kau akan bisa pergi ke sana." Kata Tracy dengan pelan menengahi. Aku sampai lupa, disini ada Tracy yang sudah tua dan seharusnya kami tidak bertengkar.
"Jadi, bagaimana festival waktu itu? Kedengarannya menyenangkan." Tanyaku mengalihkan.
"Memang sangat menyenangkan. Kau bisa lihat, ini aku, Emily dan Irene berfoto bersama di Battersea Park, waktu itu The Festival Pleasure Garden di helat disana." Katanya sambil menunjuk foto dirinya waktu masih sangat muda bersama kedua sahabatnya.
Dalam hatiku, aku menjerit, aku ingin pergi kesana, sangat ingin bahkan. Aku ingin berjalan-jalan berkeliling London, membiarkan angin menyapu wajahku dan sinar matahari menerpaku. Menikmati arsitektur di Buckingham Palace, Westminster Abbey, Trafalgar Square, dan London Eye sekaligus atau sekedar duduk diam, membaca buku tengah-tengah tamannya atau mengabadikan dalam klise-klise film dengan kamera analog, hobiku.
"Kalau kau pergi kesana, kau tidak akan bisa berhenti menapakkan kakimu, menikmati kesempurnaan arsitektur mereka sampai tiba-tiba jam di Big Ben sudah menunjukkan pukul delapan malam atau langit sudah berwarna oranye. Kemudian kau bisa melihat pantulan oranye senja di sungai Thames dan itu sangat membuatmu tidak ingin pulang." Kenang Tracy.
"Kau lihat ini?" Tracy menunjuk fotonya dengan laki-laki yang tadi kusebut-sebut tampan atau Kakek Andrew.
"Opa?" Tanya Andrew.
"Ya. Dia memang Opa-mu, Andrew. Aku tidak pernah menceritakan hal ini pada siapapun, karena aku sangat malu sebetulnya." Suara Tracy nyaris tidak terdengar. Aku hanya bisa diam dan tidak berkomentar apapun perihal hal ini.
"Dia cinta pertama dan terakhirku. Foto ini adalah satu-satunya fotoku bersamanya." Lanjut Tracy.
"Lalu kenapa kau letakkan di album, bukan kau simpan sendiri dalam suatu tempat yang rahasia?" Tanyaku yang mungkin terlalu banyak membaca buku-buku dan menonton film romantis.
"Oh, aku sudah menyimpan foto close-up dia di dalam tempat rahasiaku. Bersama kenang-kenangan tentangnya pula. Ini sih, hanya ku simpan agar tidak hilang bersama foto-foto saat aku di Inggris yang lain. Supaya lebih rapi dan terawat pula." Jelasnya.
"Kayaknya kau kebanyakan nonton film romantis deh," Ejek Andrew yang sekarang sudah membuka Smax Ring rasa Keju. Astaga anak ini.
"Jadi, siapa nama Opa-nya Andrew itu?" Tanyaku penasaran. "Apakah ia seorang yang baik?"
"Namanya Thomas. Thomas Ravensdale." Jawab Tracy dengan lembut dan hampa. Dapat kudengar dari suaranya bahwa nama itu bisa menghunus jantungnya seketika.
Thomas adalah pria Inggris biasa, tipikal lelaki brengsek pada umumnya. Rambutnya berwarna cokelat yang selalu disisir ke kiri dengan rapi. Ia tidak menyukai kopi, namun selalu meminum teh yang rasanya manis. Sama seperti Tracy. Ia juga suka sekali membaca buku. Sama seperti Tracy. Mereka bertemu di event arsitekturial di Poplar, London Timur.
Ia adalah teman dari kakak laki-laki Irene yang juga sama-sama sempat menjadi pasukan perdamaian dari Inggris saat terjadi Perang Saudara di Korea. Waktu itu Irene meminta Tracy menemaninya dan kakaknya untuk ikut berkunjung ke Poplar, sedangkan Emily tidak bisa ikut karena sedang sakit.
Arsitektur di Poplar memang bagus dan cantik sekali. Yang paling menarik adalah All Saints Church. Gereja Anglikan tua yang sebetulnya masuk kategori tidak terlalu megah untuk bangunan setua itu, apalagi gereja ini sering sekali di pugar. Masih lebih menarik gereja-gereja di tengah London yang mengambil gaya corinthian pada umumnya.
Orang banyak bilang gereja tersebut angker, namun Tracy tidak pernah percaya pada takhayul dan waktu ia berkunjung, ia sempat meluangkan waktunya sejenak bersembunyi di antara pohon-pohon oak dan pinus yang tumbuh di sekitar gereja itu hanya untuk membaca buku sambil duduk di dahan pohon oak. Tracy selalu menyukai keheningan. Sampai sore hari tiba, sampai warna oranye menembus diantara kerimbunan pohon oak. Hingga kakak Irene, Irene beserta Thomas sampai sibuk mencari-cari Tracy.
Akhirnya Thomas lah yang menemukan Tracy sore itu. Melihat Tracy dalam keheningan membaca buku, membuat Thomas bahkan turut duduk disebelahnya dan mereka berdua mengobrol. Begitulah awal mereka saling jatuh cinta.
Setelah beberapa hari yang menyenangkan di Poplar, akhirnya mereka kembali ke London Selatan. Tracy untuk sementara menghabiskan sisa musim panas dengan surat menyurat dengan Thomas. Sampai di akhir musim panas dengan sangat mengejutkan Thomas memutuskan untuk hijrah ke London Selatan bersama dengan Tracy, mengejar cintanya.
Namun rupanya, London Selatan menguji kesetiaan Thomas. Thomas ternyata lebih tergoda dengan gadis lain yang jauh lebih cantik dan menyenangkan dari Irlandia. Gadis itu benar-benar diluar stereotipe gadis Irlandia yang orang bilang. Thomas menyukainya dan beberapa bulan kemudian menikahi gadis Irlandia itu kemudian pindah ke Middlesbrough, meninggalkan Tracy dan janin kecil di rahimnya. Usia Tracy waktu itu masih duapuluh satu.
Tracy merasa depresi, ia tidak bisa hidup tanpa Thomas. Ia bahkan menyuratinya setiap hari, ia lupa makan hingga sangat kurus namun bayi dalam kandungannya terus tumbuh besar. Tracy tidak memberitahukan keluarganya, dan aborsi pada masa itu merupakan hal yang sangat jarang bahkan belum ada ku rasa. Kemudian ia memutuskan untuk membesarkan bayi itu. Dengan bantuan beberapa kenalan di jurusan Kedokteran serta Emily dan Irene yang dengan baik hati dan secara diam-diam menolongnya, memberikan pengobatan dan konsultasi gratis untuk bayi yang di kandungnya.
Sembilan bulan kemudian, saat usia Tracy dua puluh dua, ia melahirkan bayi laki-laki yang diberikan nama Jonathan. Tracy pun masih tetap berusaha mengirimi Thomas surat yang sampai hari ini tidak pernah di balaskan.
Sampai suatu hari Jonathan berumur satu tahun, Tracy juga sudah menyelesaikan kuliah Sosiologinya dengan susah payah, dan pada akhirnya ia tidak bisa menyembunyikan rahasia ini lagi kepada kedua orangtuanya, awalnya kedua orangtuanya marah, namun melihat keluguan, dan lucunya tingkah Jonathan, mereka justru menerima kehadiran Jonathan dengan sepenuh hati. Namun, Tracy tetaplah haruslah kembali ke Indonesia bersama kedua orangtuanya dan menetap di Semarang.
Tracy adalah figur seorang yang mandiri dan berhati keras, ia memutuskan untuk hidup mandiri dan pindah bersama Om Jon kecil ke Yogyakarta. Disinilah ia bekerja keras menjadi seorang sosiolog dan jurnalis lepas.
Kulihat Tracy nampak kelelahan dan merasa perih mengenang ceritanya sendiri. Sedangkan kulihat Andrew, tatapannya kosong dan nyaris tanpa ekspresi. Aku tidak tahu bagaimana perasaan Andrew saat itu, yang pasti ada luka yang menganga besar di hatinya.
Tanpa terasa hari sudah semakin senja, dan cerita Tracy terasa semakin menua. Tracy tidak bisa menangis karena si laki-laki brengsek itu, Thomas tidak berhak setetes airmata dari betapa tulusnya hati Tracy hingga hari ini mencintainya.
"Jadi, kau tahu kenapa aku menanyakan kata favorit kalian pada saat awal tadi?" Tanya Tracy pada kami.
"Tidak. Mengapa?"
"Itu adalah kalimat pertama yang Thomas tanyakan padaku saat ia menemukanku di pohon oak itu. Aku sedang membaca buku saat itu dan ia mengagetkanku. Aku tidak tahu kata apa sebenarnya yang kusuka, lalu tiba-tiba aku merasa bahagia berada dalam keheningan bersama Thomas. Jadilah kukatakan pada Thomas aku menyukai kata Serenity."
"Dan apakah kau tahu kata apa yang Thomas suka?"
"Prosperous and enchanting." Jawab Tracy singkat.
"Baiklah, aku akan pergi istirahat. Andrew, tolong antarkan Rosiedarling pulang dan jangan lupa kau rapi kan ini semua, ya?!" Pesan Tracy yang kemudian dengan susah payah bangkit berdiri dari kursi. Aku dengan sigap membantu nenek tua ini berdiri dan masuk ke dalam rumah, lebih tepatnya kedalam kamarnya. Sementara Andrew membereskan seluruh peralatan minum teh sore itu dengan wajah yang masam.
"Oh iya, kau kapan akan kembali ke Jakarta?" Tanya Tracy padaku saat ia masuk kedalam kamarnya.
"Minggu depan. Tergantung ibuku inginnya kapan. Mungkin besok ibu akan mampir kesini lagi." Jawabku.
"Kau juga main kesini esok hari. Berjanjilah."
"Pasti." Jawabku.
"Oh, ya. Terimakasih atas keripik kentang yang kau bawakan, namun nampaknya cucuku suka sekali hingga memakannya sampai habis."
Aku hanya tertawa dan Tracy juga ikut tertawa.
"Aku yang berterimakasih, Tracy. Ceritamu benar-benar menginspirasi dan tehnya sangat enak. Kau beli dimana?"
"Itu dibawakan cucuku. Biar angkuh begitu, dia sangat menyayangiku. Aku tahu." Ujarnya.
Aku tersenyum. "Dia sangat menyayangimu. Selamat istirahat, Tracy." Timpalku.
Tracy tidak menjawab melainkan hanya tersenyum dengan manis. Aku bahkan masih bisa melihat kecantikannya diantara kerutan-kerutan tua itu. Kemudian ia hanya menutup pintu membiarkan dirinya sendiri untuk tinggal dan tidak mati. Tidak lagi membiarkan seorangpun masuk kedalam kehidupannya. Tidak juga aku. Tidak juga kau.
Aku segera menghampiri Andrew yang sedang mencuci berkas perabotan di dapur. Agak lucu melihat seorang laki-laki melakukan pekerjaan wanita, tapi memang itulah sekarang yang kulihat.
"Jadi, kau sama sekali tidak ingin kuliah master di Inggris?" Tanyaku. Ia hanya melirikku sekilas dan fokus kembali pada perabotan yang dicucinya seakan itu penting sekali.
"Aku tidak akan merubah pendirianku, kau tahu?!"
"Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu sekarang, tapi kalau aku jadi kau, sebaiknya kau memaafkan Thomas."
"Jangan sebut nama itu."
"Tidak ada yang salah dengan nama itu."
"Kau tidak ada di posisiku apalagi merasakan yang kurasakan!" Bentaknya.
"Baiklah. Sepertinya kau marah padaku. Kalau begitu, aku minta maaf. Dan aku pamit pulang." Sahutku cepat. Aku tidak mau bertengkar dengan orang yang baru kukenal beberapa jam saja.
Kulihat Andrew mulai menyelesaikan cucian piringnya. Ia mencuci tangannya dengan cepat dan mengelap tangannya. Kemudian ia berjalan ke meja dekat televisi dimana terletak kunci mobil dan meraihnya.
"Ku antar kau pulang." Kata Andrew.
"Aku kesini naik sepeda. Terimakasih atas tawarannya."
"Kau tidak dengar tadi Oma menyuruhku mengantar kau pulang?"
"Tapi sepedaku?"
"Besok kau harus kesini lagi, itu artinya." Katanya cepat lalu ia menarik lenganku.
Andrew mengantarku pulang dalam keheningan sore hari itu.
Jakarta, Mei 2014
Not a true story.
Tracy langsung menuangkan teh dari teapot ke cangkir-cangkir kami dan ia memasukan krim susu cair kedalam teh untuk dirinya. Tanpa gula. Sementara aku membuka-buka album yang kupegang tadi. Rupanya berisi foto-foto sewaktu Tracy tinggal di Inggris, waktu ia masih muda dan cantik. Sementara Andrew kulihat hanya berselonjor di bale-bale sambil memainkan handphone pintarnya. Sesekali aku melihat dari ekor mataku kalau dia menatapku dengan sebal.
"Kau tahu, anak manja itu sedang melarikan diri kesini, Rosiedarling?!" Ujar Tracy. Aku mengalihkan perhatianku dari album foto kepada Tracy, kemudian melihat ke arah Andrew.
"Dia? Andrew?" Tanyaku.
"Iya. Anak itu tidak mau pergi ke Inggris untuk ambil gelar Masternya." Jelas Tracy. Aku melihat kearah Andrew yang justru berfokus pada handphonenya.
"Kok aneh?! Aku malah pengen banget ke Inggris. Untuk alasan dan maksud apapun."
"Aku kan sudah bilang kalau aku ini punya karier yang sedang bagus-bagusnya disini, konyolnya lagi, disana aku harus mengambil sekolah management sedangkan aku ini kan seorang Electrician Engineer, belum lagi aku juga punya pacar dan aku tidak mau hubungan LDR, Oma. Lagian kenapa Papa keras kepala banget sih?!" Ungkapnya. Akhirnya ia angkat bicara.
Oh, Andrew sudah punya kekasih. Diam-diam ada sebagian hatiku yang agak terluka mendengarnya.
"Kalian ini sama-sama keras kepala. Tidak aneh kalau kau sekarang tidak sesukses kakakmu yang ada di Wales."
"Selalu saja dibandingkan dengan Christabelle." Gerutunya.
"Ah, omong-omong aku jadi teringat waktu aku di Inggris." Tracy tampak menerawang jauh melihat ke angkasa. Entah apa yang di perhatikannya.
"Kau sudah lihat foto-foto dalam album itu, Rosiedarla?" Tanya Tracy padaku. Aku segera membuka kembali album di pangkuanku. Kusadari Andrew sekarang duduk tegak dan diam-diam melirik ke album foto di tanganku ini.
"Foto-fotomu waktu di Inggris." Kataku. "Kau suka sekali mengenakan topi," Lanjutku.
"Memang itu kebudayaan disana, Hillbilly!" Ejek Andrew.
"Tidak, Andrew. Aku memang suka mengenakan topi, biasanya topi dikenakan secara resmi di gunakan saat di gereja atau forum pertemuan." Ralat Tracy. "Oh, omong-omong siapa yang kau sebut Hillbilly? Sebaiknya kau jaga bicaramu." Lanjut Tracy sedikit menggertak.
"Tapi aku kan tidak bicara kasar." Bela Andrew. "Lagipula yang Hillbilly itu dia, bukan Oma." Ujar Andrew yang mengarahkan dagunya kearahku saat menyebut kata 'dia'.
Tracy menunjukkan wajah yang marah pada cucunya dan kemudian menyesap teh yang sudah ia campur krim. Aku berusaha menengahi suasana disitu. Kebetulan saat itu album foto yang kubuka menunjukan gambar Tracy yang masih muda dan seorang lelaki tampan, kukira itu adalah kakek Andrew. Mereka sedang berpelukan mesra dan di belakangnya terlihat Elizabeth Tower yang menjulang tinggi besar. Sayangnya waktu itu foto mereka masih hitam dan putih, objek foto itu tetap terlihat cantik, baik Tracy, lelaki itu ataupun jam Big Ben, hanya saja sangat klasik.
"Kukira ini kakekmu, Andrew. Dia tampan." Pujiku sambil menunjukan foto itu ke Andrew. Andrew melihat foto itu dan kemudian ia tidak menunjukan ekspresi apapun.
Tracy tiba-tiba bangkit berdiri dengan susah payah, aku segera sigap menolongnya. Rupanya ia hanya ingin pindah tempat duduk. Ia ingin duduk di bale-bale sebelah Andrew. Kemudian ia mengambil album foto itu dari tangan Andrew. Aku kemudian duduk di sisi kanan Tracy dan Andrew di sebelah kirinya.
"Apa kata dalam Bahasa Inggris favorit kalian?" Tanya Tracy pada kami berdua.
"Enchantment." Kataku.
"Dasar sok duchess. Kalau aku Prosperous ."
"Dasar serakah." Ejekku. "Kalau kau Trace?"
"Aku selalu suka kata Serenity." Jawab Tracy.
"Kedengaran seperti para pertapa." Komentarku.
Tracy tidak menjawab, ia hanya tersenyum kecil sambil menyesap tehnya. Aku jadi ikut-ikut Tracy menuang teh kedalam gelas dan menyesapnya. Earl Gray memang yang terbaik.
"Serenity sendiri diartikan sebagai ketenangan. Kau tahu sendiri kan aku ini suka sekali terdiam dalam keheningan." Kata Tracy. Kemudian Tracy membuka album tua itu dan membuka halaman pertama.
Perasaan yang paling utama menyerbu diriku adalah, Tracy berusaha membawa aku dan Andrew sekaligus untuk berpetualang bersama kedalam masa lalunya saat ia berada di Inggris.
Waktu itu musim panas, Tracy masih mengingat dengan jelas waktu itu blues kesukaannya berwarna merah maroon yang manis dan topi warna hitam dari wool yang sederhana menutupi kepalanya. Hari bersejarah itu tanggal 3 Mei 1951, pembukaan Festival of Britain di Inggris oleh George VI yang terpusat di bagian selatan sungai Thames atau mereka lebih suka menyebutnya South Bank.
Usia Tracy masih 20 tahun pada saat itu, bulan depan barulah usianya 21. Tapi tentu saja ia sudah legal untuk berjalan-jalan berkeliling London bersama para sahabat-sahabatnya dari jurusan Sosiologi untuk menikmati festival terakbar di Inggris yang ditujukan untuk para Britons atau para penduduk Britania Raya untuk pemulihan kondisi psikologis paska perang dunia dan depresi besar besaran.
Tracy sendiri bukan warga Inggris. Ia hanya pelajar yang singgah sementara disana untuk menuntut ilmu. Tanah kelahirannya tetaplah di Indonesia. Namun, tidak salahkan menikmati festival di liburan musim panasnya kali ini?
Pada dasarnya Tracy tidak suka keramaian, jadi sebetulnya ia tidak terlalu menikmati liburan ini. Tapi kegembiraan Emily dan Irene kali ini tidak bisa membuatnya tidak ikut bergembira juga. Rupanya kegembiraan seorang sahabat bisa menulari sahabat yang lainnya.
"Kau harus pergi kesana sesekali, Rosiedarling. Andrew kau sudah pernah kesana, ya kan?" Ujar Tracy padaku dan kemudian ia melihat Andrew yang sedang mengemil Mr. Potato rasa original yang aku tidak tahu kapan ia membukanya.
"Aku hanya seminggu waktu itu di London, itu juga hanya untuk menonton konser Radiohead dan nonton pertandingan di Old Trafford." Jawab Andrew.
"Kau tidak menyempatkan sama sekali dirimu untuk pelesiran tahun lalu itu? Hanya menonton konser dan ke stadion tim setan itu?" Tanyaku tidak percaya. Padahal aku ingin sekali pergi ke Britania Raya untuk berjalan-jalan.
"Ini Radiohead! Dan yah, itu setan merah, tim terbaik di Inggris Raya."
"Ya, aku juga suka Radiohead, Blur, Oasis, bahkan The Beatles tapi kalau aku ada kesempatan setidaknya aku juga ingin mengelilingi museum-museum dan tempat bersejarah di sana." Kataku dengan tulus hati.
"Mari kita amini saja keinginanmu itu Rosiedarla, aku yakin suatu hari nanti kau akan bisa pergi ke sana." Kata Tracy dengan pelan menengahi. Aku sampai lupa, disini ada Tracy yang sudah tua dan seharusnya kami tidak bertengkar.
"Jadi, bagaimana festival waktu itu? Kedengarannya menyenangkan." Tanyaku mengalihkan.
"Memang sangat menyenangkan. Kau bisa lihat, ini aku, Emily dan Irene berfoto bersama di Battersea Park, waktu itu The Festival Pleasure Garden di helat disana." Katanya sambil menunjuk foto dirinya waktu masih sangat muda bersama kedua sahabatnya.
Dalam hatiku, aku menjerit, aku ingin pergi kesana, sangat ingin bahkan. Aku ingin berjalan-jalan berkeliling London, membiarkan angin menyapu wajahku dan sinar matahari menerpaku. Menikmati arsitektur di Buckingham Palace, Westminster Abbey, Trafalgar Square, dan London Eye sekaligus atau sekedar duduk diam, membaca buku tengah-tengah tamannya atau mengabadikan dalam klise-klise film dengan kamera analog, hobiku.
"Kalau kau pergi kesana, kau tidak akan bisa berhenti menapakkan kakimu, menikmati kesempurnaan arsitektur mereka sampai tiba-tiba jam di Big Ben sudah menunjukkan pukul delapan malam atau langit sudah berwarna oranye. Kemudian kau bisa melihat pantulan oranye senja di sungai Thames dan itu sangat membuatmu tidak ingin pulang." Kenang Tracy.
"Kau lihat ini?" Tracy menunjuk fotonya dengan laki-laki yang tadi kusebut-sebut tampan atau Kakek Andrew.
"Opa?" Tanya Andrew.
"Ya. Dia memang Opa-mu, Andrew. Aku tidak pernah menceritakan hal ini pada siapapun, karena aku sangat malu sebetulnya." Suara Tracy nyaris tidak terdengar. Aku hanya bisa diam dan tidak berkomentar apapun perihal hal ini.
"Dia cinta pertama dan terakhirku. Foto ini adalah satu-satunya fotoku bersamanya." Lanjut Tracy.
"Lalu kenapa kau letakkan di album, bukan kau simpan sendiri dalam suatu tempat yang rahasia?" Tanyaku yang mungkin terlalu banyak membaca buku-buku dan menonton film romantis.
"Oh, aku sudah menyimpan foto close-up dia di dalam tempat rahasiaku. Bersama kenang-kenangan tentangnya pula. Ini sih, hanya ku simpan agar tidak hilang bersama foto-foto saat aku di Inggris yang lain. Supaya lebih rapi dan terawat pula." Jelasnya.
"Kayaknya kau kebanyakan nonton film romantis deh," Ejek Andrew yang sekarang sudah membuka Smax Ring rasa Keju. Astaga anak ini.
"Jadi, siapa nama Opa-nya Andrew itu?" Tanyaku penasaran. "Apakah ia seorang yang baik?"
"Namanya Thomas. Thomas Ravensdale." Jawab Tracy dengan lembut dan hampa. Dapat kudengar dari suaranya bahwa nama itu bisa menghunus jantungnya seketika.
Thomas adalah pria Inggris biasa, tipikal lelaki brengsek pada umumnya. Rambutnya berwarna cokelat yang selalu disisir ke kiri dengan rapi. Ia tidak menyukai kopi, namun selalu meminum teh yang rasanya manis. Sama seperti Tracy. Ia juga suka sekali membaca buku. Sama seperti Tracy. Mereka bertemu di event arsitekturial di Poplar, London Timur.
Ia adalah teman dari kakak laki-laki Irene yang juga sama-sama sempat menjadi pasukan perdamaian dari Inggris saat terjadi Perang Saudara di Korea. Waktu itu Irene meminta Tracy menemaninya dan kakaknya untuk ikut berkunjung ke Poplar, sedangkan Emily tidak bisa ikut karena sedang sakit.
Arsitektur di Poplar memang bagus dan cantik sekali. Yang paling menarik adalah All Saints Church. Gereja Anglikan tua yang sebetulnya masuk kategori tidak terlalu megah untuk bangunan setua itu, apalagi gereja ini sering sekali di pugar. Masih lebih menarik gereja-gereja di tengah London yang mengambil gaya corinthian pada umumnya.
Orang banyak bilang gereja tersebut angker, namun Tracy tidak pernah percaya pada takhayul dan waktu ia berkunjung, ia sempat meluangkan waktunya sejenak bersembunyi di antara pohon-pohon oak dan pinus yang tumbuh di sekitar gereja itu hanya untuk membaca buku sambil duduk di dahan pohon oak. Tracy selalu menyukai keheningan. Sampai sore hari tiba, sampai warna oranye menembus diantara kerimbunan pohon oak. Hingga kakak Irene, Irene beserta Thomas sampai sibuk mencari-cari Tracy.
Akhirnya Thomas lah yang menemukan Tracy sore itu. Melihat Tracy dalam keheningan membaca buku, membuat Thomas bahkan turut duduk disebelahnya dan mereka berdua mengobrol. Begitulah awal mereka saling jatuh cinta.
Setelah beberapa hari yang menyenangkan di Poplar, akhirnya mereka kembali ke London Selatan. Tracy untuk sementara menghabiskan sisa musim panas dengan surat menyurat dengan Thomas. Sampai di akhir musim panas dengan sangat mengejutkan Thomas memutuskan untuk hijrah ke London Selatan bersama dengan Tracy, mengejar cintanya.
Namun rupanya, London Selatan menguji kesetiaan Thomas. Thomas ternyata lebih tergoda dengan gadis lain yang jauh lebih cantik dan menyenangkan dari Irlandia. Gadis itu benar-benar diluar stereotipe gadis Irlandia yang orang bilang. Thomas menyukainya dan beberapa bulan kemudian menikahi gadis Irlandia itu kemudian pindah ke Middlesbrough, meninggalkan Tracy dan janin kecil di rahimnya. Usia Tracy waktu itu masih duapuluh satu.
Tracy merasa depresi, ia tidak bisa hidup tanpa Thomas. Ia bahkan menyuratinya setiap hari, ia lupa makan hingga sangat kurus namun bayi dalam kandungannya terus tumbuh besar. Tracy tidak memberitahukan keluarganya, dan aborsi pada masa itu merupakan hal yang sangat jarang bahkan belum ada ku rasa. Kemudian ia memutuskan untuk membesarkan bayi itu. Dengan bantuan beberapa kenalan di jurusan Kedokteran serta Emily dan Irene yang dengan baik hati dan secara diam-diam menolongnya, memberikan pengobatan dan konsultasi gratis untuk bayi yang di kandungnya.
Sembilan bulan kemudian, saat usia Tracy dua puluh dua, ia melahirkan bayi laki-laki yang diberikan nama Jonathan. Tracy pun masih tetap berusaha mengirimi Thomas surat yang sampai hari ini tidak pernah di balaskan.
Sampai suatu hari Jonathan berumur satu tahun, Tracy juga sudah menyelesaikan kuliah Sosiologinya dengan susah payah, dan pada akhirnya ia tidak bisa menyembunyikan rahasia ini lagi kepada kedua orangtuanya, awalnya kedua orangtuanya marah, namun melihat keluguan, dan lucunya tingkah Jonathan, mereka justru menerima kehadiran Jonathan dengan sepenuh hati. Namun, Tracy tetaplah haruslah kembali ke Indonesia bersama kedua orangtuanya dan menetap di Semarang.
Tracy adalah figur seorang yang mandiri dan berhati keras, ia memutuskan untuk hidup mandiri dan pindah bersama Om Jon kecil ke Yogyakarta. Disinilah ia bekerja keras menjadi seorang sosiolog dan jurnalis lepas.
Kulihat Tracy nampak kelelahan dan merasa perih mengenang ceritanya sendiri. Sedangkan kulihat Andrew, tatapannya kosong dan nyaris tanpa ekspresi. Aku tidak tahu bagaimana perasaan Andrew saat itu, yang pasti ada luka yang menganga besar di hatinya.
Tanpa terasa hari sudah semakin senja, dan cerita Tracy terasa semakin menua. Tracy tidak bisa menangis karena si laki-laki brengsek itu, Thomas tidak berhak setetes airmata dari betapa tulusnya hati Tracy hingga hari ini mencintainya.
"Jadi, kau tahu kenapa aku menanyakan kata favorit kalian pada saat awal tadi?" Tanya Tracy pada kami.
"Tidak. Mengapa?"
"Itu adalah kalimat pertama yang Thomas tanyakan padaku saat ia menemukanku di pohon oak itu. Aku sedang membaca buku saat itu dan ia mengagetkanku. Aku tidak tahu kata apa sebenarnya yang kusuka, lalu tiba-tiba aku merasa bahagia berada dalam keheningan bersama Thomas. Jadilah kukatakan pada Thomas aku menyukai kata Serenity."
"Dan apakah kau tahu kata apa yang Thomas suka?"
"Prosperous and enchanting." Jawab Tracy singkat.
"Baiklah, aku akan pergi istirahat. Andrew, tolong antarkan Rosiedarling pulang dan jangan lupa kau rapi kan ini semua, ya?!" Pesan Tracy yang kemudian dengan susah payah bangkit berdiri dari kursi. Aku dengan sigap membantu nenek tua ini berdiri dan masuk ke dalam rumah, lebih tepatnya kedalam kamarnya. Sementara Andrew membereskan seluruh peralatan minum teh sore itu dengan wajah yang masam.
"Oh iya, kau kapan akan kembali ke Jakarta?" Tanya Tracy padaku saat ia masuk kedalam kamarnya.
"Minggu depan. Tergantung ibuku inginnya kapan. Mungkin besok ibu akan mampir kesini lagi." Jawabku.
"Kau juga main kesini esok hari. Berjanjilah."
"Pasti." Jawabku.
"Oh, ya. Terimakasih atas keripik kentang yang kau bawakan, namun nampaknya cucuku suka sekali hingga memakannya sampai habis."
Aku hanya tertawa dan Tracy juga ikut tertawa.
"Aku yang berterimakasih, Tracy. Ceritamu benar-benar menginspirasi dan tehnya sangat enak. Kau beli dimana?"
"Itu dibawakan cucuku. Biar angkuh begitu, dia sangat menyayangiku. Aku tahu." Ujarnya.
Aku tersenyum. "Dia sangat menyayangimu. Selamat istirahat, Tracy." Timpalku.
Tracy tidak menjawab melainkan hanya tersenyum dengan manis. Aku bahkan masih bisa melihat kecantikannya diantara kerutan-kerutan tua itu. Kemudian ia hanya menutup pintu membiarkan dirinya sendiri untuk tinggal dan tidak mati. Tidak lagi membiarkan seorangpun masuk kedalam kehidupannya. Tidak juga aku. Tidak juga kau.
Aku segera menghampiri Andrew yang sedang mencuci berkas perabotan di dapur. Agak lucu melihat seorang laki-laki melakukan pekerjaan wanita, tapi memang itulah sekarang yang kulihat.
"Jadi, kau sama sekali tidak ingin kuliah master di Inggris?" Tanyaku. Ia hanya melirikku sekilas dan fokus kembali pada perabotan yang dicucinya seakan itu penting sekali.
"Aku tidak akan merubah pendirianku, kau tahu?!"
"Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu sekarang, tapi kalau aku jadi kau, sebaiknya kau memaafkan Thomas."
"Jangan sebut nama itu."
"Tidak ada yang salah dengan nama itu."
"Kau tidak ada di posisiku apalagi merasakan yang kurasakan!" Bentaknya.
"Baiklah. Sepertinya kau marah padaku. Kalau begitu, aku minta maaf. Dan aku pamit pulang." Sahutku cepat. Aku tidak mau bertengkar dengan orang yang baru kukenal beberapa jam saja.
Kulihat Andrew mulai menyelesaikan cucian piringnya. Ia mencuci tangannya dengan cepat dan mengelap tangannya. Kemudian ia berjalan ke meja dekat televisi dimana terletak kunci mobil dan meraihnya.
"Ku antar kau pulang." Kata Andrew.
"Aku kesini naik sepeda. Terimakasih atas tawarannya."
"Kau tidak dengar tadi Oma menyuruhku mengantar kau pulang?"
"Tapi sepedaku?"
"Besok kau harus kesini lagi, itu artinya." Katanya cepat lalu ia menarik lenganku.
Andrew mengantarku pulang dalam keheningan sore hari itu.
Jakarta, Mei 2014
Not a true story.
No comments:
Post a Comment