29.5.14

Larasati

"Di dunia ini ada dua bunga yang paling aku suka." Kata Laras pada teman imajinasinya. Nama teman imajinasinya itu Fian. Anaknya baik. Begitu yang Laras bilang setiap kali aku bertanya tentang Fian.

Aku selalu tertarik dengan bagaimana seorang anak kecil memiliki imajinasi sendiri kemudian mengembangkannya. Menjadikan dirinya sendiri lebih hidup. Meskipun kadang, orang bilang bahwa itu adalah gejala gangguan kejiwaan yang tidak sehat. Menurutku tidak. Bagiku imajinasi adalah jembatan bagi manusia untuk mewujudkan apa yang dunia tidak bisa sediakan. Entah kenapa memang menyelami dunia imajinasi selalu tampak menyenangkan. Membuat sesuatu yang tadinya hanya hitam dan putih menjadi gradasi warna yang menarik untuk dilihat.

Laras adalah anak yang baik, seperti Fian mungkin. Ia berumur empat setengah tahun, menyukai menggambar dan sudah pandai menulis. Ia suka membaca berbagai macam buku. Kadang aku sering kerepotan sendiri ketika Laras sudah merengek meminta aku membacakan dongeng sebelum tidur sementara aku masih harus kerepotan untuk mengerjakan laporan keuangan kantor yang nampak tidak ada habisnya.

Belum lagi hobinya menggambari tembok rumahnya yang membuat kedua orangtuanya sudah kecapaian membersihkan dan mengecat ulang seluruh bagian rumah, Laras selalu mencari tembok-tembok bersih untuk ia warnai dengan krayon warna-warninya.

Aku sering bertanya padanya, "Kalau Laras sudah besar nanti, mau jadi apa?". Kadang ia suka berpikir lama sekali seakan pertanyaan ini merupakan pertanyaan paling filosofis dan akan merubah hidupnya selamanya. Mungkin memang benar, kemudian pertanyaan ini memang akan mengubah imajinasinya. Entah mengapa.

"Aku mau jadi astronot. Eh, enggak. Aku mau kerja di kantor kayak Bapak. Eh, enggak. Enggak tau." Jawabnya polos yang kemudian ia kembali mengambil alat pewarnanya dan melukiskan pada kertas-kertas bekas yang sengaja kuberikan padanya. Aku memperhatikan anak kecil lucu ini dengan badan yang cukup kurus namun pipinya selalu nampak menggemaskan untuk dicium dan dicubit. Ia mulai menarik garis-garis kecil dan membuat lingkaran. Entah apa jadinya.

Kemudian ia mengambil warna hitam, membuat segalanya mengabur. Kemudian ia mengambit warna merah yang kemudian membuat kotor krayon merahnya sebab ia menimpanya dengan warna hitam yang telah ia toreh lagi.

Jauh dilubuk hatiku, aku terluka melihat anak ini. Laras akan tumbuh menjadi gadis yang cantik suatu hari nanti. Semua orang akan menyukainya karena ia penyabar dan manis. Ia cerdas dan kadang cerewet. Tapi mungkin, tidak ada yang pernah tahu pula bahwa luka dihatinya perlahan-lahan pula akan terkuak. Ia akan membenciku, ia akan membenci seluruh hidupnya. Kemudian ia akan pergi dari hidupnya sendiri, bersama dengan cerita-cerita, celotehnya dan tawanya.

"Uh, maaf Fian, tadi Om Kian menyela. Eh, kamu kenal kan sama om Kian, Fian?" Tanya Laras pada teman imajinasinya lagi.

Tersentak aku memperhatikannya dengan seksama. Laras bicara pada Fian. Aku seperti bisa membaca arah pembicaraan mereka. Aku seperti melihat Fian. Aku seperti tahu siapa itu Fian.

"Jadi, tadi kita sampai dimana... Uh, bunga favoritku ya?" Kata Laras yang kembali melanjutkan gambarnya.

"Di dunia ini aku suka dua jenis bunga. Sebetulnya aku memang suka bunga sih," Ceriwis Laras.

"Kamu suka bunga mawar dan tulip kan?" Tanyaku seakan aku sudah mengenal lama anak tetanggaku ini. Aku baru mengenal Laras selama dua bulan. Aku baru pindah ke kota ini dan tinggal bersebelahan dengan anak kecil ini.

Pertama kali aku bertemu anak ini saat dia sedang bermain dengan Pedro, anjing boston terriernya yang kemudian menggonggong karena aku datang. Kemudian aku berbasa-basi dengan keluarganya, sering membawakannya buku-buku cerita tentang asterix dan obelix yang kemudian membuatnya suka setengah mati dengan tokoh itu.

Laras hanya melirik selepas aku menebak bahwa bunga favoritnya adalah mawar dan tulip.
"Tuh, Om Kian tahu. Kamu yang udah lama temenan sama aku malah gak tau. Temen macam apa kamu," Gerutunya kesal.

Aku menatap Laras sekali lagi. Tiba-tiba saja perasaan aneh menyelubungi diriku. Wajahnya yang menggemaskan tanpa dosa itu justru membuatku merasa muak tiba-tiba. Kepalaku sakit. Aku tidak bisa menahan rasa sakit ini lebih lama. Aku tidak bisa menguasai diriku. Warna warni mengaburkan pandanganku. Aku tahu mataku memerah bagaikan serigala. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku.

Aku berteriak karena badanku terasa sakit. Sekujur tubuhku mendingin namun berkeringat. Laras nampak memperhatikanku dengan perasaan cemas. Ia tidak takut. Ia adalah gadis pemberani. Yang bisa ia lakukan hanya menatapku, berusaha meraihku. Aku bisa mendengar ia memanggil namaku. Lalu semuanya gelap. Gelap dan padam.

Aku seperti berjalan di dalam lorong hitam yang tidak berujung. Aku kelelahan namun tidak bisa berhenti, aku tidak boleh berhenti. Seakan jika aku berhenti akan ada sesuatu yang membunuhku. Tapi ini gelap gulita, tapi aku tidak menabrak dinding. Hanya sangat gelap, kelelahan dan sakit namun tidak bisa berhenti.

"Kian, kau ingat aku?" Suara itu berada di kepalaku, menggema dalam ruangan kosong ini. Rasanya mendengar suara parau laki-laki ini menyakitkan.

Aku ingin memohon atau paling tidak mengatakan sesuatu. Tapi aku nyaris tanpa suara. Bahkan dalam ruangan yang segelap dan kosong ini aku tidak yakin aku berada disini. Aku tahu aku sudah tidak sadarkan diri. Aku ingin bangun.

"Kita bertemu lagi." Sapa suara itu riang.

"Maaf, aku harus pinjam tubuhmu sebentar." Lanjut suara itu.

"Aku harus menghabisi anak ini. Semua orang menginginkan darah anak ini." Ujarnya.

Apa? Apa yang ia bicarakan? Perasaan aku mengatakan kalau ia menginginkan Laras untuk mati. Ini bukan hal baik dan aku tau itu. Aku harus bangun. Aku harus melawannya. Aku harus mencari cara. Kakiku terus berlari tak tentu arah, mencari kemanapun dan apapun. Petunjuk mengenai ketidaksadaranku.

"Oh, mungkin sudah lama kita tidak bertemu Kian, makanya kau lupa." Simpulnya. "Sudah duapuluh tahun yang lalu, aku pernah mengatakannya padamu."

Lalu aku bisa mengikuti seluruh bicaranya. Aku tahu apa yang ia bicarakan seakan aku mengamininya.

Perihal anak ini. Tentang seorang yang mencuri hati emas dari manusia tidak berdosa dari menara puncak api pencucian. Sang pencuri bersembunyi bertahun-tahun, dan tidak ada yang bisa menemukannya. Lalu takdir mengatakan bahwa hati itu tumbuh di dalam tubuh seorang wanita yang lahir pada pertengahan Oktober saat matahari terbenam.

"Kau ingat ikrarmu; untuk membantuku karena aku satu-satunya sahabatmu saat semua orang menjauhimu?!" Suara itu membuat hatiku semakin getir dan menyakitkan. Perih. Ikrar macam apa?!

Aku mencoba sekuat tenaga untuk mencari jalan keluar, namun aku masih dilingkupi kegelapan. Aku menghempaskan diriku yang nyaris tidak dapat kurasakan sendiri. Mataku terpejam, mencoba mengganti apa yang ada dihadapanku. Sekuat tenaga untuk mencari jalan keluar dari sini.

Tiba-tiba aku merasa sesuatu mengangkatku. Perlahan-lahan. Semakin dalam aku berkonsentrasi, aku naik semakin cepat. Warna hitam itu perlahan-lahan pudar. Aku melihat warna abu-abu dan perlahan lahan berubah jadi tempat putih yang sangat terang, menyilaukan. Sampai di tempat menyilaukan itu aku berhenti terangkat. Diantara kemilau cahaya, aku masih bisa melihat seorang laki-laki yang duduk diam diantara pikiran-pikiranku ini. Aku tidak tahu siapa dia.

"Anak ini menyimpan hati emas itu." Kata lelaki itu. "Aku harus menghabisinya."

"Dia tidak mencurinya! Dia anak kecil, demi Tuhan!" Seruku. Bagaimana mungkin laki-laki ini menghabisi Laras yang tidak bersalah.

"Bukan dia yang mencurinya, Kian. Tapi kau!" Serunya geram.

"AKU? Tapi untuk apa? Dan kapan aku mencurinya?" Tanyaku tidak mengerti.

"Dulu pencurinya adalah jiwamu. Namamu dulu bukan Kian. Tapi Kreaveno. Jiwamu dulu adalah malaikat, sama seperti aku. Tapi kau mendambakan kehidupan di dunia yang damai dan jauh dari segala macam penderitaan dan dosa. Kemudian kau dalam wujud Kreaveno mencurinya. Menyembunyikannya. Sampai akhirnya aku menemukanmu tapi kau lihai menyembunyikan hati emas itu. Kami menangkapmu dan memenjarakanmu, tapi tidak pernah mendapatkan hati emas.

Kau tidak pernah mengatakan hati itu berada dimana. Kemudian Tuhan yang murka membuangmu ke dunia agar kau merasakan penderitaan sebagai manusia. Kau tidak ingat kau siapa sebenarnya, tapi aku tahu itu kau."

"Apa yang salah dari dunia tanpa penderitaan?" Tanyaku dengan perih.

Laki-laki itu tertawa. "Rupanya, pemikiranmu tidak berubah, bahkan ketika kau berubah menjadi manusia." Tukasnya. "Aku lelah berdebat mengenai hal ini denganmu. Tapi, apalah bedanya di surga dan di bumi. Apa tujuan manusia lagi kau disini sudah sama seperti di bumi?!" Lanjutnya.

"Bagaimana kau tahu kalau hati emas ada dalam diri anak itu?"

"Kau akan memiliki perasaan dan keterikatan tidak seperti kepada orang lain. Begitulah karakteristik hati emas pada siapapun yang telah menaunginya dengan mantra perlindungan,"

"Lalu kau akan menghabisi Laras?" Tanyaku.

"Lalu bagaimana cara lain mengambil hati emas itu?" Ia balik bertanya.

Tanganku terkepal. Aku tidak akan membiarkan seorangpun menyentuh anak kecil ini. Anak kecil tidak berdosa ini. Aku melemparkan segera tinju kearah wajahnya yang bersih. Sekali. Ia menatapku dengan benci dan membalas tinjuku.

"Kembalikan tubuhku!" Aku meninjunya kembali. Mengunci tubuhnya. Kami bergulat dalam pikiranku sendiri.

"Tidak, sampai aku mendapatkan hati emas!" Rupanya ia malaikat yang tangguh. Ia meninjuku, menendangku sampai aku jatuh terhempas jauh.

"Egois! Keras kepala! Tuhan tidak pernah mengajarkan untuk membunuh!"

"Pengecualian terhadap hati emas." Katanya.

Aku dengan susah payah bangkit berdiri dan menghampirinya. Sekali lagi aku meninjunya. Namun ia bisa berkelit dengan lincahnya. Brengsek.

"Kau sama sekali tidak ingat kita bersahabat dua kali?" Tanyanya.

"Tidak pernah!"

"Pertama, saat kau adalah Kreaveno. Kita adalah partner terbaik. Sampai akhirnya kau berkhianat." Ujarnya.

"Aku tidak pernah menjadi Kreaveno apalagi bersahabat denganmu!" Tukasku cepat sambil kembali melayangkan tinju kearahnya. Kali ini berhasil mengenai wajahnya dan berdarah. Tapi dia tidak berusaha melawan.

"Kedua, aku adalah teman imajinermu yang sangat nyata." Katanya.

Seketika pandanganku menjadi gelap kembali. Aku ingat semasa aku kecil aku adalah seorang yang kesepian dan menderita. Semua orang membenciku, semua orang meninggalkanku. Dan hanya dia, yang tidak kasat mata itu menemaniku.

Kami bermain segala macam permainan sebagai seorang sahabat yang menyenangkan. Lalu ia memiliki obsesi untuk menemukan harta sang raja yang hilang. Aku, sebagai sahabat yang baik berikrar untuk membantunya menemukan harta itu. Bahkan aku sudah memberikan setetes darahku untuk bersumpah membantunya mencari.

Kuasai dirimu, Kian. Kuasai dirimu.

Suara aneh datang dari dalam kepalaku. Namun bukan suara laki-laki brengsek ini. Suara yang berasal dari dalam hatiku. Aku mengikutinya. Ini suara hatiku sendiri.

"Siapa kau sebenarnya?" Tanyaku pada lelaki yang mengaku malaikat namun brengsek ini.

"Aku Fian. Teman imajinermu dan Laras." Jawabnya singkat.

Aku berang. Aku membenci segalahal yang ada di dalam diriku dan tentunya Fian. Tapi aku harus menguasai diriku. Aku mencoba sekuat tenaga membuka mata. Aku tidak boleh peduli dengan kehadiran Fian. Aku harus membuka mataku selebar mungkin.

Kemudian aku menarik napas yang panjang dan dalam.

Dalam satu hentakan aku menemukan diriku kembali. Aku tersadar dalam keadaan yang sangat buruk.

Aku sedang mencekik leher Laras yang bersandar di tembok dengan tangan kiriku dan tangan kananku memegang pisau dapur yang tajam. Aku hampir menghunusnya. Fian hampir membunuh anak ini. Gadis malang ini hampir mati.

Tanganku gemetar dan pisau di tangan kananku terjatuh. Aku segera meraih gadis yang wajahnya pucat pasi. Aku membiarkan anak itu lari ketakutan dariku. Aku membiarkannya dia pergi. Aku tidak boleh ada disini lagi. Kulihat ia pulang sambil menangis. Akupun akan melakukan hal yang sama.

***

Aku telah selesai mengepak seluruh barangku. Akhirnya aku memutuskan untuk jauh-jauh dari kehidupan Larasati. Hanya untuk menjaga hati emas yang ada didalam dirinya, yang memompa seluruh darahnya.

Kadang aku berpikir, jika sudah besar nanti, pastilah Laras akan tumbuh menjadi seseorang yang bisa menyelamatkan dunia, atau paling tidak membawa terang dan kebahagiaan. Tapi, jika aku berpikir ulang, seharusnya Kreaveno waktu itu tidak perlu repot-repot mencurinya hanya untuk mewujudkan perdamaian di muka bumi ini. Karena masih sangat banyak orang berhati emas tanpa perlu mencurinya dari menara api pencucian.

Aku sudah pamit pada kedua orangtua Laras pula, kukatakan pada mereka bahwa aku ditugaskan di kota lain dari kantorku. Sayang, waktu itu Laras sedang tidur siang sehingga aku tidak bisa menanyakan kemana perginya Fian. Ah, tapi kurasa ia sudah sangat takut menemuiku. Aku juga sudah tahu, Fian sudah pergi sekarang.

Kemudian aku memasukan kardus terakhir yang berisi peralatanku ke bagasi mobil dan menutupnya. Aku siap pergi jauh dari kota ini. Kulihat di kursi sebelahku sebuket bunga tulip dan sebatang bunga mawar berwarna merah muda. Ku ambil dan aku menatapnya. Ini bunga untuknya. Semoga ia tumbuh menjadi gadis yang baik. Doaku.

Akupun bergegas keluar dari mobil dan meletakkannya di teras rumah anak kecil itu. Di antaranya kuselipkan surat kecil.

Teruntuk Gadis Berhati Emas,
Larasati

Kemudian akupun pergi.




Jakarta, Mei 2014

No comments:

Post a Comment