11.5.17

Tentang Aurora Yang Tidak Tertidur

Aku memandang wajah kelam Aurora. Dengan melihatnya, aku memahami apa maksud Peter Zilahy yang menceritakan tentang orang-orang di Belgrade. Tentang bagaimana waktu tak perlu diketahui dengan media apapun melainkan raut wajah.
Siapapun bisa melihat jauh ke dalam tatapannya yang kosong, bahwa ia tidak pernah tertidur selama seratus tahun. Kantung matanya lebih hitam dari langit malam, kulitnya lebih biru dari kedalaman samudera. Rambutnya kusut dan kacau, begitu juga pikirannya semerawut.

Berusaha menguntai kekusutan di rambutnya, bertahun-tahun aku berusaha menyelaminya. Tidak pernah ada benang berwarna merah di rambutnya yang hitam legam. Tidak juga ada benda-benda kotor dan aneh yang bisa membuatnya rusak. Hanya sangat kusut.

Aurora tidak pernah tertidur tapi bukan menunggu. Ia hanya tidak bisa atau tidak tahu bagaimana caranya memejamkan matanya. Ia tidak dapat membiarkan malam menguasai dirinya atau cahaya bulan menembus ranting-ranting oak. Singkatnya, ia hanya dipenuhi dengan kegelisahan.

Aurora kadang membenamkan diri di atas kasurnya yang usang. Di siang hari, tak jarang ia menembus pepohonan di hutan pinus atau sekedar bicara pada laba-laba yang tengah sibuk memintal benang-benang kematiannya.

Siang itu di bulan November, ia tengah berbicara pada angin yang berbisik sementara matahari enggan nampak.

"Siapa yang pernah tahu bagaimana caranya menahan rintihan?" Ia bertanya dalam bahasa-bahasa yang sebenarnya tak pernah ku mengerti tapi aku mengetahuinya dari ranting-ranting yang mati di musim gugur. Ia berbicara kepada pepohonan.

"Aku merintih hampir setiap kali, tapi tidak pernah didengar." sungut pohon Oak setengah baya melalui angin yang meniup kening Aurora. Wajahnya semakin jelas dan pucat, dingin menelusup ke baju dinginnya yang tebal, terbuat dari bulu beruang.

Aurora diam-diam mengamini pohon oak tersebut akan tetapi tidak menginginkan siapapun tahu apa yang ia rasakan. Semuanya melelahkan bagi Aurora.

Aku semakin memperhatikannya seiring juga benang-benang yang dipintal laba-laba. Ku katakan padamu sekali lagi, benang tersebut adalah benang kematian. Sekali Aurora terjerat, ia akan tidur selama-lamanya. Sebab seperti sediakala, cerita yang kau pernah dengar, bahwa Aurora harus pergi tidur sampai cinta sejati menemukannya.

Di dalam kondisi sangat terbangunnya, ia sangat pulas tertidur. Dalam kesiagaannya, ia bermimpi. Juga di dalam kewaspadaannya, ia sangat lengah dan kegelisahan itu membuat setiap paradoks terasa berkelit.

Benang-benang yang dipintal laba-laba semakin lama kian banyak, tebal dan besar. Suatu hari benang-benang itu akan digunakan Aurora untuk membungkus tubuhnya yang semakin biru. Ia tidak akan merintih lagi dalam kegelisahan dan penantiannya. Seperti yang kau tau, ia akan bangun dari elegi. Ia akan bangun karena cinta. Mungkin cinta memang tidak pernah ada di dunia ini. Atau bisa saja, cinta sejatinya adalah kematian itu sendiri.

Entah sampai kapan, namun ada masanya, sampai benang-benang itu memeluknya. Kukira laba-laba itu hampir selesai memintal.

1 comment: