10.6.14

Takut Mati

Sebelum fenomena yang ada di mulai, sebelum semuanya sungguh berakhir dan tidak lagi manusia ingat nelangsanya.
Kisah ini dimulai oleh satu tokoh kecil, sekecil biji jagung bernamakan manusia.

Manusia kini ada di atas lingkaran biru pucat.
Duduk, minum air, melegakan dahaga, memuaskan lapar, dan berdiri untuk bangkit dan pergi lagi.

Sebelum semuanya berakhir menjadi debu-debu yang tertiup tak tentu arah.
Sebelum segalanya tak ditangkap lagi oleh sensori manusia.

Rupanya memori dalam kepala manusia yang membahagiakan.
Tapi kebahagiaan itu perlu diukir, ditulis dengan pena emas yang menusuk ke tulang belulang sehingga saat sudah tua nanti dapat diulang kembali.

Manusia itu bergerak tidak tentu arah, mencari segala macam tumpuan untuk tetap bergerak dan terpental.
Membuat mahda dan bencana, mencari pelita kemudian meniupkannya hingga padam.
Selama manusia belum menua, selama jalan terlihat sama, selama masih berdiri di bawah mega
Namun manusia masih melupakan bagaimana seharusnya hidup diantara masa yang masih sedikit, kemudian masa itu membukit dan meledak sewaktu-waktu.

Manusia membuat purwarupa yang aneh dan selanjutnya membiarkan mereka menelannya sendiri
Manusia tidak mau mendengar suara manusia yang lain, yang sudah direntas masanya yang tersisa tinggal sedikit
Sampai nanti suatu hari manusia yang berjalan terlalu jauh mencari tempat bersembunyi dan menuntunnya kembali ke halaman depan, manusia menyebut pekarangan lintas hidupnya itu rumah.

Kemudian manusia itu menua, dengan segala macam yang ia temui dalam memoarnya.
Ancaman itu semakin dekat dan menjadi gemetar tersendiri dalam darahnya.
Tidak ada yang tahu bahwa pada dasarnya manusia setakut itu terhadap bayangan yang seharusnya menjadi teman, namun menjadi momok yang dihindari.

Bukankah, kembali keperaduan adalah sesuatu yang manusia selalu idamkan?
Untuk kembali lagi dalam pelukan bunda dan pergi tidur dengan lelap.

Tapi sejauh masa belum banyak, selama manusia belum menua, selama masih muda, berjalanlah sejauh mungkin dari rumah.
Pergi keperantauan yang jauh sampai tidak terlihat.
Sejauh apapun manusia menepak, tidak ada tempat untuk hilang.
Mereka tetap berdiri diatas lingkaran biru putih pucat.
Dengan satu konsep sederhana;
Mereka akan selalu pulang ketempat yang sama sejauh apapun manusia pergi.


Jakarta, Juni 2014

No comments:

Post a Comment