13.2.18

Kopi, Teh dan Bunga-Bunga Saat Hujan

“Masih ingat saat dulu kita masih remaja?”

Saat kita berada di acara perkemahan, waktu kita masih menjadi anak pramuka.
Ku ingat waktu itu hujan turun, dan hanya kau yang meminjamkanku jas hujan milikmu untuk mengawasi tenda yang bocor. Kau membiarkan dirimu kebasahan namun tidak membiarkan setetes air pun jatuh di kepalaku.

“Itu sudah lama sekali bukan?”

Tapi hal sederhana seperti itu justru tidak pernah hilang dari ingatanku, kemudian aku mencarimu hingga bertahun-tahun.

Hei, kejutan!

Rupanya kau ada di situ. Tengah menghirup kopi panas sembari menanti hujan selesai. Kau sibuk berkutat dengan kertas dan laptopmu, tidak membiarkan seorangpun mengusikmu. Sedangkan aku hanya duduk mengamatimu sambil menyesap teh chamomile hangat.

Bagaimana bisa aku hanya melihat dirimu dari jauh seperti sekarang sedangkan untuk menghapus ingatan sesederhana itu saja sangat sulit?

Rupanya ada bayanganku yang lebih berani telah menghampirimu lebih dulu. Menyentuh lembut pundakmu dan membuat kau menoleh, memberikan senyuman yang sama saat kau meminjamkan jas hujanmu.

Kemudian dengan terburu-buru kau menyingkirkan segala kertasmu dan membiarkanku duduk di hadapanmu. Lalu kami bernostalgia dalam angan-angan ‘kita’.

Kau tertawa. Akupun juga.
Kau meringis. Demikianpulalah aku.
Katamu kau merindukanku, bertahun-tahun mencariku.

“Mudah sekali membuatku berhamburan bagai serbuk, Tuan.”

Kau menyesap kopimu dan aku menyesap tehku.
Kita larut bagaikan gula pasir dalam minuman hangat.
Larut dalam pikiran kita masing-masing.
 Larut dalam rindu yang sudah tua .

Kau tiba-tiba memecah keheningan.
Kau bilang kau tidak ingin kehilanganku lagi.
Biar bunga-bunga krisan warna putih di atas teras menjadi saksi.

Jangan biarkan aku hilang lagi. Jangan biarkan aku pergi tanpa mencari.
Selembut itu katamu.

Tapi rupanya aku tidak pernah seberani bayanganku. Bayanganku mundur, kembali di kursi warna cokelat tempatku bergeming.

Di luar, langit tampak semakin muram dan kurang bersahabat. Hujan bahkan terdengar semakin menghujam bumi dengan rindu. Rindu yang serupa denganku, meski nampaknya hujan lebih berani mengatakannya langsung kepada bumi. Sementara aku seperti pengecut diam di situ sembari menyesap teh dari gelas kartonnya dan membayangkan apalagi yang bisa dilakukan oleh bayanganku. Sedangkan kau masih berkutat di situ sambil sesekali menyesap kopimu.

Tiba-tiba ada pesan masuk dari ponselku. Pesan singkat dari orang yang selalu membentuk senyum di wajahku dan tidak pernah membiarkanku lelah mencari.
Ia datang saat hujan.
Menjemputku. Lalu berbagi jas hujan denganku di masa lalu.

Sekilas aku melihat lagi ke arahmu saat hendak pergi.
Tiba-tiba kau mengangkat wajahmu, lalu menyadari keberadaanku.
Tanpa menunggu lama lagi, ku tinggalkan bayanganku bernostalgia di situ.

No comments:

Post a Comment