11.4.12

Selatan

Kita ini satu bagai magnet. Satu, sama, namun berbeda haluan. Kamu utara, aku selatan, dan kita bisa saja menarik semua besi-besi dan serpihan logam, tapi tetap, aku utara dan kamu selatan. Dua kutub yang berbeda. Mungkin kalau kita terpecah, kita bisa bergabung, menyatu dan berhadapan. Tapi kita tetap, aku utara dan kamu selatan.”

“Bukan,” dipikiranku berbisik menggelitik: “Kutub utara dan selatan itu adalah kau dan ego-mu. Dan aku hanyalah besi rongsokan yang selalu tertarik dengan gaya dan medanmu. Kau adalah magnet, yang selalu menarikku untuk pulang ke rumah.”

***

#CeritaHariIni diawali dengan serpih serpih logam yang jatuh diambang batas pintu sebuah pabrik senjata Israel di wilayah Tel Aviv. Namaku Herlz. Aku adalah orang Israel yang bekerja di persenjataan Israel sebagai buruh biasa yang kadang ikut berperang meskipun hatiku terluka.

Ya, aku terluka saat melawan Palestina demi kedudukan Israel di tanah ini. Luka batin yang akan terus menganga dan menimbulkan penyakit baru. Peduli setan lah dengan negaraku atau apapun yang terjadi pada rezim ini. Mereka, para petinggi itu, tak akan pernah mencoba menyelesaikan perang, sampai kapanpun. Mereka hanya mengikuti apa yang sejarah ramalkan. Lucunya, namaku Herlz, sama seperti penggagas Negara Yahudi pada zaman dahulu, Theodor Herlz, dan yang lebih lucu lagi, aku bekerja di pabrik persenjataan Israel yang langsung ataupun tak langsung menyatakan aku membela Israel.

Semua itu demi lebih banyak roti untuk aku dan istriku, Aliyah, seorang wanita cantik keturunan Palestina-Arab.

Jika aku punya uang lebih, aku akan pindah dari Negara ini. Pindah ke Amerika dan hidup lebih lama dan bahagia dari sekarang.

“Ayo kita pulang!” Ajak Ben yang baik hati sekaligus sahabatku. Aku mengembangkan senyumku dan mengangguk. Kami pun pulang ke rumah kami dengan berjalan kaki dan melewati daerah-daerah dan gua terpencil yang menyeramkan. Banyak sekali risiko yang harus ku tanggung dalam menyambung hidup bahkan untuk perjalanan dari rumah ke tempatku bekerja dan sebaliknya. Dari mulai invasi dari pihak musuh ataupun dari binatang buas yang bisa saja menyantap kami kapan saja.

“Ben, apakah kau percaya jika perang ini selesai maka dunia akan kiamat?” Tanyaku dalam perjalanan pulang sambil mengendap-endap dibawah lorong jalan raya perang yang bau, yang kemudian akan tembus kehutan.

Ben berjalan lebih dulu sambil merunduk. “Kurasa.” Jawabnya tenang.

“Lalu mengapa kita tidak membunuh diri kita sendiri saja supaya ketika kiamat itu datang, kita tidak perlu risau lagi?! Percuma bukan perang ini ada, siapapun yang menang atau kalah, mereka hanya menghadapi kematian.” Argumenku.

Ben sudah sampai di ujung lorong dan serta merta menghidup udara segar dan meregangkan badan. Ben menatapku lekat-lekat.

“Masih banyak yang harus diperjuangkan, Herlz.” Katanya dalam.

“Perjuangan apa lagi? Apa yang diperjuangkan?” Tanyaku sambil melanjutkan perjalanan. Ben lebih veteran daripadaku, itu sebabnya ia sangat bijaksana. Namun sekarang ia diam.

Booom! Duaaaar!

Suara itu seperti granat yang menyalak tak jauh dari tempat kami. Aku dan Ben terhuyung huyung mencari perlindungan. Kemudian berlarilah kami kesebuah goa yang kecil cukup untuk kami berdua. Kami berlindung dibawah goa itu selama berjam-jam menunggu sampai serangan itu selesai.

Saat berlindung bersama Ben, dikepalaku muncul seorang wanita cantik, berhidung rungi, bermata cokelat dan berambut cokelat yang panjang. Orang yang sangat kucintai sepanjang hidupku, Aliyah. Aku sangat merindukan wanita itu.

Sekelebat bayangan muncul satu persatu dari awal pertemuanku dengannya. Saat itu aku masih berumur 20 tahun, usia wajib militer, dan sedang berperang melawan Palestina di jalur Gaza. Aku menemukannya hampir mati disebuah gedung bekas apartemen yang rusak karena perang. Aku menolongnya, dia adalah korban perang, semua keluarganya sudah meninggal karena perang.

Awalnya ia takut denganku. Mungkin trauma. Aku tidak tega dan menolongnya, menyeludupkannya diam-diam dan mengaku ia adalah orang Israel sampai akhirnya membawa Aliyah ke rumahku di Tel Aviv untuk perlindungan. Saat itu usianya masih 17. Akupun membantu mencarikan keluarganya yang lain selama bertahun-tahun, namun hasilnya nihil.

Aku sadar bahwa aku mencintainya, akulah keluarganya, dan kemudian aku menikahinya saat usiaku genap 24 tahun dan Aliyah 21 tahun. Hal itu terjadi lebih daripada 10 tahun yang lalu dan aku hidup di realita yang sekarang.

Hari sudah malam, bintangpun bermunculan. Suara ledakan itu seakan menjauh. Aku dan Ben bergegas untuk melanjutkan perjalanan pulang. Aku tahu Aliyah pasti telah menungguku.

***

Aku tidak dikaruniai anak. Oleh karena itu, aku tinggal hanya berdua bersama Aliyah dan satu penjaga, Bruno, seekor anjing gembala berwarna cokelat keemasan. Mungkin Aliyah terkena radiasi saat perang atau penyakit yang lain.

Aku tiba dirumah dan rumah terkesan sepi dan gelap. Lampu di depan rumah menyala namun tidak ada tanda kehidupan, sampai akhirnya anjingku, Bruno menarik narik celanaku yang compang camping memintaku untuk masuk ke dalam rumah. Aku tahu ada sesuatu yang tidak beres.

Aku masuk kedalam rumah dan mendapati seluruh isinya berantakan. Aliyah pun tidak ada dirumah. Aku mencari-cari dimanapun tapi tidak ada. Sampai pada akhirnya aku menemukan kertas terlipat dua diatas meja makan. Tulisan tangan Aliyah tergores disitu.

Kepada Suami ku yang ku cintai sepanjang hayat, Herzl,

Jangan mencariku lagi. Setelah sepuluh tahun, akhirnya pemerintah Israel pun tahu aku bukan penduduk mereka dan merekapun memutuskan mengembalikan aku kepada Pemiliknya. Mungkin saat kau membaca surat ini, aku sedang menangis karena aku kehilangan orang yang paling kusayangi selama ini. Tapi aku akan selalu hidup di sisimu dan menemani setiap langkah-langkahmu.

Ini mungkin surat terakhirku padamu, dan akupun juga pernah bilang bahwa sampai selama lamanya kita ini bagai magnet yang sama. Kita menjadi satu namun tidak berhadapan. Kita adalah dua kutub yang berbeda, kau utara dan aku selatan. Meskipun kita mampu menarik besi secara bersamaan, tapi kita merupakan dua bagian yang berbeda.

Kita tidak pernah berpandangan sama, hanya saja kita satu. Mungkin suatu hari nanti akan ada yang mampu memecah kita, dan kita mampu membuat daya untuk menarik setiap perbedaan kita. Supaya dua menjadi satu, bukan satu menjadi dua.Tapi itu nanti, di kehidupan kita yang berikutnya.

Terimakasih atas segala cinta yang telah kita ukir selama satu dekade yang terasa sangat singkat. Selamat tinggal. Aku mencintaimu,

Aliyah

Dadaku serasa bergetar. Apalagi yang dilakukan orang Israel gila itu? Aku segera keluar mencari informasi yang lebih pasti tentang keberadaan istriku. Aku mendatangi rumah Ben untuk meminta bantuan. Namun Ben menolak untuk membantu mencarinya hari itu karena suasana sedang genting.

Namun Soraya, istri Ben mengatakan bahwa Aliyah dibawa oleh para serdadu pemerintah ke ibukota untuk dihukum pancung karena identitas palsu selama bertahun-tahun ditambah lagi ia adalah orang Palestina.

Akupun segera pamit pergi dan mencari segala akses untuk tiba di ibukota saat itu juga. Segala hal aku upayakan untuk menghentikan kendaraan yang lewat sampai akhirnya aku menghentikan sebuah truk makanan untuk suplai para tentara di ibukota.

Akhirnya aku tiba di ibukota dan mulai mencari tempat pengadilan dimana istriku berada. Aku tidak memikirkan apa-apa, aku hanya ingin melihat istriku. Namun aku tidak menemukannya. Hari sudah sangat larut, kuperkirakan saat itu sudah pukul dua dinihari.

Aku bertanya kepada para penjaga dan mereka bersikap acuh tak acuh. Sampai akhirnya ada satu orang penjaga yang menceritakan bahwa tadi siang ada wanita Palestina yang memalsukan data kependudukan dihukum pancung. Diduga wanita itu adalah mata-mata. Jenazah wanita itupun dibakar setelahnya.

Akupun mendatangi ruang bekas kremasi tadi siang diantar oleh si Sipir yang baik hati. Aku menangis sejadi jadinya diatas tumpukan arang-arang dan abu. Tak lama aku langsung mengumpulkan abunya dan memasukan kedalam kaleng bekas. Hatiku hancur.

***

Hari-hari berikutnya aku hidup diantara bayang-bayang Istriku. Kadang kala aku sering berharap membuka mata di sampingnya atau dapat melihatnya berjalan dan memberi makan Bruno. Tapi semua hanya khayalanku, jauh di dasar benakku.

Kiranya aku semakin membenci peragai pemerintahan Israel. Aku membenci segala tabiat mereka dan terutama aku benci perang. Aku terluka parah oleh perbuatan keji mereka tapi aku juga merasa salah saat aku sadar selama ini aku memang membahayakan Aliyah di negaraku.

Aku berjanji akan menebus kesalahanku, segala kerisauan dan kerinduanku pada Aliyah.

Pagi itu aku berangkat bekerja seperti biasa bersama Ben. Sejak kepergian Aliyah, aku tidak banyak bicara. Ben mengerti betul apa yang aku rasakan.

“Ben, pulanglah!” Pintaku.

“Ha? Kau bercanda? Mau makan apa anak dan istriku kalau aku pulang?”

“Pulang, Ben! Ku minta kau pulang sekarang juga!”

“Kau tidak menggajiku, orang gila!” Katanya.

Aku meninju wajahnya. “Pulang keparat!” Seruku.

Ben menatapku serius namun tidak berusaha membalasnya.

“Aku tahu kau akan melakukan yang terbaik.” Katanya yang lalu berbalik badan dan pulang.

“Bawa pergi jauh dirimu serta anak-anakmu!” Seruku sekali lagi. Dan aku bersumpah aku sangat bangga pada sahabat yang sangat mengerti aku.

Akupun melanjutkan perjalananku. Hari itu.

***

Aku memberanikan diri memasuki ruangan penelitian bom nuklir dengan mengendap-ngendap sehabis mencuri sebuah granat dan pistol kecil dari gudang penyimpanan persiapan perang. Dadaku memukul-mukul. Aku mungkin bersalah namun setidaknya jika pabrik ini hancur Israel akan menghentikan perang ini untuk sementara. Akan ada lebih sedikit orang yang meninggal karenanya.

Bau ruangan itu sangat aneh. Sekilas bau kimia yang sangat menusuk hidung, kemudian bau mercon dan terakhir bau kematian yang tak termaafkan. Aku sendiri dihadapkan pada sebuah bom yang berdaya ledak 0,0005 Megaton TNT yang setidaknya dapat menghancurkan daerah ini sampai radius 2 kilometer. Bom itu hanya sebesar bola basket. Dan hanya ada bom itu di pabrik ini, sebab ini adalah pabrik senjata. Bom ini pun hanya sekedar ada untuk penelitian.

Aku melanglang pikiranku mengingat Aliyah. Aku akan kembali kepelukannya.

Segera saja aku membuka granat dan mengenggamnya dengan tangan kiriku. Seorang penjaga memergokiku, dan segera saja aku mengambil pistol dari sakuku kemudian menarik pelatuknya dan melepaskannya tepat ke dada si penjaga. Aku menatap granat ditanganku dan menghitung mundur.

5… 4… 3… 2… 1…

Aku besi dan kau magnet, yang selalu menarikku untuk tidak jauh darimu.

Jakarta, April 2012

No comments:

Post a Comment