21.10.13
11.3.13
Kura - Kura
Lama sekali, dua pasang mata Dewi menatapi kegiatan disekitarnya tanpa satu orangpun sadar bahwa Dewi mengamati mereka.
Pemandangan dari tempat itu ramah, hangat dan sedikit kelam, tapi tempat Dewi berdiri sangat angkuh tua dan diam.
Tempat tinggi itu penuh bebatuan tua yang besar, sudah tua dan terpencil.
"Sudah mau malam Dewi, ayo bergegas!" Yudha tiba-tiba datang mengajak Dewi untuk pulang. Hanya Yudha yang tahu kemana Dewi pergi, hanya Yudha yang mampu membujuknya.
"Dewi belum mau pulang," Jawab Dewi.
"Dewi sudah dicari ibu," Kata Yudha.
"Pokoknya Dewi gak mau!" Seru Dewi dengan kesal.
Kemudian, bukannya mengalah dan pulang, Dewi justru bersimpuh sambil memukul-mukulkan tangannya ke batu-batu sekitarnya.
Tangan Dewi terluka. Yudha tidak tinggal diam, dengan sekuat tenaga ia menahan Dewi agar tidak menyakiti dirinya sendiri.
"Kalau Dewi gak mau pulang, Yudha juga gak mau." Bisik Yudha sambil memeluk Dewi dengan erat, mencegah gadis malang itu mencederai dirinya sendiri.
Dewi terdiam, tiba-tiba ia bisa jadi sangat diam.
Dewi memang mengalami sindrom autisme sejak lahir. Sifatnya seringkali labil, penyendiri, suka mencelakai dirinya sendiri namun di samping itu ia sangat pandai melukis.
Dewi pandai melukis memang, banyak lukisan realis hingga surrealis yang telah diciptakan oleh tangannya.
Namun autisme yang menjadi beban hidupnya merupakan kendala untuk gadis manis ini di terima banyak orang.
"Dewi mau pulang, tapi... Tapi Dewi hanya mau melukis." Kata Dewi tiba-tiba di dalam pelukan Yudha.
"Iya, Dewi. Nanti sampai rumah kamu melukis lagi." Ucap Yudha.
"Tapi... Tapi..." Tangis Dewi pecah lagi.
"Tapi apa?" Tanya Yudha sabar.
"Cat Dewi sudah habis," Jawabnya disela tangis.
Ingin rasanya Yudha bilang, "Nanti ku belikan lagi." Tapi kata-kata itu hanya terucap di angannya saja. Uang Yudha sudah habis. Sedangkan Yudha bukan tipikal orang yang suka mengingkari janji.
Yudha hanya memeluk Dewi yang telah rapuh dan duduk disitu berdampingan, ditemani senja yang berwarna oranye berkilauan.
Dewi yang sedaritadi menangis lama-lama meredakan juga tangisnya sampai ia hanya diam saja dalam pelukan Yudha.
"Dewi, apa hewan kesukaanmu?" Tanya Yudha dengan lembut tiba-tiba.
"Dewi suka kura-kura." Jawab Dewi tanggap.
Yudha hanya menyerngitkan dahinya bingung apa hebatnya hewan tua yang lambat itu?
"Mengapa?" Tanya Yudha.
"Dewi ingin jadi kura-kura. Dewi ingin hidup 350 tahun lagi. Seperti kura-kura. Tidak apalah kalau dia jalannya lambat, toh misalnya hujan atau kepanasan dia tinggal berteduh dimana saja, tanpa peduli apa kata orang." Tutur Dewi dengan berbinar-binar.
"Kenapa Dewi ingin hidup hingga 350 tahun lagi? Mungkin jauh sebelum Dewi meninggal Yudha sudah meninggal terlebih dahulu. Lalu siapa yang akan menemani Dewi nanti? Apa Dewi mau hidup sendirian?"
"Tidak apa. Dewi akan bertemu orang-orang lain, melihat sekitar Dewi beregenerasi, dan pada akhirnya bisa menerima Dewi apa adanya. Seperti Yudha menerima Dewi. Dewi percaya semua orang bisa menerima keadaan Dewi suatu hari." Jawab Dewi.
Selama ini Dewi yang malang memang tidak diterima siapapun. Ia dituduh orang gila, kadang orang-orang menilai autisme adalah penyakit menular. Semua orang tidak menyukai anak ini.
"Dewi juga ingin punya tempurung besar, untuk melindungi Ibu, Bapak atau mungkin juga Yudha, supaya telinga dan hati kalian tidak sakit mendengar apa kata orang. Tidak harus bagus. Berlumut juga tidak apa-apa, yang penting terlindungi." Lanjut Dewi.
Mungkin bisa saja Yudha saat itu bilang "Jangan pikirkan apa kata orang, Dewi!" Tapi kata-kata itu sudah menguap dan tidak penting lagi. Sudah berkali-kali Yudha menghimbau Dewi agar ia tidak mempedulikan apa kata orang dan rasanya, walaupun Dewi sudah acuh, tidak bisa di pungkiri kalau penduduk desa masih merasa keberatan Dewi menjadi bagian diantara mereka. Bahkan setelah usia Dewi menginjak 25 dan Yudha 27.
"Dewi, mari kita pulang." Ajak Yudha sekali lagi.
Dewi menggeleng. "Dewi sudah dengar kalau Yudha mau pergi ke kota," Kata Dewi tiba-tiba.
Bagaimana gadis ini bisa tahu, padahal Yudha mati-matian menyembunyikan hal ini dari Dewi atau keluarganya. Ia takut jika Dewi tahu hal ini, ia akan bertindak macam-macam diluar prediksi kita. Yudha daritadi hanya terdiam dan merasa bersalah.
"Yudha jangan merasa bersalah begitu. Dewi tidak apa-apa. Dewi kan sudah besar. Kapan Yudha akan pergi?"
"Lusa. Kau ingin menitip sesuatu?"
"Dewi hanya ingin Yudha pergi dengan selamat, maka pulanglah dengan selamat."
Yudha hanya tersenyum kecil. "Rupanya, Dewi sudah dewasa ya." Puji Yudha kagum.
"Dan Dewi mohon, untuk pertama dan terakhir kalinya, tinggalkan Dewi sendiri." Pinta Dewi.
"Tapi, saat sudah gelap nanti, Dewi harus pulang ya. Berjanjilah."
Dewi mengangguk kecil.
Yudha hanya pergi dari situ dengan langkah gontai. Di kepalanya terukir masa depan, langkah-langkah, rencana dan cinta. Semua ia desain dengan sepenuh hatinya. Apalagi ia bertekad untuk membawa serta Dewi dan keluarganya keluar dari desa persetan ini. Cerah dalam pikirannya, cerah dalam senyumnya.
Sedangkan kita tidak pernah tahu apa yang Dewi pikirkan, tidak ada yang pernah tahu bahwa setelah itu tidak ada lagi semangatnya untuk tetap bertahan sampai 350 tahun.
Dewi menghempaskan tubuhnya agar jatuh dari atas. Perlahan namun pasti, hingga menjadi sangat cepat.
Tubuh Dewi kemudian berhamburan di dekat persawahan.
Hancur, mati dan tidak pernah kita mengerti lagi.
28.1.13
Tiga
"Di dunia ini ada tiga jenis orang yang menyakiti kamu," Katanya bijak.
"Yang pertama adalah orang yang tidak sempat kamu miliki." Lanjut Arlina.
Gendis mengusap perlahan paras cantiknya dengan selembar tissue.
"Kamu masih inget Devino? Cinta pertama kamu waktu SMP dulu?" Tanya Arlina.
Gendis menatap Arlina dengan nanar namun kemudian ia mengangguk.
Devino adalah cinta pertamanya yang kebetulan adalah kakak kelasnya. Waktu itu Gendis merupakan murid kelas 1 dan Devino kelas 3 SMP.
Devino adalah kapten tim basket, berperawakan tinggi kurus, namun dari raut wajahnya ada semangat juang yang tinggi. Ia sangat gigih dan itu membuat Gendis sebagai adik kelas jatuh cinta setengah mati.
Gendis tidak pernah mengatakan cintanya sama sekali pada Devino, ia tidak punya keberanian. Oh, bukan keberanian nampaknya. Tapi memang tidak adanya kesempatan.
Laki-laki itu sama sekali tidak mengenal Gendis, boro-boro rasa suka Gendis terbalas, bahkan menengok Gendis saja tidak pernah terjadi. Devino adalah kapten basket yang eksis dan berbanding terbalik dengan Gendis yang murid biasa. Apalagi waktu SMP dulu Gendis tidak masuk kategori 'gadis cantik'.
Hari demi hari dilewati Gendis dengan menatap Devino dari kejauhan. Atau ketika Devino sedang main basket di lapangan Gendis diam-diam mengamatinya dan setiap tembakan yang laki-laki itu arahkan ke ring basket, ia mendoakannya dengan tulus.
Sampai kemudian Devino memilih Mela si Ketua OSIS cantik dan eksis menjadi kekasihnya.
Gendis pun terluka karena hal itu dan ia menangis.
Apa salah Gendis? Mengapa ia harus menangis untuk orang yang bahkan tak sadar kehadirannya di dunia ini?
"Devino hadir, mengisi hari-hari kamu untuk satu hal, Gendis.
Ia ada di sini, di hati kamu, tapi ia hanya hadir supaya kamu belajar lebih dewasa bahwa gak semua hal gak bisa kamu miliki.
Memori-memori yang gak pernah ada itu pada akhirnya cuma jadi mimpi yang kemudian gampang aja untuk kamu lupain." Ujar Arlina dengan bijaksana.
Seiring berjalannya waktu, setelah Gendis melupakan Devino, ia tumbuh menjadi gadis manis dan menyenangkan, banyak orang yang menyukai Gendis karena ia baik hati dan ramah. Sampai akhirnya ketika Satria hadir dalam hidupnya dengan menjadi kekasihnya.
"Orang kedua yang membuat kamu menangis selanjutnya adalah orang yang pernah kamu miliki," Kata Arlina.
"Satria," Gumam Gendis.
Gendis akhirnya memiliki kekasih ketika duduk di bangku SMU kelas 1. Saat itu Satria duduk di kelas 2 IPA 1. Satria bukan tipikal anak eksis, namun ia cerdas. Satria bahkan menjuarai Olimpiade Sains - Fisika se-Nasional.
Waktu itu Gendis sedang kesusahan mengerjakan soal Fisika di perpustakaan dengan bantuan salah satu buku koleksi perpustakaan. Kebetulan saat itu Satria juga membutuhkan buku itu. Karena koleksinya hanya ada satu, terpaksa mereka berbagi saat itu juga.
Melihat Gendis kesusahan mengerjakan soal, akhirnya Satria terpaksa mengajari Gendis sampai mengerti.
Sejak saat itu hampir setiap hari mereka bertemu di perpustakaan yang kemudian timbul cinta di antara mereka.
Satria-pun akhirnya mengatakan cinta pada Gendis, bahkan di perpustakaan pula lah Gendis mendapat ciuman pertamanya yang belakangan ia ketahui itu juga merupakan ciuman pertama Satria.
Setahun kemudian Satria lulus dari SMU dan melanjutkan studinya di Jerman. Disitulah kisah cinta mereka berakhir.
Dengan berat hati Gendis harus merelakan Satria untuk pergi sementara dari negara ini namun selamanya dari hatinya.
Gendis-pun menangis karena cinta untuk kedua kalinya.
"Kamu harusnya berterimakasih karena Satria pernah hadir dalam hidup kamu.
Sakit memang untuk menerima kenyataan perpisahan dan kemudian mengubah kebiasaan kamu menjadi tanpa Satria.
Tapi, rasanya tidak terlalu sakit lagi karena kenangan-kenangan itu semua akan berakhir manis karena Satria juga mengingat adanya memori diantara kalian.
Ini adalah kesempatan kamu belajar bahwa apa yang kamu miliki itu tidak akan bertahan selamanya." Ujar Arlina sambil menarik rambut rambut nakal gadis dihadapannya dan menyelipkan di belakang telinga Gendis.
"Dan yang paling pedih adalah yang ketiga; orang yang hampir kamu miliki, Dis." Kata Arlina pelan dengan air muka yang kemudian berubah menjadi sendu.
Kalimatnya yang terakhir tidak di tujukan untuk Gendis, tapi untuk dirinya sendiri.
"Orang ketiga itu... Aryo?" Tanya Gendis pada Arlina.
Aryo adalah sahabatnya yang sangat ia cintai. Aryo mungkin sadar akan hal itu, atau mungkin Arlina pernah bilang padanya. Hal itu tidak penting.
Begitu banyak memori tentang Aryo dalam ingatannya. Tawa dan canda, tangis dan lara. Beberapa memori memang Arlina dan Aryo susun bersama, tapi sisanya adalah imanjinasi yang ia kembangkan sendiri dalam hati dan pikirannya.
Ia mencintai Aryo, sebagai sahabat dan juga sebagai kekasih.
Tapi kemudian Aryo pergi, begitu saja. Tidak ingin mengenal Arlina lagi, mungkin melupakan Arlina yang beberapa kali menyusun memori bersama atau mungkin membencinya.
Tanpa Arlina sama sekali tahu apakah Aryo juga mencintainya. Tidak ada yang tahu. Hanya hati yang tahu.
"Orang ketiga, orang yang membuatmu menangis adalah orang yang hampir kamu miliki, Dis." Kata Arlina pelan sekali.
"Bukan aku, tapi kamu." Ralat Gendis.
"Apa bedanya?" Tanya Arlina dengan gemertak di giginya, dengan berlinangan air mata.
Gendis memeluk Arlina, yang merupakan dirinya sendiri, dengan pilu dan resah.
Gadis yang menangis itu bernama Arlina Gendis Larasati. Ia dipanggil Gendis namun kadang dipanggil Arlina oleh beberapa orang, khususnya Aryo.
"Jenis orang yang ketiga yang membuatmu menangis adalah orang yang hampir kamu miliki.
Rasanya pedih karena apa yang kamu rasakan itu nyata, namun bagi orang itu hanya sekedar mimpi atau mungkin sama sekali tidak pernah terjadi.
Tapi di hati ini, rasa itu tetap hidup dan mungkin tumbuh.
Tidak ada yang pernah tahu untuk apa cinta ini ada.
Tapi tumbuh dan terus tumbuh."
22.12.12
Pohon Maple
Eva tersipu karenanya.
"Eva, boleh ku tanya sesuatu?" Tanya Helyel yang kemudian duduk di sebelah Eva.
Eva hanya menganggukan kepalanya perlahan, rambutnya jatuh menutupi separuh pipinya yang tersipu memerah.
"Apakah kau mencintai Adam?" Tanya Helyel yang entah mengapa mendadak jantungnya berdegup kencang saat melihat Eva tersipu.
Eva mengangkat wajahnya, ia heran dan tidak tahu harus menjawab apa. Baru sekali ini ia mendapat pertanyaan yang sama sekali tidak terbesit dalam pikirannya.
Ia menatap wajah Helyel yang tampan dan matanya yang berbinar. Selama ini ia tidak pernah melihat manusia selain Adam dan dirinya sendiri. Jujur saja, Helyel terlihat sangat menarik dan sangat berbeda.
"Aku ragu, Helyel. Selama ini manusia yang diberikan Tuhan hanya Adam, tiada pilihan untukku dan hatiku." Jawab Eva.
Tiba-tiba Helyel mengangkat wajah Eva dan mendekatkan bibirnya pada bibir Eva. Satu kecupan singkat dari Helyel membuat Eva terpatung disitu tidak bergerak.
"Aku pilihanmu." Ujar Helyel.
"Tapi... tapi berarti aku telah mengkhianati Adam?" Tanya Eva yang shock.
"Pilihlah antara aku atau Adam. Pergilah ke utara pagi-pagi setelah dua kali matahari terbit, aku menunggu di bawah pohon maple yang paling lebat. Itu hanya jika kau memilihku." Pesan Helyel dan kemudian pergi meninggalkan Eva begitu saja.
Tanpa disadari, dari jauh Adam melihat apa yang mereka lakukan.
Sedangkan Helyel berdoa dalam hatinya supaya Eva memilihnya, dengan tulus.
***
Malam itu, bulan bersinar separuh di atas Eden. Adam menatap Eva yang terlelap di sampingnya. Mereka tertidur diantara pepohonan dibawah bintang-bintang.
Adam merasakan rasa sakit jauh di dalam dadanya, apalagi saat mengingat kejadian tadi siang, saat ia melihat Eva mencium orang lain. Apa mungkin ini adalah takdirnya? Apa mungkin aku tidak ditakdirkan bersama Eva selama ini? Segala hal berkecambuk dalam pikirannya.
Adam mengecup dahi Eva dengan lembut. Ia tidak bisa tidur sama sekali. Kemudian Adam bangkit dan pergi dari situ. Dalam lubuk hatinya ia tahu, jika Eva memilih dirinya, maka Eva akan mencarinya. Namun disatu sisi, ia hanya ingin Eva memilih orang yang ia cintai. Ia hanya ingin Eva bahagia.
"Aku membenci mu, Eva." Kata Adam yang kemudian berlari sekuat tenaga menembus hutan rimba ke Utara. Selamat tinggal, Eva. Katanya dalam hati.
Eva membuka matanya. Ia masih terjaga.
***
Helyel tinggal di pohon maple di utara yang lebat. Ia tidur di dahan yang paling kokoh. Namun malam ini ia lupa caranya tertidur. Ia mengingat betapa cantiknya Eva, betapa ia tidak bisa melupakan ciumannya, dan betapa ia berharap Eva bersamanya dan pergi jauh dari Eden serta melupakan Adam.
Tapi, ini semua hanya misi singkat dari Tuhan. Setelah Tuhan selesai menguji kesetiaan Eva ia akan pergi dan menjadi debu dan akan mengecewakan Eva yang mungkin saja mencintainya juga.
Helyel sungguh jatuh cinta pada pandangannya yang pertama.
"Tuhan, aku minta maaf kalau aku mencintai Eva dan aku ingin Eva bahagia bersama orang yang mencintainya." Katanya sambil mengadah keatas langit yang dipenuhi banyak bintang serta bulan separuh menggantung di atas sana.
***
Keesokan paginya, ketika Eva bangun, ia sudah tidak menemukan Adam disisinya. Padahal matahari belum terlihat di ufuk timur. Ia ingat kejadian semalam, ketika ia mendengar suara penuh kebencian dari Adam. Adam membencinya setengah mati, dan pantas saja kalau ia sekarang pergi jauh.
Eva benar-benar bingung, ia tidak tahu harus apa dan bagaimana. Perlahan air matanya mengalir. Bagaimana kalau hatinya berpihak pada Adam sedangkan Adam begitu membencinya? Bagaimana kalau ia hanya tertarik pada Helyel, bukan mencintainya?
"Eva, langkahkan kakimu, carilah Adam kemanapun. Ia tidak akan jauh darimu jika kau mencintainya." Kata Allah yang berbicara melalui hati nurani Eva.
"Tapi... Tapi ia membenciku!" Kata Eva dengan gamang dan defensif.
"Cari dia, dan biarkan dia tahu betapa kau mencintainya."
Eva-pun menguatkan batinnya dan dia berlari sekuat tenaga, mencari Adam di seluruh penjuru Eden.
***
Sudah sampai matahari berada di Barat Eden, Eva tidak kunjung menemukan Adam. Kemudian ia beristirahat di bawah pohon yang rimbun. Matanya terpejam dan membawanya ke alam mimpi.
Sampai kemudian ia terbangun sebelum matahari terbit. Bintang masih bersinar, dan bulan tampak bersiap-siap bertukar peran dengan matahari. Eva kemudian pergi ke sungai tak jauh dari situ dan membasuh wajahnya.
"Apakah mungkin Adam telah pergi jauh meninggalkan aku?!" Tanyanya sendiri.
"Apa mungkin Helyel sungguh takdirku?!"
Eva tidak tahu. Ia terus bimbang tanpa memedulikan perkataan Allah kemarin. Ia hanya menegakkan bahunya dan membiarkan kakinya melangkah sendiri. Kakinya membawanya melangkah, ke Utara.
***
Helyel menanti dengan sabar di dahan pohon maple. Walaupun sebenarnya ia sama saja menanti harapan kosong, karena menurutnya, Eva akan memilih Adam atau jika Eva memilihnya, ia pun akan segera mati dan menjadi debu.
Jadi, ia hampir saja segera pergi dari dekat pohon mapel karena ia tidak memiliki harapan apapun. Namun dari jauh ia melihat bayangan seorang wanita.
Wanita itu adalah Eva. Tanpa sadar Eva berjalan terus kearah utara. Helyel segera turun dari pohon dan menghampiri Eva.
"Eva, kau datang? Kau datang terlalu pagi rupanya." Tanya Helyel saat menyambut Eva.
Eva tidak menjawab namun hanya menatapnya dengan tatapan kuyu dan kelelahan.
"Apa kau sakit Eva?" Tanya Helyel.
Eva tidak menjawab, matanya kosong dan tiba-tiba Eva jatuh tersandar di depan pohon mapel. Helyel tidak tahu harus apa, namun ia mengambil daun yang menampung banyak embun dan memberikannya pada Eva serta memetik buah-buah kecil pohon mapel untuk Eva makan.
Eva meminum dan makan sedikit buah dari pohon mapel. Tak lama Eva justru memuntahkan kembali seluruh isi perutnya. Helyel memeluk Eva, supaya ia tidak kedinginan dan memberikan selimut bulu beruangnya.
"Kau kenapa Eva?" Tanya Helyel sedih, melihat seseorang yang ia cintai menderita.
Tiba-tiba tubuh Eva melemas dan matanya terpejam, tidak sadarkan diri.
"Eva, kau harus bangun!" Kata Helyel dengan sedih. Matahari mulai muncul di ufuk timur.
"Kau apakan Eva? Apakah kau racuni dia?" Tanya Adam yang tiba-tiba datang dengan geram.
"Aku tidak tahu, ia hanya datang padaku dalam keadaan lemas dan sekarang seperti ini!" Jelas Helyel yang memeluk Eva dengan erat.
"Ini semua salahmu!" Tuduh Adam dengan sorot mata membunuh.
"Bukan, ini salah mu tidak menjaganya dengan baik. Dan sekarang dia milikku." Kata Helyel defensif.
Sorot mata Adam yang kaku tertuju pada Eva mendadak melumer. Ia tahu Eva kelelahan mencarinya, dan sekarang ia menemukannya dalam pelukan orang lain dan ini adil. Ia harus suportif.
Adam berdiam gamang menatap Eva dalam pelukan Helyel. Lama sekali.
"Apa yang kau tunggu?" Tanya Helyel sinis.
"Jaga dia, Helyel. Jangan biarkan dia kecewa lagi oleh kaum kita. Jangan pernah. Aku begitu mencintainya." Pesan Adam dan kemudian ia pergi dengan langkah gontai.
Helyel termenung. Ia tidak bisa menjaga Eva. Ia bukan Adam, dan ia hanya akan mengecewakan kedua anak manusia itu.
Maka dengan segenap hati, Helyel berdoa.
"Tuhan, buatlah Eva tersadar segera. Maafkan aku yang tidak bisa melakukan tugas ini dengan baik, tapi Tuhan, biarkanlah Eva bahagia, dan biarkan aku mati menjadi debu. Jangan biarkan Eva mengingat-ku, hapuslah memori tentang aku dalam pikirannya. Biarkan Eva bahagia, Tuhan." Air mata Helyel menetes membasahi kepala Eva dan kemudian mengecup kepala Eva perlahan.
Kemudian ia bangkit berdiri, membiarkan Eva terbaring disitu.
Helyel berlari, ia mengejar Adam yang ia tahu belum terlalu jauh. Ia berlari secepat kilat dan menemukan Adam, saat itu juga, sedikit demi sedikit ia menjadi debu. Namun ia tetap berlari.
Mulai dari rambutnya, separuh tubuhnya sudah mulai hilang.
"Adaaaam!" Sekuat tenaga ia menyebut nama Adam.
Adam mencari arah suara itu. Tubuh Helyel perlahan menghilang.
"Kau..." Adam terlihat bingung dengan Helyel yang sudah separuh menjadi pasir.
"Kembalilah pada Eva...Jaga dia... Eva membutuhkanmu!" Pesan Helyel sekuat tenaganya.
"Kau... Kenapa?" Adam bingung.
"PERGI!" Teriak Helyel dengan nafas terakhirnya.
Adam segera berlari menuju dimana Eva berada.
Disitu Helyel menghabiskan masa terakhirnya sampai akhirnya ia menjadi debu dan terbang tertiup angin. Ia pergi jauh.
***
Adam melihat Eva tidak berdaya di bawah selimut kulit beruang. Adam segera memeluknya dan memberikan Eva perlindungan. Sampai Eva akhirnya terbangun juga dan memeluknya dengan erat.
Adam berjanji untuk terus ada untuknya.
Suatu hari, Adam bertanya pada Eva di suatu musim panas yang cerah di pinggir sungai nil.
"Menurutmu kemana perginya Helyel?" Tanya Adam.
"Siapa itu Helyel?" Tanya Eva.
"Kau tidak ingat?" Tanya Adam bingung.
Eva hanya menggeleng.
"Kalau begitu bagaimana dengan ini?" Tanya Adam sambil memetik buah dari pohon mapel di tepi sungai.
"Buah pohon mapel," Jawab Eva lalu mengambil satu buah sebesar kerikil itu dari tangan Adam.
"Sama sekali tidak?"
"Sama sekali tidak."
28.8.12
Issue
Suatu hari ada ayunan di dekat tempat tinggal saya. Ayunan itu ayunan sederhana, ada dibawah pohon beringin yang tumbuh kekar dan sudah tua. Talinya dari tambang warna cokelat yang besar dan tempat duduknya reyot dari kayu. Tidak ada satupun anak anak bahkan orang dewasa berani menaiki atau bermain dibawah ayunan itu. Katanya angker.
Issue berhembus mengatakan sering sekali tampak sosok wanita saat malam hari bergaun putih dan berambut panjang duduk disitu. Kadang-kadang sosok wanita itu tidak tampak namun berganti dengan suara tawa atau tangisan yang berasal dari arah situ.
Semua orang mengatakan kalau bulu kuduk mereka berdiri saat hendak melintas di dekat pohon itu.
Adapula yang mengatakan dulu sempat ada sepasang kekasih yang bercumbu mesra bermain ayunan di situ kemudian tak lama mereka meninggal dunia karena kecelakaan dalam perjalanan pulang.
Adapun seorang pengemis yang hanya berteduh dibawah situ juga tak lama kemudian bunuh diri. Issue mengatakan bahwa laki laki tua itu dihantui dan dikejar kejar oleh 'penunggu' pohon beringin.
Ada begitu banyak cerita tentang kematian dan segala macam hal yang tidak logis mengenai pohon itu serta ayunannya. Hanya issue, hanya mitos, tidak ada yang berani membuktikannya atau sekedar mencoba. Katanya ini menyangkut nyawa.
Kadang aku mencoba bertanya pada manusia yang datang.
Belum saja aku sempat menunjukan kehadiranku, mereka sudah lari tunggang langgang.
Aku tidak tahu mengapa.
Sebenarnya aku juga tidak tahu aku ini siapa dan apa.
Aku hanya seorang wanita. Aku tidak tahu darimana asalku dan bagaimana aku bisa hadir disini dan setiap orang takut setiap kali ada aku.
Kadang aku menangis karena setiap orang membenciku.
Aku juga kadang ikut tertawa saat melihat atau mengingat hal lucu.
Pernah suatu kali saat aku duduk di dahan, ada pemuda-pemudi yang sedang bercumbu mesra dibawah pohon. Hari sudah mulai gelap saat itu.
Sebenarnya aku tidak peduli dengan apa yang mereka lakukan, namun saat itu aku memang sedang mengamati mereka dan termenung pada kesendirian ku.
Kemudian kulihat sang Pemuda melirik kearahku dan sekonyong-konyong lari terbirit birit di ikuti si pemudi. Lalu kulihat dari jauh mereka berdua mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Sampai di tikungan, tiba-tiba ada truk melaju kencang dari arah berlawan yang menerjang mereka. Sejak itu aku tidak pernah melihat mereka lagi.
Pernah juga suatu kali ada pencuri- aku tahu betul ia pencuri karena dia baru saja mengantongi dompet wanita-korbannya- dan bersembunyi dibalik pepohonan yang mengarah ke jurang. Dia berwajah malang namun ternyata sangat kriminal.
Akupun hanya sekedar membantu si pemilik dompet.
Aku berdiri disampingnya dan dia menyadari kehadiranku dan dia ketakutan setengah mati. Kulihat ia ragu dan ngeri lalu berlari kearah jurang dan dia tidak pernah terlihat lagi.
Apakah atas asumsi itu akulah pembunuh mereka? Mungkin. Sangat mungkin. Tapi sungguh, aku tidak bermaksud melakukan ini semua.
Aku menangis jika mengingat hal itu. Tersedu diatas dahan.
Tiba-tiba aku mendengar suara yang menggangguku. Suara berisik dari pergolakan mesin.
Aku lihat di bawah dahan seorang laki-laki menggenggam mesin tajam dengan kedua tangannya.
Perlahan ia menggerakan benda itu dan menggesek perlahan batang pohon tempat ku duduk.
Aku langsung turun kebawah. Aku marah dan sedih.
"Apa yang kau lakukan?" Tanyaku pada orang itu.
Ia tidak menjawab.
"APA YANG KAU LAKUKAN?" Aku mengulang sekali lagi.
Laki-laki itu menengok dan menatapku dengan kaget dan segera mematikan mesinnya.
Dengan hati-hati, ragu dan memaksakan keberanian ia berusaha berbicara dan menatapku.
"Aku minta maaf kalau aku mengganggu. Aku minta maaf juga kalau tanpa izin mengusirmu dari tempat tinggalmu. Tapi setiap orang takut padamu dan kau selalu mengganggu mereka."
"Aku tidak pernah mengganggu, aku hanya ingin bersahabat karena aku ini hilang arah." Kataku memotong.
"Aku tidak tahu. Tapi mereka sangat ketakutan denganmu."
"Kenapa mereka harus takut padaku? Aku tidak pernah berniat apalagi berbuat jahat. Kau harus tahu bahwa aku ini kesepian dan kau adalah orang pertama yang bisa ku ajak bicara." Aku berbicara tanpa sadar mengungkapkan isi hatiku.
Ia agak ternganga namun kemudian dengan bijaksana ia kembali berkata padaku,"Kunti, kau tahu siapa dirimu?" Tanyanya padaku. Ia bahkan tau namaku.
"Aku..." Aku tidak bisa menjawab.
"Kau ini jiwa yang hilang. Kau ini sama seperti aku, Kunti. Hanya saja aku adalah manusia dan kau adalah Kunti-Jiwa yang tersesat."
"Jadi aku manusia? Jadi mengapa manusia takut pada manusia?"
"Tidak, Kunti. Kau bukan manusia. Kita sama karena aku juga kesepian dan hilang. Tapi di luar konteks kau ini manusia."
"Jadi- aku ini-?"
"Kau Kunti. Hanya Kunti. Kau punya sedikit waktu untuk mendengarkan mengapa aku mau saja menebang pohonmu?"
Aku mengangguk. Ia sungguh menguasai keadaan.
"Aku tidak punya uang dan setiap orang meninggalkanku. Kau ingat tsunami di tanah ini beberapa tahun lalu? Aku ini korban-Kunti- Mungkin kau juga. Sekarang aku tidak tahu lagi harus memberi makan Bimo-anakku- apa kau aku tidak menebang pohon ini. Sebagian upahnya akan ku sisihkan untuk anakku. Kuharap kau mengerti."
Aku terdiam. Ia menantiku merespon.
Aku tidak tahu harus pergi kemana jika pohon ini ditebang. Tapi issue ini-issue tentang aku, harus segera berakhir.
Aku gamang. Ia menatapku memohon.
Bukan-bukan karena cerita sedihnya. Tapi aku tahu disana akan selalu ada peluang untukku tidak kesepian lagi tapi aku tidak tahu dimana dan bagaimana.
"Jadi?" Ia menagihku.
"Kau boleh tebang- aku akan pindah, tapi ingat, ini bukan karena kisah picisanmu."
Ia tertawa kecil. "Ceritaku gak sesungguhnya benar kok." Katanya sambil tertawa.
Aku diam merasa dibodohi, aku tidak marah, tapi aku mendendam.
Kemudian aku menyatu dengan angin.
Perlahan-lahan laki-laki itu menyalakan mesin penebang pohon lalu menebangnya perlahan.
Pohon itu tumbang pelan-pelan.
Namun tiba-tiba ada badai aneh datang dan pohon itu jatuh kearah si penebang pembohong itu.
Seketika ia terjepit batang pohon dan darahnya merembes kemana.
Issue itu telah tumbang.
24.8.12
Broken Social Scene
Well, this is hand-craft tribute to Broken Social Scene and how I obsessed with them. But already given to Patar.
2.5.12
Kuntari, Cerita dari Merpati
Berlari di atas pasir dan diambang ombak
Kapal mungkin karam tapi jiwa tidak berderak
Sayap sayap patah, tapi hati tetap menari
Kuntari adalah seekor merpati
Tapi ia hidup bermigrasi seperti alap-alap ataupun walet
Ia juga menari dan meranti diatas udara
Ia tidak takut pada khalayak
Ia berawal dari sebuah telur yang dierami oleh hangatnya cinta
Ibunya juga merpati yang tegar dan tak patah arang
Kuntari tumbuh sebagai petualang setelah ibunya mati diburu
Mencari ulat, mengumpulkan biji, merangsum makna makna alam
Sayap Kuntari patah, di ketapel remaja
Ia tidak bisa pergi lebih jauh seperti walet atau terbang setinggi alap-alap
Tapi cinta menghidupinya bahkan saat ia tidak bergumul
Ia merajut hari-hari baru tanpa harus terbang
Ada nasib dan takdir yang membawanya terbang jauh menembus awan
Mimpinya lebih tinggi daripada bintang
Dan hidup selalu bersaing bersama kematian
Dan eksplosi eksplosi di langit menumbuh kembangkan jiwa daripada mati
Dan berkatalis.
11.4.12
Selatan
“Kita ini satu bagai magnet. Satu, sama, namun berbeda haluan. Kamu utara, aku selatan, dan kita bisa saja menarik semua besi-besi dan serpihan logam, tapi tetap, aku utara dan kamu selatan. Dua kutub yang berbeda. Mungkin kalau kita terpecah, kita bisa bergabung, menyatu dan berhadapan. Tapi kita tetap, aku utara dan kamu selatan.”
“Bukan,” dipikiranku berbisik menggelitik: “Kutub utara dan selatan itu adalah kau dan ego-mu. Dan aku hanyalah besi rongsokan yang selalu tertarik dengan gaya dan medanmu. Kau adalah magnet, yang selalu menarikku untuk pulang ke rumah.”
***
#CeritaHariIni diawali dengan serpih serpih logam yang jatuh diambang batas pintu sebuah pabrik senjata Israel di wilayah Tel Aviv. Namaku Herlz. Aku adalah orang Israel yang bekerja di persenjataan Israel sebagai buruh biasa yang kadang ikut berperang meskipun hatiku terluka.
Ya, aku terluka saat melawan Palestina demi kedudukan Israel di tanah ini. Luka batin yang akan terus menganga dan menimbulkan penyakit baru. Peduli setan lah dengan negaraku atau apapun yang terjadi pada rezim ini. Mereka, para petinggi itu, tak akan pernah mencoba menyelesaikan perang, sampai kapanpun. Mereka hanya mengikuti apa yang sejarah ramalkan. Lucunya, namaku Herlz, sama seperti penggagas Negara Yahudi pada zaman dahulu, Theodor Herlz, dan yang lebih lucu lagi, aku bekerja di pabrik persenjataan Israel yang langsung ataupun tak langsung menyatakan aku membela Israel.
Semua itu demi lebih banyak roti untuk aku dan istriku, Aliyah, seorang wanita cantik keturunan Palestina-Arab.
Jika aku punya uang lebih, aku akan pindah dari Negara ini. Pindah ke Amerika dan hidup lebih lama dan bahagia dari sekarang.
“Ayo kita pulang!” Ajak Ben yang baik hati sekaligus sahabatku. Aku mengembangkan senyumku dan mengangguk. Kami pun pulang ke rumah kami dengan berjalan kaki dan melewati daerah-daerah dan gua terpencil yang menyeramkan. Banyak sekali risiko yang harus ku tanggung dalam menyambung hidup bahkan untuk perjalanan dari rumah ke tempatku bekerja dan sebaliknya. Dari mulai invasi dari pihak musuh ataupun dari binatang buas yang bisa saja menyantap kami kapan saja.
“Ben, apakah kau percaya jika perang ini selesai maka dunia akan kiamat?” Tanyaku dalam perjalanan pulang sambil mengendap-endap dibawah lorong jalan raya perang yang bau, yang kemudian akan tembus kehutan.
Ben berjalan lebih dulu sambil merunduk. “Kurasa.” Jawabnya tenang.
“Lalu mengapa kita tidak membunuh diri kita sendiri saja supaya ketika kiamat itu datang, kita tidak perlu risau lagi?! Percuma bukan perang ini ada, siapapun yang menang atau kalah, mereka hanya menghadapi kematian.” Argumenku.
Ben sudah sampai di ujung lorong dan serta merta menghidup udara segar dan meregangkan badan. Ben menatapku lekat-lekat.
“Masih banyak yang harus diperjuangkan, Herlz.” Katanya dalam.
“Perjuangan apa lagi? Apa yang diperjuangkan?” Tanyaku sambil melanjutkan perjalanan. Ben lebih veteran daripadaku, itu sebabnya ia sangat bijaksana. Namun sekarang ia diam.
Booom! Duaaaar!
Suara itu seperti granat yang menyalak tak jauh dari tempat kami. Aku dan Ben terhuyung huyung mencari perlindungan. Kemudian berlarilah kami kesebuah goa yang kecil cukup untuk kami berdua. Kami berlindung dibawah goa itu selama berjam-jam menunggu sampai serangan itu selesai.
Saat berlindung bersama Ben, dikepalaku muncul seorang wanita cantik, berhidung rungi, bermata cokelat dan berambut cokelat yang panjang. Orang yang sangat kucintai sepanjang hidupku, Aliyah. Aku sangat merindukan wanita itu.
Sekelebat bayangan muncul satu persatu dari awal pertemuanku dengannya. Saat itu aku masih berumur 20 tahun, usia wajib militer, dan sedang berperang melawan Palestina di jalur Gaza. Aku menemukannya hampir mati disebuah gedung bekas apartemen yang rusak karena perang. Aku menolongnya, dia adalah korban perang, semua keluarganya sudah meninggal karena perang.
Awalnya ia takut denganku. Mungkin trauma. Aku tidak tega dan menolongnya, menyeludupkannya diam-diam dan mengaku ia adalah orang Israel sampai akhirnya membawa Aliyah ke rumahku di Tel Aviv untuk perlindungan. Saat itu usianya masih 17. Akupun membantu mencarikan keluarganya yang lain selama bertahun-tahun, namun hasilnya nihil.
Aku sadar bahwa aku mencintainya, akulah keluarganya, dan kemudian aku menikahinya saat usiaku genap 24 tahun dan Aliyah 21 tahun. Hal itu terjadi lebih daripada 10 tahun yang lalu dan aku hidup di realita yang sekarang.
Hari sudah malam, bintangpun bermunculan. Suara ledakan itu seakan menjauh. Aku dan Ben bergegas untuk melanjutkan perjalanan pulang. Aku tahu Aliyah pasti telah menungguku.
***
Aku tidak dikaruniai anak. Oleh karena itu, aku tinggal hanya berdua bersama Aliyah dan satu penjaga, Bruno, seekor anjing gembala berwarna cokelat keemasan. Mungkin Aliyah terkena radiasi saat perang atau penyakit yang lain.
Aku tiba dirumah dan rumah terkesan sepi dan gelap. Lampu di depan rumah menyala namun tidak ada tanda kehidupan, sampai akhirnya anjingku, Bruno menarik narik celanaku yang compang camping memintaku untuk masuk ke dalam rumah. Aku tahu ada sesuatu yang tidak beres.
Aku masuk kedalam rumah dan mendapati seluruh isinya berantakan. Aliyah pun tidak ada dirumah. Aku mencari-cari dimanapun tapi tidak ada. Sampai pada akhirnya aku menemukan kertas terlipat dua diatas meja makan. Tulisan tangan Aliyah tergores disitu.
Kepada Suami ku yang ku cintai sepanjang hayat, Herzl,
Jangan mencariku lagi. Setelah sepuluh tahun, akhirnya pemerintah Israel pun tahu aku bukan penduduk mereka dan merekapun memutuskan mengembalikan aku kepada Pemiliknya. Mungkin saat kau membaca surat ini, aku sedang menangis karena aku kehilangan orang yang paling kusayangi selama ini. Tapi aku akan selalu hidup di sisimu dan menemani setiap langkah-langkahmu.
Ini mungkin surat terakhirku padamu, dan akupun juga pernah bilang bahwa sampai selama lamanya kita ini bagai magnet yang sama. Kita menjadi satu namun tidak berhadapan. Kita adalah dua kutub yang berbeda, kau utara dan aku selatan. Meskipun kita mampu menarik besi secara bersamaan, tapi kita merupakan dua bagian yang berbeda.
Kita tidak pernah berpandangan sama, hanya saja kita satu. Mungkin suatu hari nanti akan ada yang mampu memecah kita, dan kita mampu membuat daya untuk menarik setiap perbedaan kita. Supaya dua menjadi satu, bukan satu menjadi dua.Tapi itu nanti, di kehidupan kita yang berikutnya.
Terimakasih atas segala cinta yang telah kita ukir selama satu dekade yang terasa sangat singkat. Selamat tinggal. Aku mencintaimu,
Aliyah
Dadaku serasa bergetar. Apalagi yang dilakukan orang Israel gila itu? Aku segera keluar mencari informasi yang lebih pasti tentang keberadaan istriku. Aku mendatangi rumah Ben untuk meminta bantuan. Namun Ben menolak untuk membantu mencarinya hari itu karena suasana sedang genting.
Namun Soraya, istri Ben mengatakan bahwa Aliyah dibawa oleh para serdadu pemerintah ke ibukota untuk dihukum pancung karena identitas palsu selama bertahun-tahun ditambah lagi ia adalah orang Palestina.
Akupun segera pamit pergi dan mencari segala akses untuk tiba di ibukota saat itu juga. Segala hal aku upayakan untuk menghentikan kendaraan yang lewat sampai akhirnya aku menghentikan sebuah truk makanan untuk suplai para tentara di ibukota.
Akhirnya aku tiba di ibukota dan mulai mencari tempat pengadilan dimana istriku berada. Aku tidak memikirkan apa-apa, aku hanya ingin melihat istriku. Namun aku tidak menemukannya. Hari sudah sangat larut, kuperkirakan saat itu sudah pukul dua dinihari.
Aku bertanya kepada para penjaga dan mereka bersikap acuh tak acuh. Sampai akhirnya ada satu orang penjaga yang menceritakan bahwa tadi siang ada wanita Palestina yang memalsukan data kependudukan dihukum pancung. Diduga wanita itu adalah mata-mata. Jenazah wanita itupun dibakar setelahnya.
Akupun mendatangi ruang bekas kremasi tadi siang diantar oleh si Sipir yang baik hati. Aku menangis sejadi jadinya diatas tumpukan arang-arang dan abu. Tak lama aku langsung mengumpulkan abunya dan memasukan kedalam kaleng bekas. Hatiku hancur.
***
Hari-hari berikutnya aku hidup diantara bayang-bayang Istriku. Kadang kala aku sering berharap membuka mata di sampingnya atau dapat melihatnya berjalan dan memberi makan Bruno. Tapi semua hanya khayalanku, jauh di dasar benakku.
Kiranya aku semakin membenci peragai pemerintahan Israel. Aku membenci segala tabiat mereka dan terutama aku benci perang. Aku terluka parah oleh perbuatan keji mereka tapi aku juga merasa salah saat aku sadar selama ini aku memang membahayakan Aliyah di negaraku.
Aku berjanji akan menebus kesalahanku, segala kerisauan dan kerinduanku pada Aliyah.
Pagi itu aku berangkat bekerja seperti biasa bersama Ben. Sejak kepergian Aliyah, aku tidak banyak bicara. Ben mengerti betul apa yang aku rasakan.
“Ben, pulanglah!” Pintaku.
“Ha? Kau bercanda? Mau makan apa anak dan istriku kalau aku pulang?”
“Pulang, Ben! Ku minta kau pulang sekarang juga!”
“Kau tidak menggajiku, orang gila!” Katanya.
Aku meninju wajahnya. “Pulang keparat!” Seruku.
Ben menatapku serius namun tidak berusaha membalasnya.
“Aku tahu kau akan melakukan yang terbaik.” Katanya yang lalu berbalik badan dan pulang.
“Bawa pergi jauh dirimu serta anak-anakmu!” Seruku sekali lagi. Dan aku bersumpah aku sangat bangga pada sahabat yang sangat mengerti aku.
Akupun melanjutkan perjalananku. Hari itu.
***
Aku memberanikan diri memasuki ruangan penelitian bom nuklir dengan mengendap-ngendap sehabis mencuri sebuah granat dan pistol kecil dari gudang penyimpanan persiapan perang. Dadaku memukul-mukul. Aku mungkin bersalah namun setidaknya jika pabrik ini hancur Israel akan menghentikan perang ini untuk sementara. Akan ada lebih sedikit orang yang meninggal karenanya.
Bau ruangan itu sangat aneh. Sekilas bau kimia yang sangat menusuk hidung, kemudian bau mercon dan terakhir bau kematian yang tak termaafkan. Aku sendiri dihadapkan pada sebuah bom yang berdaya ledak 0,0005 Megaton TNT yang setidaknya dapat menghancurkan daerah ini sampai radius 2 kilometer. Bom itu hanya sebesar bola basket. Dan hanya ada bom itu di pabrik ini, sebab ini adalah pabrik senjata. Bom ini pun hanya sekedar ada untuk penelitian.
Aku melanglang pikiranku mengingat Aliyah. Aku akan kembali kepelukannya.
Segera saja aku membuka granat dan mengenggamnya dengan tangan kiriku. Seorang penjaga memergokiku, dan segera saja aku mengambil pistol dari sakuku kemudian menarik pelatuknya dan melepaskannya tepat ke dada si penjaga. Aku menatap granat ditanganku dan menghitung mundur.
5… 4… 3… 2… 1…
Aku besi dan kau magnet, yang selalu menarikku untuk tidak jauh darimu.
Jakarta, April 2012
20.3.12
Senja
“Dara, apa kau yakin dengan pilihan-mu? Ku rasa kau terlalu cepat mengambil keputusan.” Kataku sebagai sahabat baiknya.
“Aku sudah memikirkannya lama, Ernes. Anak ini… Anak ini bukan dosa, bahkan disaat ini terjadi tanpa cinta.” Dara mengelus perutnya yang masih rata, namun aku tahu jauh di dalamnya ada bayi tanpa dosa yang suatu hari akan membuat Dara menangis tiada henti dan menyesalinya.
“Tidak, Dara. Aldo tidak mencintai-mu dan dia tidak akan bertanggung jawab atas semua hal yang terjadi padamu. Tolong Dara, sekali ini saja buang sifat pembangkang-mu. Dengar kan aku, Dara! Dengarkan aku!” Pintaku sambil meraih tangannya yang lembut.
Dara menggeleng dan mencoba melepaskan tanganku darinya. “Ernes, kau laki-laki yang baik. Kelak kau akan mendapatkan seseorang yang yang akan tulus mendengarkanmu. Tapi bukan aku.” Ia berkata pelan, air matanya turun perlahan.
“Kau masih 20 tahun. Jalanmu masih panjang, dan bayi ini kelak akan menghambatmu.” Kataku sinis.
“Tidak. Aku percaya, suatu hari nanti, ia kan membawa senyum sejuta warna, untukku dan untuk orang lain.”
“Tapi kau akan malu… bahkan laki-laki itu tidak akan bertanggung jawab sama sekali atas…” Ucapanku terputus, Dara menggenggam tanganku erat.
“Aku akan bahagia. Dengan atau tanpa Aldo.”
Itulah terakhir kalinya aku menatap wajah cantik Dara. Sore itu di Semarang, waktu aku masih duduk di tingkat pertama kuliah. Aku tak pernah bertemu Dara dan sungguh akupun kehilangan kontak dengannya. Terakhir ku dengar dia pulang ke kampung halamannya di Manado dan aku tidak tahu pasti kemana dia.
#CeritaHariIni bermula 20 tahun sejak perpisahanku dengan Dara. Aku mentap kota Jakarta dari atas gedung tempat kerjaku dan mengingat kembali kisah-kisah tentang aku dan sahabatku yang diam-diam aku cintai.
Senja menanungiku dengan sinarnya yang nila dan ungu. Tiba-tiba seorang laki-laki, pegawai baru berdiri di sampingku dan menyalakan rokoknya dan kemudian menghembuskannya.
“Pak Ernes, ini pemandangan yang bagus ya, Pak.” Katanya.
Aku tersenyum pada pegawai baru itu. Ia pindahan dari cabang di Manado.
“Eh, kok kamu tau tempat ini?” Tanyaku bingung. Setahuku, hanya aku dan beberapa teman akrab-ku yang tahu tempat ini.
“Kemaren saya iseng-iseng Tanya ke OB, soalnya kata Ibu saya, pemandangan Jakarta itu bagus kalo sore apalagi kalau dilihat dari atas gedung yang tinggi.” Katanya sambil tersenyum.
Wajahnya begitu familiar dan sangat akrab di benakku.
“Almarhum Ibu saya suka sekali waktu senja. Saya juga.” Katanya lagi.
“Dulu saya juga punya teman yang suka sekali sama sore hari. Dulu waktu saya di Semarang.”
“Oh, Bapak asli Semarang?!”
“Enggak, kuliah aja disana.” Kataku.
“Ibu saya juga dulu kuliah di Semarang, tapi gak sampe lulus.”
“Oh ya?”
“Mungkin dia setua bapak sekarang kalau masih hidup.”
Jantungku berdegup, aku semakin mengenali siluet anak ini. Hatiku menyebut nama seseorang yang sangat ku kasihi.
“Oh, ya? Jangan-jangan dia dari universitas yang sama kayak saya.” Kataku.
“Bisa jadi. Beliau tapi ambil Hukum di Universitas Diponegoro.”
“Saya juga lulusan Undip.” Kataku semakin terheran-heran ini sebuah kebetulan atau Tuhan yang memang menuntunku.
“Ah, universitas itu kan besar, belum tentu juga bapak kenal.”
“Betul juga. Omong-omong, kalau saya boleh tahu kenapa Ibu-mu bisa meninggal?”
“Tahun lalu beliau meninggal karena kanker serviks. Sebelum dia tahu saya akan ke Jakarta. Sepertinya dia meramal. Dia tahu saya akan kemana dan menjadi apa. Kata Ibu, yang penting saya bisa menorehkan senyum di wajah orang lain, itu sudah lebih daripada cukup.” Ceritanya dengan tegar dan bijaksana.
“Jadi, sekarang kamu tinggal sama Ayah-mu?” Tanyaku tak yakin.
Tommy hanya tersenyum tegar. “Saya gak pernah kenal ayah saya. Tapi yang saya tau, Ibu sudah mengasuh saya lebih daripada saya punya tiga orang tua sekaligus. Ibu orangnya baik, Pak.”
“Apa nama ibu-mu…”
“Dara Amelda.” Ucapan kami hampir berbarengan dan kami saling bertatapan dan tersenyum.
Aku tahu jauh disana, diatas senja yang hampir gelap, ada seorang malaikat tersenyum melihat kami. Dara akan selalu ada dihatiku, dan mengukir senyum ditiap waktu-waktu yang menetes. Aku mencintai Dara, bahkan sampai hari ini.
Tuntas sudah kegalauan hatiku dan kini bahkan langit sudah beranjak gelap. Bintang tersenyum malu-malu diatas bumi, seiring dengan pergolakan waktu, Dara yang selalu penuh semangat dan cinta yang tercurah pada diri Tommy, anaknya yang dikasihinya.
Aku tersenyum lagi pada Tommy dan segera menghabiskan puntung rokok yang terakhir.
Jakarta, Maret 2012